PROLOG

17K 597 43
                                    

New York City, United States.

Amyla Renata menaikkan sebelah alisnya tanpa mengalihkan pandangan dari course catalog yang ia baca, ia sedang melihat profil professor dan kelas yang akan diambilnya di semester depan saat temannya, Evie Graham sibuk berceloteh di kursi sampingnya. Temannya terlihat sedikit heboh saat mengajaknya datang ke suatu diskusi yang lima menit terakhir ia bicarakan. Renata kemudian bertanya kepada Evie, "Reshaping beauty? I don't understand what it means, Evie."

Evie mengangguk kecil. Sushi bar lantai dua di University Center merupakan tempat favorit mereka setelah kelas selesai dan tidak jarang keduanya menghabiskan waktu berjam-jam disana untuk saling berdiskusi sustainability system yang merupakan salah satu course mereka di tahun pertama di Parsons School of Design. "Beauty, entrepreneurship, and the importance of empowerment — on and off the runway. Unfiltered discussion, very interesting. Aku butuh kursinya – tidak ada registrasi tetapi mereka hanya membuka pintunya selama tiga puluh menit untuk seratus kursi. Insane."

"And you want to join?"

"Pembicaranya Grace Nikas –"

"Dan siapa dia?" potong Renata setelah ia menemukan nama salah satu professornya di mata kuliah yang kurang ia sukai di beberapa bulan ini.

"Fashion & Style Editor for the New York Times." Evie memasukkan sushi terakhirnya ke mulut - avocado roll – dan ia bertanya setelah melihat kerutan di dahi Renata. "Professor siapa sih yang membuat kamu seperti ini?"

Renata mengangkat bahunya sekilas karena ia sedikit trauma dengan salah satu kelas yang ia ambil dimana professor yang mengajar sangat perfeksionis dengan coursework dan deadline yang tidak manusiawi – menurutnya. "I don't want to take risks. Esther make me sleep at four and I didn't want to cry anymore. She's so picky."

"Okay, Esther and her class should be avoided. Let's back to my topic, kamu mau ikut tidak ?" tanya Evie sekali lagi.

"Ke diskusi itu?"

Evie mengangguk dan butuh beberapa menit bagi Renata untuk melihat jadwalnya di ponsel. "I can't. Sorry."

"Kenapa?"

"I have an appointment with Professor Margareth," jawab Renata. Professornya di course Fashion and Culture. "Dan aku belum selesai dengan tugas menggambar, Evie. Jangan lupa deadline-nya besok."

"Kalau begitu temani aku foto. Tiga hari lagi blog-ku harus diisi dan stok fotonya sudah habis. The visitors are increasing – aku punya banyak penggemar sekarang dan ini waktu yang pas untuk membuat konten baru."

"Setelah ini aku akan lihat blog kamu," balas Renata. Evie Graham adalah seorang wanita yang sangat percaya diri dan memiliki sense of fashion yang unik. Ia menggunakan kelebihannya untuk menjadi vlogger dan membuat berbagai konten tentang fashion baik di media sosial maupun di website pribadinya. Renata membalik halaman katalog, "Where is the photoshoot?"

Evie menyatukan kedua tangannya di atas meja, "Brooklyn Bridge, maybe we can go after the Intregative studio class."

"Berapa lama?"

"Dua jam atau lebih – sebaiknya aku mengambil foto yang banyak."

Evie melihat keraguan yang terpancar dari mata temannya, ia menambahkan, "I'll treat you."

Renata tahu seberapa kaya keluarga Graham karena Evie tidak jarang memberikan barang-barang yang menurutnya sudah tidak menarik atau membosankan – terakhir kali ia mendapatkan jam tangan Chanel seharga lima ribu dollar karena Evie mengeluh jamnya tidak cocok dengan kepribadiannya. Dengan mudahnya, Evie menawarkan jam tangan itu kepada Renata – yang tentu saja Renata terima dengan senang hati.

Orang kaya dan pemikiran mereka adalah salah satu hal yang Renata tidak mengerti.

Parsons School of Design merupakan salah satu perguruan tinggi swasta yang berada di Lower Manhattan, New York City. Amyla Renata kemudian berpikir, jika mundur ke sepuluh tahun lalu dimana ia masih berada di sebuah panti asuhan dimana itu adalah satu-satunya tempat tinggal yang ia punya, mungkin ia akan tertawa saat seseorang berkata bahwa ia bisa bersekolah di Parsons. Biaya untuk International student sepertinya mencapai empat puluh ribu dollar lebih, sesuatu yang sangat mustahil. Ia bahkan akan berkata bahwa ia tidak akan bermimpi terlalu tinggi karena dihancurkan oleh ekspetasi adalah hal yang paling menyedihkan.

Ya, ia akan tertawa dengan keras dan menganggap orang itu gila.

Berbeda dengan dirinya yang dibiayai penuh oleh keluarga Tjahjadi untuk masuk ke Parsons School of Design, bagi Evie Graham yang merupakan Domestic student dan memiliki minat penuh ke bidang fashion, puluhan ribu dollar untuk masuk ke tempat ini adalah hal kecil bagi keluarganya. Apalagi lima ribu dollar jam tangan Chanel yang baru saja ia tawarkan ke Renata, such the ordinary stuff for her.

Alis Renata terangkat saat mendengar tawaran dari Evie. "Oh, dimana?"

"Maze," Evie senang berpesta namun jadwal di Parsons sangat padat dan ia biasanya akan berpesta pada hari Sabtu. Renata tertawa kecil saat ia mendengar nama bar yang disebutkan oleh temannya, itu adalah bar yang kebanyakan dikunjungi oleh freshman Parsons. Evie menambahkan, "Ada DJ baru, aku tidak boleh melewatkannya bukan? "

Renata menutup katalognya, "I'm not drink at Tuesday, Evie."

"You don't drink – but me, yes. Harus ada orang yang menemani wanita mabuk – satu bulan lagi final week kita. At least I want to have some fun before we get back to the assignment that really drive me crazy."

Renata menarik panjang napasnya, "Don't drink, Evie. Kakak kamu sudah berpesan ke aku, kamu dan mabuk adalah dua hal yang seharusnya tidak bersama."

"So that's why I asked you. You can control me later. Lagipula aku bosan kalau hanya di dorm."

Renata sekali lagi tidak mengerti bagian mana dari dorm Evie yang membosankan. Evie Graham tinggal di Carey Hall – top dorm on campus and the most expensive place – dengan biaya tujuh belas ribu dollar per tahun. Suite styles – istilah yang Renata gunakan setiap berkunjung ke tempat Evie.

Evie diam untuk beberapa saat. "I have a black handbag – Balenciaga. Aku tidak ingat dimana tas itu tapi aku yakin masih di dorm. Kamu bisa mengambilnya karena aku sudah bosan."

Lagi-lagi, bosan. "Balenciaga?"

"Ya. Deal? Temani aku photoshoot di Brooklyn dan kamu mendapat dua hal disini. Maze dan tasku."

Renata berkata, "Tidak sampai benar-benar mabuk, Evie. Bagaimana? Supaya aku tidak terlalu merasa berdosa ke kakak kamu."

"Two glasses," kata Evie dengan cepat sebelum Renata ragu-ragu dengan keputusannya.

"Deal."

____

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang