#14# - Fourteen

1.9K 240 2
                                    

"Kepala lo hanya satu, Ren," itu yang dikatakan Benedict ketika ia berhasil membuat Gabrina menegakkan bahunya lagi. Lima menit berlalu saat Gabrina masih tidak bergerak, Benedict melepas kemeja flanelnya yang berwarna hijau untuk ia sampirkan menyelimuti tubuh Gabrina, berbisik dengan pelan memanggil nama Gabrina – tidak Renata – dan ia mengguncang-guncang badan wanita itu sebelum akhirnya mendengar deru napas yang teratur. Gabrina yang ada didepannya jauh berbeda dengan Gabrina beberapa tahun lalu – Gabrina Clo yang ia kenal tidak mudah menangis. Benedict bernapas lega saat Gabrina sudah menegakkan bahunya walaupun kepalanya masih tertunduk.

"Transpalasi kepala mahal, mending uangnya buat main ke Bora-Bora atau Mykonos. Seru. Banyak inspirasi."

Gabrina tahu seberapa keras Benedict mengalihkan pembicaraan mereka jadi ia hanya terdiam dan membiarkan pria itu berbicara. "Pasta gue berantakan gara-gara kepala lo."

"Maaf," Gabrina Clo kali ini mengangkat kepalanya dan ia sempat kebingungan saat tidak menemukan hal yang aneh dari piring pasta Benedict. "Shit, pasta lo baik-baik saja," lanjut Gabrina dengan kesal, kemudian Benedict mengulurkan telapak tangannya yang penuh dengan saus.

"Oh, tangan lo ya?" Gabrina meringis dan tiba-tiba bayangan Benedict menjilat tangannya sendiri membuat ia tertawa kecil. "Sebentar gue pesan lagi."

"Lo panik attack dan lo sekarang tertawa. Aneh, Ren."

"Kan gue memang aneh," kata Gabrina dan ia berusaha merapikan rambutnya yang diikat sederhana. Saat itulah ia baru menyadari tangannya yang gemetar tetapi ia berusaha menyembunyikannya dengan berdiri sesegera mungkin.

Benedict kembali berkata, "Extra pepperoni, please. Bayarannya karena gue harus berdiri untuk cuci tangan."

"Pepperoni untuk kaki lo yang terlalu perhitungan?" Gabrina menarik ujung bibirnya menjadi senyuman tipis dan merasa jari kelingking kanannya sedikit nyeri. "Ben, gue kasihan sama Fanny."

"Lo kasihan dan gue cinta sama pacar gue sendiri," kata Benedict dengan bangga.

"Hell, gue mau muntah dengar kata-kata lo."

Tiga menit kemudian Benedict keluar dari toilet yang berada disamping smoking area, ia kembali ke meja dengan tangannya yang sudah bersih dari saus. Benedict berhenti berjalan saat ia turun dari satu anak tangga yang ada di depan toilet karena dari arahnya berdiri ia bisa melihat Gabrina duduk sendirian sambil menatap jauh ke jendela disamping meja mereka.

Sendirian. Gabrina yang selalu memilih untuk sendiri.

Benedict membuang tisu bekas yang sebelumnya ia pakai untuk mengeringkan tangan dan segera kembali berjalan untuk duduk ke kursinya. Ia baru akan melanjutkan pastanya yang tersisa separuh saat Gabrina tiba-tiba berkata, "I'll take it."

"Pasta gue? Enak aja, pesan lagi kan bisa buat lo sendiri."

Gabrina berdecak, "Dokumenternya, Ben. Gue akan ikut kedalamnya."

"Oh ya? Kurang dari sepuluh menit yang lalu lo terkesan tidak mau dan sekarang lo berubah – Ren, lo benar-benar mewakili definisi wanita yang rumit."

"Yakin." Gabrina menyesap jus yang ia pesan, "Dan tolong untuk tidak menganggap gue wanita yang rumit ya, Bapak Benedict."

Benedict memutar garpunya untuk mengambil pasta. "Ya, ya, ya. Kenapa lo berubah pikiran?"

"Lo sekarang penasaran? Yang penting kan gue sudah memutuskan untuk ikut. Wait, gue mau kirim pesan ke Jim."

Gabrina mengabaikan tatapan kesal dari Benedict, "Shooting-nya ada juga di kantor Dic'I dan sepertinya bisa placement product – maybe? Gue bisa pakai batiknya rumah usaha di Yogyakarta yang selama ini gue sponsori, banyak orang akan melihat. Pada intinya gue bisa membawa banyak dampak baik kan, Ben? Gue hanya perlu duduk dan berbicara – ya, hanya berbicara."

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang