Gabrina Clo menghela napas panjang dan meletakkan piring berisi ayam goreng ke meja depannya. Tujuh tahun lalu ketika ia berada di titik terendahnya di New York, ia bertemu dengan seseorang yang berasal dari negara yang sama dengannya dan pertemuannya dengan pria itu menjadi salah satu titik penting untuknya kembali percaya diri setelah apa yang ia alami. Atas dasar itulah, Gabrina menarik napas untuk menyiapkan dirinya sendiri agar berbicara lebih tenang kepada Benedict.
"Gue nggak bilang kalau gue tertarik dengan rencana lo, Ben." Gabrina tengah duduk sendirian di sofanya dengan sebuah piring yang ia pangku berisi ayam goreng sementara pria yang sedang ia ajak berbicara berdiri didepannya. "Gue nggak bisa marah ke Fanny kemarin tapi dengan lo – kenapa tidak? Seharusnya orang waras nggak menerima ide– "
Benedict menyela, "Gue nggak hanya memberi lo uang tetapi juga membantu dokumenternya nanti."
"Oh, terus harus berapa kali gue bilang kalau gue nggak tertarik dengan ide lo?" Gabrina menyipitkan matanya sebelum ia mengambil ayam goreng dari piring. Uang memang sesuatu yang ia inginkan tetapi ia masih bisa menggunakan otaknya untuk berpikir lebih jernih daripada manusia didepannya. "Please keep you mouth, Ben. Let's be more realistic, gue nggak akan pernah mengambil resiko dianggap orang ketiga di hubungan dua orang dari keluarga berpengaruh di negara ini."
Ia melanjutkan, "Tapi gue ingat bagaimana dulu lo membantu gue – so I'll give you more advice you can choose from that doesn't involve me in it. Pertama, dengan jujur kepada Tante Julia kalau lo memutuskan tidak menikah dengan Fanny dalam waktu dekat ini. Atau kedua, putus dengan Fanny secara resmi agar lo bebas dari tuntutan orang tua kalian."
"Putus dengan Fanny tentu saja adalah langkah yang tidak bisa gue ambil."
Gabrina cukup heran dengan jawaban Benedict karena ia tahu apa yang dibicarakan Fanny dengan ibunya di pesta beberapa hari lalu. "Ya sudah, pilih poin pertama," jawabnya.
Benedict tahu waktu semakin malam dan ia semakin lelah tetapi ia tidak bisa menyerah sebelum mencapai tujuannya. Ia kemudian menjatuhkan dirinya untuk duduk di sofa yang ada di samping Gabrina dan berkata kepada wanita itu, "Fanny ingin lo menjadi penggantinya tapi gue rasa bukan hanya dia yang bisa mengambil keputusan. Gue ingin lo datang bersama gue tanpa melakukan apa-apa jadi biar otak mereka yang memikirkan apa yang ingin mereka lihat. No words, hanya datang dan biarkan mereka yang menduga-duga. Hotel Mulia jam sepuluh, Ren."
"Nggak – I can't help it if you stay stubborn like this. I'm not as good as you think."
Gabrina mengangkat alisnya dan melanjutkan, "Jadi apa yang ingin lo dapatkan lagi? Pergi dari sini, please."
Benedict memijat keningnya sendiri, "Ren, kenapa pada akhirnya tadi lo tidak langsung mengusir gue?"
"Iman gue nggak cukup mengusir ib-"
"Atau karena lo tidak bisa?" potong Benedict begitu saja.
Keduanya berpandangan sebelum akhirnya Gabrina berdecak, "Sudah selesai lo ngomongnya? Gue mau istirahat."
....
Benedict kemudian menyerah, ia mengambil tas hitamnya sebelum pergi ke pintu. Apartmen ini tidak begitu besar sehingga ia bisa mendengar setiap pergerakan dari wanita itu. Tidak ada suara apapun dibelakangnya.
Benedict sedang memakai sepatunya saat ia mendengar suara,"Apa lo menyesal pernah menolong gue, Ben?" Gabrina kembali mengatakan sesuatu ketika Benedict berbalik dan mereka melempar tatapan tajam satu sama lain, "Dulu lo membantu saat gue benar-benar sendirian – apa lo pernah menyesal membantu gue?"
____
"Kamu Renata, bukan?" Kevan Graham yang kebetulan sedang berada di ruang tengah tentu mengenali wajah teman adiknya. Ia sedang bermain dengan ponselnya saat mendengar langkah kaki dan suara adiknya yang menggema di ruang tamu. Kevan kemudian berdiri dan mengulurkan tangan, "Aku tidak tahu Evie mengajak kamu kesini. Masih ingat aku?"
Renata menjabat tangan Kevan yang lebih besar dari tangannya, "Hi, Kevan."
Evie yang berada di depan Renata kemudian menyela mereka berdua, "Untuk apa aku memberitahu semua orang kalau aku mengajak temanku?"
Kevan tersenyum tipis dan mengangkat kedua tangannya dengan santai, "Chill, Ev. Kenapa sekarang kamu menjadi pemarah?"
Sementara itu Renata tidak berani mengucapkan sesuatu karena degup jantungnya yang semakin meningkat sejak pria itu memanggil namanya. Ia menahan napasnya saat mengingat bagaimana Kevan tersenyum, pria itu terlihat sangat tampan dengan kemeja hitam itu dan Renata tidak tahu nama perasaan apa ini, tetapi ia senang bisa melihat Kevan.
Renata kemudian melirik ke depan dan melihat Evie sekarang sedang melipat kedua tangannya didepan dada dan memberitahu Kevan untuk tidak menganggu liburan Natalnya kali ini. Kevan menanggapinya dengan santai dan terlihat seperti tidak peduli dengan setiap kata-kata dari adiknya.
Alis Kevan terangkat sebelah saat ia melihat Renata memandangi lantai dibawah mereka. Ia memiringkan tubuhnya saat Evie selesai berbicara, "Welcome in Orono, Ren. Nanti malam ada kegiatan? Jacob mengadakan pesta kecil dengan teman-temannya di halaman belakang karena Mama dan Papa tidak ada di rumah, come join with us."
"It's just small party," kata Kevan sambil menyugar rambutnya saat Evie melotot secara terang-terangan ke arahnya. "Memang nanti malam kamu akan kemana? Keyland Thrift?" Kevan menyebutkan thrift shop langganan adiknya. "It's the most boring place."
"Mind your own business," Evie menggunakan jari telunjuk untuk menekan bahu Kevan mundur. "Renata bersama aku nanti selama ia disini. Don't you dare get close to her."
"Haknya untuk memilih dengan siapa ia ingin berteman. That's interesting, kamu posesif dengan teman daripada kakak kamu sendiri?" Kevan mengulum senyum menggoda. Tentu ia tahu seberapa dekat Renata dengan adiknya karena ia masih ingat saat meminta bantuan Renata untuk mengawasi kebiasaan berpesta Evie. "You make her feel uncomfortable."
Evie menyibakkan rambut panjangnya, "Renata cukup dekat dengan keluarga kita untuk tahu kalau kamu sangat menyebalkan."
Kevan tidak terpengaruh dengan kata-kata adiknya, "Renata, perasaanku saja apa memang Evie menjadi semakin pemarah?"
"Jangan ganggu kami," jawab Evie dengan singkat karena kakaknya semakin menyebalkan. "Kami punya kegiatan sendiri – Renata tidak mungkin mau bersama kamu."
"Tidak adil, Renata semakin dewasa dan cantik tetapi kenapa kamu semakin mudah marah?" Kevan mengatakannya dengan cepat dan sebelum ia mendengar teriakan adiknya, ia sudah setengah berlari untuk menjauh dari ruang tengah sambil berteriak, "Awas penyihir!!"
____
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Lullaby
Literatura KobiecaEndless Lullaby | Mint Series #1 © 2020 Grenatalie. Seluruh hak cipta.