Gabrina Clo keluar dari ruangannya setelah ia membaca feedback konsumen tentang koleksi terbaru Dic'I yang baru rilis dan memilah arsip semua desainnya bulan ini. Selama tiga jam terakhir sejak kedatangannya di kantor ia menyibukkan dirinya dengan dua hal itu tetapi setelah menyelesaikannya ia justru kembali merasa hampa. Gabrina mendapati Jeremy Raharja sedang mengetik sesuatu di komputer, "Hari ini jadwal saya sampai jam berapa, Jim?"
"Sampai jam dua." Gabrina kemudian memainkan jeraminya untuk mengetuk-ngetuk meja Jeremy hingga wanita itu mengangkat kepalanya, "Mbak mau ke studio? Saya pesankan makan siang dulu ya, Mbak?"
"Makan dibawah saja," kata Gabrina setelah berpikir beberapa saat dan ia sekarang mengetuk lantai dengan sepatunya. Ada beberapa hal yang menganggu pikirannya, ia ingin melupakan hal itu dengan mengerjakan sesuatu, jadi ia tetap berdiri didepan meja Jeremy. "Kamu biasanya makan dimana?"
"Saya pesan ojek online atau kadang ikut grupnya Mbak Kartika makan bareng."
"Mbak mau makan bareng?" tanya Jeremy dengan polos kepada atasannya. "Hari ini Mbak Kartika ajak makan Nasi Uduk di depan kantor."
"Sounds good, bungkuskan untuk saya saja bagaimana, Jim?"
"Tidak jadi keluar?"
Gabrina akan menjawab pertanyaan Jeremy tetapi tiba-tiba matanya tertuju ke arah lain dimana pintu ruang meeting yang juga berada di lantai yang sama dengannya dibuka dari dalam dan beberapa orang keluar dari sana. Gabrina yang sebelumnya terlihat santai menumpukan tangannya di meja kemudian berbalik untuk menghadap Jeremy.
Tetapi salah satu dari mereka terlanjur melihatnya, "Ren."
Gabrina berdecak sebelum ia berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya dan ia mendesah sangat pelan agar tidak ada orang yang mendengarnya. "Hi, habis ketemu Charleen?" tanyanya dengan santai. Gabrina kemudian teringat dengan sesuatu dan ia bertanya begitu saja tanpa memedulikan jarak mereka, "Oh ya, ada temen komunitas lo yang free?"
Benedict menyipitkan kedua matanya dan ia menjawab dengan lebih keras, "Kenapa? Lo mau kencan?"
Jeremy terkesiap dan itu membuat Gabrina refleks menatapnya. "Nggak berkencan, Jim. Mulut setan memang sembarangan."
"Kalau Mbak berkencan juga saya dukung seratus persen."
Gabrina memutar bola matanya dan ia berjalan mendekat kearah Benedict, "Kenapa suara lo keras?"
"Lo yang mulai – lo yang tanya gue dengan suara keras jadi apa gue tidak boleh menjawab dengan keras juga? Jadi, lo mau kencan?"
"Bukan urusan lo," Gabrina berusaha membuat nada suaranya tidak terdengar antusias. Ia memasukkan tangan ke dalam saku celananya. "Ada nggak?"
"Tergantung untuk apa lo bertanya seperti ini." Benedict yang sebenarnya bingung bagaimana menyampaikan permintaan Fanny kemudian menaikkan sebelah alisnya dengan penasaran dan kembali bertanya. Ia memerbaiki letak tali tas yang menggantung dibahunya, "Lo mau kencan?"
"Watch your mouth ya, Pak Benedict. Gue butuh fotografer yang bisa menemani pemotretan batik."
"Nanti gue tanyakan," Benedict kemudian bertanya kepada Gabrina. "Hari ini lo pulang jam berapa?"
"Seperti biasanya."
"Gue cari fotografer setelah makan nasi goreng. Lo temani gue ya?"
"Gue mau lembur hari ini," kata Gabrina sambil melihat jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan dan saat itulah ia menyadari perutnya semakin lapar karena ia melewatkan sarapan hari ini. "Fotografernya gue tunggu dua hari lagi bisa?"
"Temani gue, Ren."
"Childish banget lo minta ditemenin. Harus berapa kali gue ulang kalau hari ini gue lembur? Lo mau galau-galau lagi? Gue nggak mau ada seri kedua Benedict galau."
"Terus kapan lo bisa temani gue?"
"Nggak tahu dan nggak minat."
Benedict bertanya lagi, "Lo mau makan siang dimana?"
"Bukan urusan lo, Pak Benedict."
Benedict menarik napas panjang untuk membuat kesabarannya bertahan lebih lama karena tidak menemukan cara untuk mengajak berbicara Gabrina mengenai tawaran Fanny. "Ayo makan dibawah daripada gue menganggap lo menghindar – Fanny sudah bilang ke elo, bukan?"
"Urusan gue kalau mau menghindar atau tidak. Itu ide lo juga?"
Benedict mengangguk. Ia tidak tahu kenapa Fanny memberi tahu Gabrina lebih awal tetapi ia hanya menuruti semua permintaan Fanny tadi pagi untuk mengajak Gabrina berbicara lagi. "Gue hanya ingin Fanny syuting film dengan tenang tanpa harus berpikir kalau hubungan ini menghalangi mimpinya. Jangan marah ke Fanny, marah ke gue saja kalau lo merasa tersinggung atau apapun."
Gabrina menyilangkan tangan didepan dada, "Wow, lo benar-benar bucin ya? That's why I don't want someone precious in my life, jadi bego kalau sudah jatuh cinta. Wait, gue nggak peduli lo bego karena cinta, tapi jangan sampai gue jadi tumbal untuk kalian berdua."
"Nggak nyambung omongan lo sekarang."
"Jadi nggak perlu ada yang dibicarakan lagi, kan? Lo mau balik ke studio? Go ahead."
"Kenapa lo nggak mau?" tanya Benedict pada akhirnya. "Let's talk about this now – siapa tahu lo menghindar lebih jauh dan gue lebih sulit menemukan lo."
"Nggak ada untungnya buat gue."
"Gue tentu akan membayar lo selama tiga bulan ini – berapa yang lo inginkan?"
"Lo bayar gue?" Gabrina tertawa kecil, "Then, am I look like bitchy?"
"Bukannya lo ingin mengadakan private collection?" Benedict mengangkat sebelah alisnya karena teringat dengan pembicarannya dengan Gabrina di warung nasi goreng Kebon Jeruk, "Lo tidak ingin ada sponsor tapi lo bisa bekerja dengan gue dan mendapatkan uangnya. Apa lima milyar cukup?"
Ia menegaskan, "This is win-win solution. Lo hanya perlu datang besok di pertemuan kami dan lo dapatkan uangnya."
"Gue bisa cari uang sendiri tanpa perlu jadi tumbal." Gabrina tidak tersinggung tetapi ia mengatakannya karena marah, "Gue tidak melakukannya demi uang ya, iblis sialan. Pertama, gue tidak mau berurusan dengan keluarga Presiden. Kedua, ditambah karena ini demi Tante Julia – gue takut dengan dia. Ketiga, show gue urusannya gue jadi kenapa lo ikut campur saat gue tidak meminta bantuan lo? Keempat, walaupun kalian berdua adalah teman, apa menurut kalian gue mau melakukan ini?"
"Tumbal yang lo bicarakan nggak nyambung, Ren. Gue dan Fanny akan menjaga privasi lo."
"Gue nggak bego untuk tahu apa saja yang orang kaya lakukan." Gabrina menarik napas panjang. Ia marah tapi ia tahu Benedict juga marah karena tidak ada dari mereka yang menginginkan rencana ini terjadi. Semuanya demi Fanny. "Lo akan dianggap turun kelas karena berdampingan dengan gue, apa selanjutnya gue harus menunggu tawaran juga dari keluarga lo atau keluarga Fanny untuk menjauh?"
"Gue mau hidup gue tenang-tenang saja, Pak Benedict. This is the most terrible plan I have ever heard of."
____

KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Lullaby
ChickLitEndless Lullaby | Mint Series #1 © 2020 Grenatalie. Seluruh hak cipta.