Caroline sedang menjawab pertanyaan dari salah satu cast – Raline Santoso, atlet putri tim nasional Indonesia yang beberapa bulan lalu baru saja mendapatkan medali emas di Kejuaraan Dunia Atletik – mengenai beberapa hal yang belum ia mengerti dan disaat itulah Dominic yang duduk berseberangan dengan Caroline baru menyadari bahwa kursi Gabrina kosong. Pra-production meeting sudah berlangsung sejak dua jam dan Sara yang ada disampingnya baru memberitahu bahwa rapat ini kemungkinan akan selesai setengah jam lagi.
"Gabrina Clo belum kembali?" tanya Caroline setelah ia menyelesaikan penjelasan kepada Raline. "She's asked me about our wardrobe team."
Dominic memutar kursinya menghadap Caroline, "Memang ada apa?"
"Dia ingin meminta konsul dengan tim wardrobe – she's a designer, remember?" jawab Caroline sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Permisi," Prisha tiba-tiba mengangkat tangannya. "Kami boleh menentukan sendiri gaya busananya?"
"Asal konsul dengan tim penata busana untuk menyesuaikan property and location, you can do it, Bu Prisha," jawab Caroline.
"Then I'll do it too," jawab Prisha dengan mengangguk kecil karena ia merasa bisa memakai setelan yang ia inginkan dan ia berpesan kepada salah satu sekretarisnya untuk menambahkan jadwal berdiskusi dengan tim penata busana.
Dominic kemudian bertanya, "Gabrina sedang keluar, ya?" Sara mengangguk dan itu membuat Dominic berdiri dari kursi. "Aku akan mencarinya."
Dominic tidak menunggu anggukan Caroline karena ia sudah berjalan menuju pintu dan meninggalkan lima belas orang yang ada disana. Lima langkah menjauh dari ruang meeting, ia berhenti dan menatap area yang memang digunakan untuk tamu menunggu setelah melihat sosok wanita yang ia cari sedang duduk sendirian disana.
Dari tempatnya berdiri kemudian Dominic menatap Gabrina yang hari itu penampilannya sangat sederhana. Kaus putih dan jeans – dan ia berpikir bahwa ia tidak mungkin salah mengenali orang. Tujuh tahun berlalu dan ia masih mengingat diluar kepala bagaimana wajah wanita itu yang sedang tersenyum atau menatapnya dengan datar.
Gabrina adalah Renata. Ia tidak salah bukan, pikirnya saat menatap wanita itu yang terlihat sedang menelepon. Tapi kenapa wanita itu tidak mengingatku?
" ... "
" – atau yang lainnya karena itu adalah permintaannya beberapa tahun yang lalu. Tapi kakaknya? Ya Tuhan – bodoh ya aku, Jim."
"Kenapa kamu bodoh?"
Gabrina dengan cepat menoleh tetapi ia kehilangan keseimbangan tangannya sehingga ponsel yang ia pakai terjatuh begitu saja. "Pak Domi, apa yang Anda lakukan disini?"
"Aku bebas melakukan apa saja disini, Gabrina. Kamu tidak apa-apa? Ponsel kamu biar aku yang ambil."
Gabrina berdiri secepat yang ia bisa saat Dominic menundukkan badan untuk mengambil ponselnya yang ada di lantai. "Ponsel saya jatuh karena Anda, Pak Domi."
"Maaf kalau saya membuat kamu terkejut." Dominic tersenyum kecil, "I just called your name and didn't know it would surprise you."
Dominic berdiri dengan tegak sebelum ia mengembalikan ponsel itu, "Sutradara mencari kamu dan saya khawatir kalau kamu tersesat lagi."
Gabrina mencoba menghidupkan ponselnya yang mati tetapi benda itu tetap tidak mau menyala. Sialan. "Urusan saya kalau lama atau sebentar, Pak Domi."
"Oh, begitu." Dominic menganggukan kepalanya dengan santai. "Apa sekarang kamu tersesat?"
"Memang saya terlihat sedang tersesat?"
Dominic lagi-lagi tersenyum. Ia menoleh ke samping kanan dan kiri sebelum menyadari bahwa tidak ada orang di area ini selain mereka berdua. "Selesai rapat apa kamu akan kembali ke kantor?"
"Kembali atau tidak – apa urusan Pak Domi?"
"Setelah rapat ini aku juga akan pergi kantor kalian," Dominic berdeham untuk memberi jeda seolah tidak keberatan dengan nada datar Gabrina. "Well, if you don't mind we can go together. Aku ingin bertemu dengan Charleen."
"Pak Domi, tapi saya akan kesana dengan MRT."
Dominic menaikkan sebelah alisnya. "Dan?"
"Apa Anda pernah naik itu?" tanya Gabrina sambil menaikkan sebelah alisnya.
Dominic berpikir beberapa saat, "Tidak – let's make it the first for me."
"Maaf karena saya tidak bisa, Pak Domi." Gabrina mengabaikan ponselnya yang mati dengan memasukkannya ke saku celana. "Terima kasih sudah menyusul – saya akan kembali ke ruang tadi, Pak."
Dominic bertanya kepada Gabrina, "Kenapa?"
Gabrina yang merasa baru mengenal pria ini bahkan baru menyadari kalau mereka tidak sedekat itu untuk berada dimobil yang sama. "Lakukan saja dengan orang lain karena saya tidak mau, Pak."
"Kamu menjaga jarak karena aku adalah kakak Charleen?" tanya Dominic setelah ia berhasil menyamai langkahnya dengan Gabrina.
"Karena kita tidak sedekat itu bahkan ketika kita sedang di proyek yang sama, Pak Domi." Gabrina tahu kalau pria disampingnya adalah pria yang akan bertunangan karena Jimmy memberitahunya. "Purely business, remember?"
"Kamu mengatakannya dua kali – tentu saja aku ingat."
"Nah, terima kasih sudah mengingatnya, Pak."
Dominic memegang pergelangan tangan wanita itu ketika mereka akan sampai di ruang meeting. "Gabrina, aku tidak paham kenapa kamu sangat datar kepada aku."
"Oh, Anda bukan satu-satunya, Pak Domi. Saya memang seperti ini kepada semua pria."
____
Benedict memarkirkan mobilnya dan ia memasang topi hitamnya saat menunggu Gabrina mengangkat telepon darinya. "Gue lagi di GBK."
Gabrina yang baru saja tiba di apartmennya karena ia harus menyelesaikan beberapa fragmen busana di kantor kemudian menjawab, "Ya, terus?"
"Temani."
"Gila lo, ini jam sepuluh kenapa gue harus ke GBK malam-malam? Gue capek."
"Gue sendirian, Ren." Hari ini ia mengalami hari yang cukup berat karena perbedaan pendapat antara ia dan Fanny karena wanita itu menolak lamarannya. Dan pertengkaran mereka, Benedict menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Gue mau lari malam-malam."
"Ya memang apa yang akan lo lakukan di GBK selain lari? Cari waria?"
"Ren, gue serius."
"Kalau mau cerita ke tempat gue – bawa es krim – dan lo bebas pake kamar tamunya. Kurang baik apa gue kasih fasilitas gratis?"
Benedict mendesah, "Ren, gue bertengkar dengan Fanny."
"Dan kenapa lo berbicara dengan gue bukannya Fanny?" tanya Gabrina sambil membuka kulkas untuk mencari buah apel yang ia beli dua hari lalu.
"Kenapa lo tahu dia akan debut film sementara gue tidak tahu apa-apa?"
"Bapak Benedict yang terhormat, Fanny teman gue dan kita kerja di bidang yang berkaitan – apa gue gak boleh tahu kalau teman gue dapat tawaran main film? Lo terlalu lama didalam gua batu mungkin, Bapak Benedict. Apa sekarang lo ajak Adam?"
Benedict menggeleng saat Gabrina bertanya pengawal khusus yang kadang-kadang akan menemaninya sejak ayahnya, Jemond Canale menjabat Presiden Republik Indonesia. "Nggak. Gue sendirian dan butuh lo."
"Untuk mendengarkan setiap kejadian dari nol sampai seterusnya tentang pertengkaran lo? Hell, gue nggak mau malam-malam keluar. Lo bukan anak kecil, Ben. Gue capek dan mau tidur. Silahkan lari-lari keliling GBK, good luck."
"Gue traktir es krim nanti."
"Nggak mempan. Gue mau istirahat. Bye."
____

KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Lullaby
ChickLitEndless Lullaby | Mint Series #1 © 2020 Grenatalie. Seluruh hak cipta.