"Hai."
Gabrina mengangkat wajahnya dari meja dan ia mendapati sebuah kepala melongok ke dalam ruangannya. Benedict tersenyum dan Gabrina tahu pria itu selesai bertemu dengan atasannya terkait evaluasi pemotretan. "Ada apa?" tanyanya singkat.
"Jimmy bilang lo belum makan siang."
"Belum lapar." Gabrina tengah meneliti hasil patchwork yang ia kerjakan selama seminggu terakhir ini. Ia meletakkan kedua tangannya dibawah pleats dan membawa fabric itu ke meja di sudut ruangan agar tidak rusak. Benedict kemudian masuk ke ruangan kerja Gabrina. "Ayo makan."
"Dimana?"
"Disini. Udah gue pesankan, Ren. Tunggu sepuluh menit lagi."
"Oke."
Benedict menaruh ransel dan ia menjatuhkan dirinya di kursi depan meja Gabrina, "Kalau Jemond Canale ingin bertemu dengan lo untuk memesan jas, apa lo bisa?"
Gabrina terlihat berpikir beberapa saat. Sepanjang hidupnya sejak mengenal Benedict, hanya satu kali ia pernah berpapasan dengan Jemond Canale, secara kebetulan, Saat ia harus menemani Kandiya Tjahjadi di salah satu acara pelelangan karya seni di Shanghai. Mereka hanya berbicara singkat dan Jemond tahu bahwa ia dan anaknya berteman. Hanya itu. "Nggak bisa – jadwal gue penuh sampai Maret tahun depan. Sampaikan maaf kepada Pak Jemond."
"Oke," Benedict setidaknya tahu apa yang akan ia sampaikan kepada ayahnya sendiri karena besok ia akan bertemu dengannya. Ia kemudian bertanya, "Ini untuk private show?"
Gabrina menggeleng, "Nggak pernah ada show yang lo maksud, Ben. Kalau disini nggak boleh ganggu pekerjaan gue."
"Kenapa nggak?"
Gabrina memasang wajah ketus, "Lo adalah orang paling menyebalkan, Ben."
Ia kemudian duduk di kursi kerjanya, berhadapan dengan Benedict. "Katanya lo mau ada proyek?"
"Oh, itu pameran solo gue. Ambil lokasi di Kairav."
"Wild life?"
"Sama portrait suku disana." Benedict berencana akan mengadakan photography exhibition ketiganya sejak ia terjun ke bidang ini tujuh tahun lalu. Ia balik bertanya, "Gimana... keadaan lo?"
Gabrina mengerti apa yang ditanyakan oleh sahabatnya, "Sudah konsultasi sama dokter, thanks sudah bantu gue malam itu. Hari itu – gue sangat kacau. Maaf merepotkan lo."
"How was it?" tanya Benedict berusaha menanyakannya dengan santai. "Apa lo – hmm, masih trauma bahkan dengan bayi?"
"Bayinya nggak bersalah ya, Benedict. I feel bad for her, tapi saat melihat bagaimana bayi itu digendong dan kami saling menatap, I just ... can't. Gue merasa menjadi manusia paling bodoh dan berdosa di dunia ini – andaikan saja, gue cukup kuat - "
"Renata, itu bukan salah lo-"
Gabrina menatap kejauhan, "- andaikan saja gue saat itu memilih nyawa -" ia menghentikan kata-katanya. "Pantasnya memang gue disebut pemb-"
"Demi Tuhan, please stop it, Ren! Sampai kapan?" Benedict berkata cukup keras hingga membuat wanita didepannya tersentak. "Bisa lo berhenti menyalahkan diri lo sendiri? It's not you fault! Binatang itu, Renata. Dia yang seharusnya merasa bersalah!"
"Renata, gue nggak bisa melihat lo seperti ini," Benedict Canale mengucapkan kekhawatirannya karena Gabrina belum mengatakan apapun. "Bertahun-tahun lo trauma, membenci bayangan lo sendiri, menyakiti diri sendiri, I can't see that. Jadi tolong, izinkan gue untuk membuat lo melupakannya."
"Ben, maaf kalau kata-kata gue nggak sopan, but I'm fine with this." Gabrina tersenyum tipis disaat mata pria itu menyala-nyala. "Ini hukum karma buat gue-"
"Korban sexual harassment seharusnya tidak merasa bersalah dan tidak mendapat hukuman, Ren. Yang seharusnya menderita adalah binatang-binatang itu!"
Gabrina tersadar dari sesuatu dan ia menyeka air mata yang akan dari matanya. Ia tidak mau mengasihani dirinya sendiri. "Oh come on, seharusnya kita nggak membicarakan ini padahal sebentar lagi katanya lo mau ajak gue makan siang."
Benedict kembali berkata, "Ren, gue serius. Biarkan gue membantu lo lepas dari semua hal ini."
"Dengan?" Gabrina menaikkan sebelah alisnya, "Lo mau melakukan hal yang sama seperti Tjahjadi?"
....
"Seems like a déjà vu, Ben." Gabrina tersenyum tipis "Jadi, gue akan menjadi asset atau liability buat lo?"
"Investmen," kata Benedict. "Memang lo mau menjadi investasi gue, Renata? Uang bukan masalah untuk gue."
Gabrina memutar bola matanya karena ia jengah dengan percakapan mereka. "Jaga mulut lo, dasar iblis. Nggak ada bedanya lo dengan Tante Julia sekarang."
Benedict bertanya, "Lo khawatir dengan Fanny?"
"Gue nggak mau ada sandiwara diatas sandiwara, Pak Benedict. Nggak perlu ada drama lainnya. Apa terlalu lama nggak ke gua batu membuat otak lo jadi membatu?"
"Gue juga nggak mau lihat lo seperti kemarin." Benedict mengatakannya, "Memang salah kalau gue mengajari lo menerima lo sendiri?"
"Konyol banget sih lo hari ini. Cukup jauhi gue kalau nggak mau lihat. Cukup drama kemarin, nggak usah ada lagi."
"Lagipula gue hanya membantu lo sebatas sahabat saja, Ren. "
Tetapi Gabrina mementingkan Fanny diatas Benedict, "Sudah minta pendapat Fanny?"
"Akan gue beritahu dia setelah lo menyetujuinya karena ini kesepakatan diluar kontrak kita."
.....
Gabrina menegakkan punggungnya dan berbicara dengan lebih serius dengan harapan pria didepannya ini mengerti, "Benedict, tolong dengarkan baik-baik. Siapa gue? Manusia biasa yang nggak punya koneksi seperti lo. Apa gue mempunyai latar belakang keluarga yang berpengaruh seperti lo? Tidak ada, gue bahkan tidak tahu seperti apa keluarga itu seharusnya. Apa orang-orang peduli dengan gue? Nggak sama sekali, karena gue bukan siapa-siapa. Gue hanya wanita yang sebatang kara."
"Berkali-kali gue bertanya, kenapa harus gue? Tidak pernah ada jawaban. I've been doing it myself all this time. Kenapa lo repot-repot mau mengajari gue?"
Benedict menatapnya dengan rasa ingin penuh tahu sementara Gabrina Clo tahu akan lebih baik jika ia menyembunyikannya. "Ben, mustahil. Gue nggak mau dicintai. Gue tidak ingin membuang-buang waktu untuk hal seperti itu."
____
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Lullaby
Chick-LitEndless Lullaby | Mint Series #1 © 2020 Grenatalie. Seluruh hak cipta.