#68# - Sixty Eight

747 106 1
                                    

34/99 She should know that I even asked the vice provost.

35/99 She should know that I always waited for her in front of the University Center.

36/99 Should she know that I expect for a third chance? I don't know.

____

Gabrina baru melihat bentuk warung yang dimaksud saat jarak mereka kurang dari seratus meter – Dominic benar, itu adalah warung sederhana – tidak, itu tidak lebih seperti rumah – dan ia tidak tahu bagaimana mereka akan memesan makanan karena ia tidak melihat etalase atau meja didepannya. Ketika mobil itu berhenti dan Gabrina memiliki kesempatan lebih banyak untuk melihatnya, ia merasa bangunan itu tidak terlihat rapuh hanya karena memakai dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Dibagian depan ditaruh berbagai jenis tanaman walau sekeliling bangunannya dikelilingi oleh semak dan pohon. Gabrina dengan sengaja melambatkan langkahnya saat ia turun dari mobil untuk membiarkan Dominic berjalan mendahuluinya.

Setidaknya itu yang Gabrina pikirkan walau pada kenyataannya Dominic Faillieres justru berjalan disisinya. Pintu masuk bangunan ini lebih rendah jadi mereka harus sedikit membungkukkan badan, dan Gabrina masih tidak melihat makanan yang dijual melainkan tiga pria paruh baya yang tampak tertawa-tawa karena pembicaraan mereka.

"Not in here, G. Ikuti saja bau makanannya," seolah mengerti kebingungan Gabrina ia tetap berjalan lebih dalam – dan saat melewati pintu kedua Gabrina baru mengerti mengapa makanan itu tidak ditampilkan di etalase kaca seperti warung pada umumnya. Ruangan kedua yang mereka masuki lebih luas – sinar matahari masuk melalui celah genteng, Gabrina melihat setidaknya ada tiga tungku besar dengan wajan yang mengepulkan asap diatasnya. Dua orang wanita tua bergantian mengecek tungku yang menyala atau apapun – Gabrina tidak tahu apa yang mereka lakukan. Salah seorang dari mereka menyadari kehadiran Dominic dan segera mengambil dua buah piring disudut meja.

Dominic mendahuluinya, ia menunjukkan gesture jari angka satu kepada wanita itu yang hendak mengambil nasi dari sebuah panci hitam legam – dandang – wanita itu kemudian meraup nasi yang ada didalamnya sebanyak satu kali sebelum berpindah ke wajan yang ada diatas tungku mati.

"Ini," wanita tua yang melayani mereka tidak mengerti dengan logat Dominic yang aneh tetapi – Gabrina mengamatinya – pria itu dengan santainya menunjuk lauk yang ia inginkan dan tidak memerlukan waktu lama untuk membuat piringnya penuh dengan makanan.

"Ini," untuk terakhir kalinya Dominic menunjuk ke sebuah wadah besi yang berisi tumis sayuran ditambah dengan butiran berwarna kecoklatan. Wanita dengan rambut memutih tersebut kemudian menyerahkan piringnya kepada Dominic. "Giliranmu, G."

"Punten." Gabrina tersenyum dan sedikit membungkukkan badannya sebelum mendekati wanita tua tersebut yang tengah bersiap mengambilkan nasi untuknya, "Abdi sanguna hiji saparo sendok wae, Ni." [1]

Wanita itu menuruti permintaan Gabrina dan beranjak untuk menunjuk wajan berisi potongan ikan berbumbu merah. "Muhun hiji." [2]

"Badé oseng kacang tolo, neng?" [3] tawar wanita itu kepada Gabrina karena sepertinya ia tahu kalau wanita muda didepannya bisa berbahasa Sunda. Gabrina terlihat menggeleng dan menunjuk ke arah lain.

Dominic yang melihat mereka hanya bisa termangu. Gabrina masih mengucapkan kata-kata yang ia tidak pahami dan walaupun nenek itu selesai mengambilkan makanan untuk Gabrina. dari matanya ia bisa melihat percakapan kecil tercipta diantara mereka.

"Kamu tidak bilang kamu bisa bahasa daerah mereka."

"Dan kamu tidak tanya." Gabrina tidak peduli dengan tatapan Dominic yang menunjukkan keberatan dan ia lebih memilih kepada makanan didepan mereka – karena kapan lagi aku bisa melihatmu selucu tadi, bodoh. Kini hanya ada mereka berdua didalam ruangan pertama tersebut karena tiga pria sebelumnya sudah pergi. Hanya ada satu bangku dan meja panjang di ruangan tersebut jadi tidak ada tempat lain selain disana untuk mereka duduk.

"Apa kamu mau kerupuk ini?" Dominic mengambil sebuah toples besi yang ia tidak tahu apa namanya – tetapi berkat wanita tua yang selalu melayaninya mengambil makanan disini ia tahu bahwa ada kerupuk didalamnya. Kerupuk berwarna kuning pucat dengan taburan kacang yang kering diatasnya. Gabrina menggeleng, "Aku tidak makan kacang," bisik Gabrina.

Dominic membiarkan wanita itu terlebih dahulu menikmati suapan pertama – begitu juga dengan dirinya, "Alergi?"

"Tidak juga – aku tidak suka bentuknya. Aneh ya?" tanya balik Gabrina. "Pengecualian sambal kacang."

"Kamu tidak aneh – aku harus mengingat kalau kamu tidak suka kacang, oke."

"Tidak sepenting itu untuk diingat."

Dominic menggeleng, "Aku harus mengingatnya agar kamu mau makan bersama aku, G."

"One truth from me this morning." Gabrina akhirnya membiarkan kemauan pria disampingnya dan lebih tertarik untuk menikmati rasa rempah ikan berbumbu merah di piring, "Tinggal kamu."

"Aku kira apa yang kita bicarakan di mobil adalah kejujuran yang pertama."

"Anggap saja itu bonus karena ini hari pertama."

Dominic menggigit kasreng – Gabrina memberitahu nama kerupuk itu. "Hmm, aku mengirimkan ratusan email – kurasa terakhir aku melakukannya tiga tahun lalu – kepada alamat emailmu yang lama."

Gabrina hampir tersedak dengan pengakuan pria disampingnya, "Renata.renata?"

"Ya."

"Kenapa?" Gabrina merasa tenggorokannya susah untuk menelan.

"Di Yo Jo kamu berbicara banyak hal dan aku menganggap kamu suka dengan hari itu. Kamu menyetujui pertemuan kedua kita, aku mengira itu artinya lampu hijau dari kamu. Kamu membalas semua pesanku selama dua minggu selanjutnya – tetapi tiba-tiba kamu menghilang."

Dominic dengan sengaja kemudian menyendokkan nasi ke mulut dan memperlambat kunyahannya karena ia tidak ingin memberitahu kepada wanita disampingnya. Gabrina tidak perlu mengetahui tentang dirinya yang selalu mencari wanita itu; atau sulitnya ia meminta vice provost – Melanie – untuk membocorkan kepadanya tentang status Gabrina sebagai mahasiswi Parsons; atau saat ia menghabiskan satu jam sebelum ke kantor dan tiga jam setelah pulang dari kantor hanya untuk menunggunya didepan University Center, Brooklyn Bridge, atau di Yo Jo – Dominic saat itu hanya berharap ia memiliki kesempatan ketiga.

Gabrina mengeratkan gengamannya pada sendok saat pria itu masih terus berbicara, "It's my fault, seharusnya aku sadar diri kalau kamu tidak memiliki ketertarikan yang sama dengan aku. Jadi konyol bukan kelihatannya Gabrina tentang kejujuranku yang pertama?"

"Kamu harus tahu – aku tidak lupa dengan janjiku, tetapi aku tidak bisa."

" ... "

"Karena satu dan dua alasan–"

"It's fine, Gabrina. It's fine."  Dominic memotong kata-katanya, "Bagi aku, kamu makan disampingku sudah cukup, G. Aku jadi tahu apa yang kamu tidak suka dan apa yang kamu suka, bagi aku itu sudah kesempatan ketiga."

____

[1] "Saya nasinya satu setengah sendok nasi saja, Nek."

[2] "Mau satu."

[3] "Mau tumis kacang merah, Nak?"

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang