#19# - Nineteen

1.5K 178 10
                                    

Benedict hanya ingin berlari.

Berlari.

Benedict Canale memutuskan untuk menjadikan hobi yang ia tekuni sejak remaja menjadi pilihan karir utama setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Cambridge walaupun pada saat itu ayahnya, Jemond Canale menyayangkan keputusannya. Enam tahun lalu Benedict mendapat gelarnya sedikit lebih cepat tetapi ia membuat keputusan yang mengejutkan ayahnya, yaitu mencari sekolah fotografi di Amerika. Dua puluh bulan waktu yang ia habiskan untuk mengambil double degree sekaligus berbagai internship sebelum kembali ke Indonesia dan mendirikan studionya sendiri yang saat itu hanya diisi oleh tiga orang termasuk dirinya sendiri. Saat itu keluarganya berpendapat bahwa ia hanya menyia-nyiakan gelar sarjana administrasi bisnis yang ia dapatkan, tetapi yang sebenarnya ia inginkan hanya mengejar mimpinya.

Benedict mengurangi kecepatan larinya saat ia hampir sampai di titik ia memulai start dan bersiap untuk melakukan putaran yang ketiga. Tidak banyak orang yang ada disini sehingga ketika matanya tertuju kepada seseorang yang memakai hoodie abu-abu duduk begitu saja di jalan dengan tangannya yang sibuk memegang es krim, Benedict bertanya dengan keras, "Oh, lo datang akhirnya?"

Gabrina hanya menatap sekilas Benedict, "Berisik, cepat lari."

"Gue belum beli es krim buat elo," kata Benedict sambil mengusap keringat di dahi dan berjalan mendekati Gabrina.

Gabrina yang memakai tudung hoodie sehingga rambutnya tidak terlihat kemudian mendongak saat Benedict berdiri menjulang didepannya. "Bapak Benedict yang terhormat, gue tidak mungkin capek-capek datang kesini hanya karena es krim yang lo tawarkan."

"Tapi pada akhirnya lo akan datang juga, I know it."

"Lo menyebalkan, tahu nggak?"

Benedict menyeringai, "Your welcome."

"Cepat selesaikan larinya, Pak Benedict. Gue mau pulang," kata Gabrina dengan nada datar karena ia memaksakan dirinya untuk datang ke Stadion Gelora Bung Karno walaupun ia sendiri sudah lelah.

Benedict mengikuti Gabrina dengan duduk di depan wanita itu. Ia meregangkan kakinya, "Larinya gue lebih sehat daripada makan es krim."

Gabrina mengangkat sebelah alisnya, "Sudah selesai lo galaunya? Gue mau pulang kalau begitu."

"Lo kesini naik taksi?"

"Nggak penting gue kesini naik apa," jawab Gabrina sambil menyendokkan es krim yang ia beli di minimarket dua puluh empat jam saat perjalanannya kesini. "Galaunya jangan lama-lama. Kasihan studio lo dan si Fanny juga."

"Studio ada banyak orang nggak hanya gue saja."

"Lo sudah selesai lari apa belum? Ben, I'm serious, gue mau pulang."

"Nanti gue antar Ren, sabar." Benedict mendongak dan melihat betapa besar bangunan yang ada didepannya, "Gue juga belum cerita."

"Ya sekarang ceritanya, Pak Benedict. Cepetan dong."

"Gue mau lari sekali lagi," Benedict merogoh kantung celananya setelah ia membuka resleting saku dan melemparkan sesuatu ke pangkuan Gabrina. "Lo tunggu di mobil daripada disini."

Gabrina hanya menatap datar kunci mobil Benedict, "Gue bisa ketiduran di mobil."

"Gue bangunkan," jawab Benedict. "Ren, ini udah malem. Habiskan es krim lo dimobil saja."

"Oh, lo baru sadar ini sudah tengah malam?" Gabrina memicingkan matanya, "Tiga jam terakhir lo dimana? Di planet Mars?"

"Thanks sudah datang, Ren. Gue mau lari lagi, lo tunggu di mobil."

____

"Tukang foto bisa rakus juga ternyata," kata Gabrina dengan kekesalan yang tidak berkurang ketika Benedict justru menyetir ke Kebon Jeruk. Satu jam yang lalu setelah ia menghabiskan es krimnya dan tertidur di mobil Benedict, pria itu justru membawanya ke tempat nasi goreng langganan mereka di Kebon Jeruk.

Benedict yang sedang menunggu nasi goreng petai pesanannya kemudian menjawab singkat, "Gue habis lari."

"Tumpuk kalori setelah bakar kalori ya, Ben. Jadi apa yang ingin lo ceritakan ke gue? Lo bertengkar dengan Fanny?"

"Gue lamar dia."

"Dan lo ditolak?" Gabrina tahu betapa Benedict mencintai wanita itu. "Desperate banget lo, Ben."

"Gue nggak ditolak, Fanny hanya ingin menundanya."

"Dan apa yang dilakukannya adalah salah?"

"Gue lebih khawatir dengan keluarganya, Ren." Benedict melanjutkan, "Keluarganya tidak menerima alasan Fanny untuk menunda pernikahan. Fanny merasa bersalah tapi gue tahu yang ia inginkan hanya mengejar mimpinya. Gue bingung, Ren."

"Lo tahu bukan kalau Fanny akan debut akting dan ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu. Gue sendiri tidak keberatan dengan keputusannya, I'm happy for her."

"Apa Tante Julia yang menentang keputusan Fanny?" tanya Gabrina kepada Benedict. Ia pernah bertemu dengan Julia Raviv sejak berteman dengan Fanny dan Gabrina mendapatkan kesimpulan bahwa Julia menganggap dirinya adalah wanita berkelas yang harus tahu dengan siapa ia seharusnya menjalin relasi, tidak terkecuali Gabrina Clo yang tentu saja bukan siapa-siapa.

"Lo anak Presiden negara ini, kenapa lo tidak mengerti alasan Tante Julia tidak ingin mendapatkan lo secepatnya sebelum ada orang lain?"

"Orang lain – aneh sekali kekhawatiran Tante Julia. Cintanya gue hanya sama Fanny. Apa selama ini gue hanya dikenal sebagai pacarnya Fanny dan anaknya Presiden?"

"Gue kenal lo sebagai Benedict, Si tukang foto."

"Dan Fanny juga melihat gue apa adanya sebagai Benedict bukannya sebagai anak Presiden."

Gabrina hanya menganggukkan kepalanya. Ia memasukkan acar timun terakhir ke mulutnya, "Jadi? Ceritanya sudah selesai? Gue mau pulang duluan."

"Ini jam satu pagi – menurut lo ada taksi di jam seperti ini? Sudah malam, bahaya buat wanita sendirian di luar, Ren."

"Apa lo masih ingat gue seorang wanita?" ucap Gabrina dengan santai dan ia meletakkan selembar uang berwarna biru di meja mereka. "Hanya mendengarkan lo, tugas gue sudah selesai, Ben."

Benedict memegang pergelangan tangan Gabrina, "Gue sudah bilang kalau gue akan mengantar lo pulang."

"Tapi lo masih galau, Pak Benedict," kata Gabrina dengan tidak yakin.

"Fanny meminta gue untuk menjaga temannya – gue nggak galau pas nyetir."

­____

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang