#31# - Thirty One

1.2K 144 7
                                    

Aagastya Jemond Canale menaiki tangga sebelum memasuki lobby terbuka Istana Negara – tempatnya tinggal selama dua minggu terakhir karena jadwalnya padat serta tamu kenegaraan yang akhir-akhir ini datang lebih banyak – dengan sepuluh pengawal kepresidenan yang berjalan juga di sekelilingnya. Ia baru saja kembali dari salah satu event nasional yang harus ia resmikan sebagai Presiden, dan Jemond melepas semua kancing lengan kemejanya saat ia sudah berada dalam bangunan sebelum menuju salah satu ruangan santai di lantai satu – tempat dimana ia tahu seseorang sudah menunggu kedatangannya.

"– but I think that's to much ya, Pak Rajit?" Jemond mendengar suara yang ia kenal – suara anaknya – tampak sedang berdiri menghadap lukisan selebar empat meter yang baru datang dua minggu lalu, hadiah dari salah satu tamunya. Rajit, salah satu asisten pribadinya kemudian membalas perkataan Benedict Canale dan mengemukakan pendapatnya bahwa lukisan ini sangat cocok berada di ruangan ini. Benedict menunggu Rajit menyelesaikan kata-katanya dan ketika pria itu selesai berbicara ia kemudian mengangguk kecil. "Mungkin memang saya tidak bisa menyamakannya, seni lukis dan fotografi yang saya tahu ada rasanya masing-masing."

"Iya, benar itu Mas Benedict. Ada rasanya sendiri-sendiri."

Rajit kemudian membalikkan badannya dan ia bersitatap dengan Jemond. "Saya rasa kita terlalu asyik berbicara, Mas Benedict."

"Tidak dilanjutkan, Jit?" kata Jemond dengan santai. "Tidak apa kalau saya menunggu kalian selesai."

"Bapak bercanda lagi," Rajit tertawa kecil dan ia berbicara kepada Jemond. "Sudah selesai, Pak. Saya permisi."

"Siang, Pa," sapa Benedict kepada ayahnya ketika pria itu mendekat. Rajit sendiri sudah pamit untuk keluar hingga menyisakan dua orang itu didalam ruangan.

"Siang juga, Benedict. Lama menunggu Papa?"

"Ada Pak Rajit yang temani."

Jemond kemudian melangkahkan kakinya menuju sofa dan dengan gerakannya ia meminta Benedict juga duduk di sofa sebelahnya. "I see, Pak Rajit kalau berbicara tentang lukisan tidak galak lagi, Ben."

Jemond menatap anaknya, "Dari studio langsung kesini?"

Benedict mengikuti arah pandang ayahnya dan ia langsung mengerti apa yang dimaksud olehnya. "Kemeja flannel aku mengganggu Papa?" Benedict kemudian menunduk sejenak untuk menatap kaus hitam yang ia lihat karena ia tidak mengancingkan kemejanya sebelum akhirnya ia menegakkan punggung dan melepas kemejanya begitu saja. "Better like this atau sebelumnya?"

"Please remember where are you, Nak. Wartawan bisa saja melihat dan banyak orang akan mengomentari bagaimana perilaku kamu di Istana Negara."

"They've written many article about me since nine –" Benedict menghentikan kata-katanya begitu saja. "Ya nanti aku pinjam punya Pak Rajit kalau Papa keberatan."

Jemond menyandarkan punggungnya ke sofa, ia tidak ingin berbasa-basi lagi setelah mendapatkan kabar yang menurutnya sangat tiba-tiba. "Julia memberitahu Papa kalau hubungan kamu dan Fanny berakhir."

"Ya, nothing wrong about it. Papa tidak usah khawatir."

"Papa bingung karena mengetahuinya dari orang lain bukannya kamu sendiri." Jemond mengungkapkan kekhawatirannya dan ia mengangkat sebelah alis, "Kenapa?"

"We're not in the same way, Pa."

Jemond mendengarkan jawaban Benedict yang singkat sambil menyesap tehnya yang ada di cangkir – ia sedang mengurangi kopi sejak seminggu lalu atas perintah dokter pribadinya karena tekanan darahnya yang semakin naik. "I thought you needed to answer seriously when I asked it – kenapa, Ben?"

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang