#78# - Seventy Eight

812 110 2
                                    

THIS PART CONTAINS WARNINGS ABOUT TRIGGERS: SELF-HARM, BLOOD AND MENTAL ILLNESS.

TO CREATE AN INCLUSIVE AND RESPECTFUL SPACE, THIS STORY HAS FOLLOWED WATTPAD'S CONTENT GUIDELINES.

____

64/99 The only woman who gave me a big orange polo shirt.

65/99 She felt guilty behind that cold heart.

66/99 In fact, she really cares about the people around her.

____

Tujuh tahun yang lalu,
New York.

Benedict Canale – dengan kebosanannya yang melanda karena ia sendirian di rumah sakit memilih untuk berjalan-jalan. Tidak banyak orang yang menjenguknya –ayahnya tengah sibuk dengan pemilihan presiden, dan pengawal yang ditugaskan untuk menjaganya sejak satu bulan yang lalu kini berada di kedutaan untuk urusan yang tidak ia ketahui.

Dengan membawa tiang infus Benedict kemudian berjalan keluar dari kamarnya, hingga ia menyadari jarak dengan kamarnya semakin jauh. Didepannya terdapat jalan buntu dan sebuah bangku – ia tidak tahu siapa yang memberi ide untuk menaruh bangku panjang tersebut tetapi ia melihat seorang wanita dengan rambut hitam tidak beraturan duduk disana, dengan sebuah lengan terangkat sembari memegang sesuatu.

Ia mempertimbangkan ide untuk berbalik dan kembali ke kamar namun gerakannya tertahan saat melihat lebih jelas bahwa wanita itu sedang memegang cutter berkarat dan mengarahkannya ke tangan lainnya. Seolah tahu – namun terlambat – Benedict justru melupakan tujuannya untuk kembali ke kamar dan berjalan mendekatinya.

Jangan ... "Hei!" Ia berlari secepat yang ia bisa untuk mencapai tempat wanita tersebut hingga infus yang terpasang di lengannya lepas. Wanita itu sama sekali tidak mendengarnya – atau memilih untuk tidak mendengarkan apapun – Benedict langsung mencekal tangan yang memegang cutter dan melemparnya. Kemudian ia mengernyit saat melihat darah yang menetes dari pergelangan wanita tersebut, rasa marah dan kecewa segera memenuhi dadanya tetapi ia lebih memilih untuk menghentikan pendarahan wanita yang tak dikenalnya tersebut.

Dengan suara parau wanita itu berkata, "Don't t-touch me."

"Stupid." Benedict mendesis dan mencari sapu tangan di sakunya – ia tidak memiliki kain steril namun tidak ada yang lebih penting dibandingkan menutupi pendarahannya.

"Leave me." Si wanita keras kepala masih meronta-ronta, sementara Benedict melihat seorang pegawai rumah sakit berseragam biru tengah mendorong troli medis keluar dari sebuah ruangan.

"Sir, help us!" teriak Benedict dengan wajah panik. Pria tersebut kemudian menghampirinya setengah berlari, "What happen?"

"She cuts herself." Tanpa melepaskan pegangannya kemudian ia melihat bagaimana pria itu menyampaikan kode darurat di alat komunikasinya sendiri sambil memeriksa pergelangan tangan si wanita yang terluka. Benedict menahan bahu wanita itu agar berhenti bergerak saat ia mendengar, "All man are stupid."

"I don't fuckin' care if you count me as one of them." Ditatapnya tajam mata wanita tersebut yang berlinang air mata. "But it's fuckingly idiot when you end your own life, thank me later."

Kali kedua ia bertemu lagi, dengan lengan yang terbebat perban kini wanita itu menatap kosong kearah tembok. Benedict kembali melakukan hal yang sama – duduk disamping wanita itu.

"Hei." Tidak ada tanggapan apapun. "What's your name?"

"... "

Ketiga kali saat ia bertemu lagi dengan wanita itu di hari terakhirnya berada di rumah sakit – tidak banyak yang berubah dari penampilannya. Wanita itu masih menatap kosong saat Benedict kembali duduk disampingnya dan ia menyadari – luka lebam yang memudar di leher wanita itu dan luka lebam baru yang ada di tangannya. Bibir wanita itu kering dan matanya sembap, membuat Benedict mengurungkan niatnya untuk berdiri.

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang