Dominic tahu penerangan di luar gedung ini tidak lebih terang dari ballroom, terlebih ia dan Gabrina berada di koridor yang penuh dengan tanaman hias - tetapi ia bisa melihat bagaimana rupa wanita itu kebih matang daripada tujuh tahun yang lalu ketika keduanya pertama kali bertemu. Riasan Gabrina sangat sederhana tetapi ia bisa melihat wajah wanita itu tampak teduh - membuatnya berpikir berapa lama waktu yang ia lalui setelah pertemuan mereka di New York.
"Should we talk about it on our way?" tanya Dominic karena Gabrina sekarang menatapnya dengan tatapan berbeda daripada perkenalan mereka di pesta tadi.
Gabrina mengangguk dan ia berusaha tersenyum saat menuruni anak tangga sebelum keluar dari halaman depan gedung ini yang luas, "Tentu saja saya masih mengingat Anda, Pak Dominic. Anda adalah produser di film dokumenter yang akan saya perani juga - belum ada lima menit sejak Anda berkenalan dengan saya."
Dominic memosisikan dirinya di sebelah kanan Gabrina saat keduanya mulai berjalan di trotoar, "Maaf jika pertanyaan saya terlalu aneh."
Gabrina bertanya saat ia melihat sebuah halte didepan mereka. "Kenapa tidak ikut pestanya hingga selesai, Pak Dominic?"
"Membosankan," ucap Dominic walau dalam pikirannya ia menyesal mengatakan itu. Ia mengenal Kandiya Tjahjadi karena wanita itu adalah ibu dari sahabat adiknya dan ia sendiri tahu keluarga itu termasuk kedalam keluarga berpengaruh di Asia Tenggara. "Saya hanya datang disana untuk teman saya - but I meet you dan kita akan bekerja sama untuk beberapa bulan kedepan. Lebih baik mengobrol dengan Anda, bukan?"
"Saya aneh dan tidak sekaya orang-orang didalam sana." Gabrina tertawa kecil, "All rich people with they money."
Lalu Dominic membalasnya, "Anda bisa memanggil nama saya secara langsung daripada menambahkan kata Bapak karena siapapun mengira bahwa saya terkesan tua sekali."
"Dominic? Hanya Dominic?" Gabrina menggeleng dengan cepat dan membuatnya berpikir betapa anehnya pria ini. "Kita berdua baru saling mengenal dan saya sangat memisahkan bagian pekerjaan dan kehidupan pribadi, Pak Dominic. Saya membiarkan Anda berjalan dengan saya untuk mencari taksi karena saya tahu kita akan bertemu lagi besok di meeting."
Gabrina tidak pernah melepaskan topengnya begitu saja. "First impression sangat penting, Pak Dominic. Maaf kalau saya terlalu kaku."
"Kalau kita nantinya sering bertemu - apa kamu akan memanggil saya Dominic?"
"Saya tidak tahu peran executive producer akan mendetail sampai syutingnya," jawab Gabrina dan ia menambahkan, "Saya tidak pernah menjadi produser dan tidak mempunyai kenalan seorang produser."
"You have me."
"Pak Dominic - let's clear our line. Anda dan saya sepertinya tidak akan lebih dari relasi kerja. Kalau Anda keberatan dengan embel-embel 'Bapak' karena itu membuat Anda terkesan tua, Anda bisa memanggil saya dengan sebutan 'Ibu' juga. Kaku? I know - that would make me and you nothing more than film production partners."
Gabrina berhenti berjalan ketika mereka berada di depan halte, "Kita bisa menunggu taksinya disini, Pak."
Dominic tidak memedulikan taksinya, "Sejujurnya Anda mirip seperti orang yang saya kenal di New York."
"Jadi Anda menyapa saya sebagai orang yang berwajah mirip dengan kenalan Anda atau Gabrina Clo?"
.....
"Wajah saya pasaran, Pak Dominic." Gabrina mengatakannya dengan ringan sambil tertawa kecil dan ia melambaikan tangan saat melihat mobil berwarna biru agar berhenti didepan mereka, "Mitos tujuh kembaran di dunia ini, mungkin Anda sudah bertemu dengan kembaran saya. Makes sense, right?"
Mobil itu berhenti di depan mereka. "Anda bisa pergi duluan, Pak Dominic."
"Ladies first."
"Saya akan ke minimarket itu," tunjuk Gabrina ke seberang jalan dan entah kenapa ia tidak tahu apa yang ia lakukan malam ini begitu melelahkan. Ia tersenyum tipis untuk terakhir kalinya dan tidak membiarkan Dominic memiliki alasan lain untuk ikut dengannya lagi. "Selamat malam, Pak Dominic."
____
Benedict keluar dari kamar mandi dan menemukan kekasihnya sedang duduk di meja rias untuk membersihkan make-up pesta dua jam yang lalu. Malam ini adalah pertama kalinya bagi mereka bertemu setelah hampir satu bulan Fanny sangat sibuk dengan kegiatannya sebagai model dan presenter sebuah acara televisi. Estefany Poetrimarta Raviv merupakan salah satu artis yang dikenal sejak ia menjadi pembawa acara tetap sebuah program berita olahraga setahun yang lalu dan ketika publik menemukan fakta bahwa dirinya adalah model video klip salah satu penyanyi terkenal, namanya meroket dan membuatnya mendapatkan banyak penawaran iklan maupun model.
Benedict sudah mengganti setelan jasnya dengan sebuah kaus dan celana boxer hitam karena malam ini ia akan menginap di apartmen Fanny. "Malam ini ada tiga orang yang mengucapkan selamat ke kamu, babe. Apa ada yang belum aku tahu?"
Fanny berbalik dan menatapnya dengan rasa bersalah, "Ya Tuhan, Ben I'm sorry."
Belum sempat Benedict menjawabnya tetapi Fanny melanjutkan terlebih dahulu, "Aku ingin menjelaskan kepada kamu saat kita berangkat tadi tapi aku lupa - dasar memang aku pelupa."
Fanny tahu Benedict tidak pernah bertanya alasannya tetapi ia tetap merasa bersalah karena membuat kekasihnya tidak menjadi orang pertama yang tahu tentang hal ini, "Aku dapat peran di film action - akhirnya. Sebenarnya sudah sejak seminggu yang lalu aku casting tapi aku agensiku masih menimbang dan aku tidak ingin memberitahu kamu sebelum perannya benar-benar ada di tanganku-"
"Lalu?"
Fanny memekik girang dan ia memeluk kekasihnya, "I'll make my debut in action movie, babe."
Benedict tersenyum karena sekarang kekasihnya terlihat sangat bahagia, "Congrats."
"Do you know Oskar and his sister?"
Benedict mengangguk pelan tetapi tangannya sekarang sudah berada di pinggang Fanny, "Hmm, ya."
"Dua minggu yang lalu kami berkenalan di makan malam tim and luckily we're on one frequency."
"Dan?"
Fanny mengerang ketika ia merasakan tangan Benedict sekarang berada di balik piyamanya. "Dia menyuruhku untuk casting di kenalannya yang akan membuat film action. I got the main role."
"Congrats, babe. You did it." Benedict menghentikan kata-kata kekasihnya karena ia sekarang mencium bibir wanita itu dengan penuh hasrat. Beberapa menit kemudian Fanny melepaskan tautan bibir mereka dan berkata, "Aku harus belajar memukul."
"Untuk apa?"
"This is a action movie - not romcom. Aku belajar teknik bela diri nantinya."
"You're good at hitting on the bed - dengan aku," goda Benedict sambil berupaya membuat jarinya masuk ke celana Fanny.
"Benedict, aku serius," kata Fanny kepada kekasihnya.
"Aku juga serius malam ini, Fan. God, you look more amazing now." Benedict tahu dengan pekerjaannya sebagai photographer dan Fanny sebagai artis membuat jadwal mereka semakin sibuk. "Jarang bertemu dengan kamu membuat aku merindukan semuanya tentang kamu."
"Aku akan belajar bela diri mulai minggu depan selama dua bulan, babe. Syuting filmku nanti di Maroko dan Portugal, lebih dari tiga bulan sepertinya."
Benedict menghentikan gerakannya karena ia teringat dengan beberapa hal, "Lalu kita?"
"Kita?" Fanny menatap kekasihnya dengan bingung. "Cukup seperti ini kan bisa, Ben. Memang apa yang kamu harapkan?"
.....
"Aku ingin menikah dengan kamu, Fan. Menikah. Kamu mau?"
Fanny mengerjapkan matanya dengan cepat karena anak dari Presiden negara ini sedang bertanya kepadanya. "You proposed to me?"
"Yes."
____

KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Lullaby
Literatura FemininaEndless Lullaby | Mint Series #1 © 2020 Grenatalie. Seluruh hak cipta.