#59# - Fifty Nine

824 109 2
                                    

7/99 She said some of the buildings and interiors inspire her in other ways.

8/99 She chose stairs over elevator to live a healthy life.

9/99 No way — she drove me out.

____

Tidak senatural milikmu yang tenang, kata-kata itu berputar di benak Gabrina ketika ia melihat Jim berjalan didepannya dengan kunci mobil ditangan.

Jim membuka pintu pengemudi untuk dirinya sendiri dan menunggu hingga Gabrina benar-benar naik sebelum ia menyalakan mesin. Mereka telah menyelesaikan agenda terakhir di jam enam sore — quality control workshop, meeting dengan pengawas mengenai regulasi K3 karyawan, dan mengambil fragmen busana yang seharusnya diambil dua hari yang lalu tetapi ditunda karena Gabrina tidak masuk kerja.

Gabrina meletakkan tasnya sebelum ia memasang sabuk pengaman — kemudian sesuatu terdengar di telinganya, aku punya sembilan puluh sembilan alasan kenapa aku bisa bersama kamu.

Mobil yang ia naiki menjauhi bengkel dan ia melirik bangunan itu dari spion, aku tertarik dengan kamu.

Dominic mengatakannya dengan jelas dan ia mendengarkannya

Gabrina menopang dagu dan melihat kearah luar jendela, tidak ada yang lebih menyebalkan dibanding suara Dominic yang terus-menerus melintas di kepalanya. Ia ingin melakukan sesuatu untuk membuatnya sibuk — tapi sketsa yang dikerjakan kemarin dua kali melebihi target jadi ia memutuskan untuk mengerjakannya kembali di apartmennya sendiri setelah membaca data yang dikumpulkan oleh Jim.

"Mbak, kenapa masuk rumah sakit?" Jim untuk pertama kalinya membuka percakapan. "Yogyakarta dan Guardian tempat yang berbeda, kan?" tanyanya sekali lagi karena ia ingat Gabrina memintanya untuk mengurus ijin pergi ke Yogyakarta bukannya menjalani rawat inap di Guardian.

"Hmm, aku jatuh." Di lantai, dipelukannya ...

Ia mendengar Jim yang terkesiap, "Astaga, parah luka-lukanya, Mbak?"

"Tidak begitu banyak tetapi aku disarankan untuk menginap — mereka akan mengobservasi dan memantau untuk melihat perkembangannya," kata Gabrina sembari berpikir agar alasannya terdengar masuk akal. Aku ingin kamu melihat banyak warna di dunia—

"Turqoise, cyan, magenta, peach, olive, teal, plum, fuchsia—" Gabrina bergumam kepada dirinya sendiri tetapi Jim yang duduk di kursi pengemudi tentu mendengar semua kata-katanya. "Mustard, banana, coral, chartreuse, celery, gray, bone."

"Kenapa, Mbak?" tanya Jim pada akhirnya.

Gabrina menghembuskan napas panjang karena ia gelisah, ia tidak paham dengan perasaan asing ini. "Aku bahkan tahu warna-warna yang mempunyai namanya sendiri di bahasa Indonesia—" ia menoleh kepada Jim.

Jemarinya bergerak menghitung, "Hartal, gandaria, jerau, lazuardi, kinantan — dan yang lainnya. Tidak banyak orang yang tahu kosakata itu."

Jim yang tidak mengerti hanya mengangguk melihat Gabrina yang masih sibuk dengan jari-jarinya. Wanita itu melanjutkan, "Aku menghafalkan banyak warna-warna, Jim."

"Lalu, Mbak?"

Ia ingat ketika profesornya — Margareth, membawa sebuah lingkaran besar berbahan melaminto — lingkaran itu begitu besar hingga melebihi tinggi Margareth sendiri. Wanita berkacamata itu menggunakan pointer untuk menunjuk warna-warna yang ada didalamnya.

"Colour wheel." Ia menatap kelasnya. " Ahli psikofisika telah melakukan penelitian untuk mengukur kecermatan sistem visual manusia untuk pertanyaan 'ada berapa banyak warna di dunia'. Hasilnya menunjukkan bahwa manusia dapat melihat sekitar seribu tingkat terang-gelap, seratus tingkat merah-hijau, dan seratus tingkat kuning­-biru. Artinya, jumlah total warna yang dapat kita lihat adalah sekitar sepuluh juta, sementara komputer menampilkan sekitar enam belas koma delapan juta warna untuk membuat full colour pictures. See the difference? How can a machine be one step ahead of us?" Dua puluh siswanya tertawa kecil karena ia tersenyum.

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang