#64# - Sixty Four

770 120 3
                                        

22/99 She has black hair. Natural black hair – she told me.

23/99 She is what she is.

24/99 She told me that the little gift I gave her was the first one she got.

____

"Tapi kamu bukan aku." Dominic menarik napas sebelum membuka mulut, "Kamu adikku."

"Ya, sayang sekali."

Dominic kemudian berkata dengan serius karena Charleen adalah satu-satunya anggota keluarga yang dekat dengannya dibandingkan dengan orang tua mereka. "Jadi aku akan memberitahu keluargaku dulu, aku menyukai Gabrina dan aku akan mencintainya."

"I'm not surprised." Charleen berdiri untuk mengambil sebuah map. "Aku sudah lihat kok."

Charleen menyadari bahwa kakaknya menanti kelanjutan. "Gabrina selalu memberikan rasa kepada desainnya. Empat puluh empat desain terbaru yang ia berikan kepada Atha terinspirasi oleh satu hal yang tidak kami duga dan aku sudah melihatnya."

"Tidak boleh," Charleen juga menyadari tatapan penasaran Dominic. "Ini rahasia perusahaan. Bahkan jika seorang presiden ingin melihat aku juga tidak akan memberikannya. This is the rule."

"Fine." Dominic kembali ke sofa dan duduk disana.

"Kapan kamu pergi?" Charleen tidak peduli dengan Dominic yang baru saja melewati tiga jam perjalanan darat dari lokasi syuting Astrid. Ia membutuhkan ketenangan dan kedatangan Dominic ke tempatnya bekerja tentu membuatnya tidak leluasa. "Aku akan ke Singapura sore nanti dan kamu mengangguku dengan pertanyaan-pertanyaanmu kalau kamu masih disini."

Dominic yang baru menyandarkan punggungnya kemudian mengerang kesal."Oh God." Ia membuka mata, "For some reason I don't know why you are my sister."

"Karena kita berasal dari rahim yang sama," gumam Charleen dengan tidak minat. Ia melirik Dominic yang sekarang berdiri dan berjalan ke pintu masuk.

"One more," tidak ia sangka kakaknya yang sudah berdiri di pintu ruangan ini berbalik. "Aku perlu info tentang pria bernama Jim yang bekerja disini."

"Jim – who?" Dahi Charleen mengerut.

"Pria yang dekat dengan Gabrina. Ia menyelesaikan pekerjaan Gabrina saat wanita itu tidak masuk beberapa minggu lalu."

Kemudian Charleen menduga apa yang dimaksud oleh Dominic adalah saat Gabrina meminta cuti untuk urusan ke Yogyakarta. "Nickie, tidak ada yang bisa menyelesaikan pekerjaan Gabrina sebagai co-creative director. Ia memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan tugas-tugas itu."

"Tapi aku perlu tahu siapa Jim ini."

"Dan aku tidak hafal dengan semua nama karyawanku, sialan." Charleen kini melempar tatapan tajam dan membuat kakaknya bergidik, "Ruangannya ada dibawah lantai ini, tanyakan saja ke asistennya."

Dominic tahu bahwa kini adiknya benar-benar marah, jadi ia keluar dari ruangan itu dan menolak tawaran Lucien untuk mengantarkannya ke ruangan Gabrina. Hanya satu lantai, pikirnya saat berjalan ke arah tangga bukannya lift. Dia juga suka menggunakan tangga, Dominic hampir berpikir bahwa ia bisa semakin menjadi gila hanya dengan memikirkan kebiasaan Gabrina. Sebelah tangannya memegang tas kertas berisikan kemeja yang sempat ia ambil di rumahnya. Dominic bersiul pelan ketika ia selesai menuruni tangga dan mendapati hanya ada sedikit kubikel di lantai itu. Tidak susah untuk membedakan ruang kerja Gabrina dengan dua ruang rapat, ia mengintip jendela kaca dan tersenyum tipis saat melihat wanita itu ­– wanita yang menitipkan Kitonnya melalui Lucien – Gabrina sedang membelakangi sudut pandangnya dari jendela seperti sedang menjelaskan sesuatu kepada orang lain disana.

Dominic memasukkan sebelah tangannya ke saku celana, ia menegakkan punggung dan memutuskan untuk menunggu didepan ruangan ini. Dominic berpikir dua menit yang ia gunakan terasa sangat lama hingga pintu itu membuka dan seorang wanita muda berkacamata – keluar dari ruangan itu hingga mereka saling menatap dengan canggung.

It's not your first time to wait, Dominic berkata dalam hatinya. Lalu kenapa kamu harus bersikap canggung, Dominic.

"Gabrina ada didalam?" kata Dominic setelah ia berdeham dan menyembunyikan tas kertas dibelakang punggungnya . Sebelah tangan wanita itu masih menahan pintu saat balik bertanya, "Dengan Bapak?"

"Dominic Faillieres."

Jeremy Raharja membelalakkan matanya karena pertama; suara pria itu terdengar seksi ditelinganya dan kedua; ia tentu tahu seberapa penting orang didepannya hanya dengan mendengar nama belakangnya. "Y-ya, Gabrina masih didalam. Saya Jeremy – asistennya – dan seingat saya hari ini tidak ada jadwal Anda kemari untuk bertemu dengan beliau?"

Sementara itu Gabrina menyadari pintu ruangannya tidak benar-benar menutup dan ia melihat siluet tangan Jim masih menahan pintu itu. "Siapa, Jim?"

Jeremy berbalik, "Yang Mulia Dominic Faillieres–" ia terdiam selama dua detik untuk menyusun kata-kata yang tepat. "Mbak punya janji?"

"Tidak," Gabrina berjalan ke pintu ruangannya dan mendapati seorang pria dengan santai berdiri bersebarangan. Dominic siang itu terlihat tampan dimatanya dengan kaus polo dan jeans, mengingatkannya kepada hari dimana ia memberikan polo oranye dan senyumnya ­– Gabrina yakin Dominic tersenyum dengan cara yang sama tetapi entah kenapa hari ini dimatanya terlihat ­– ia mengerjapkan mata dengan cepat dan ia menghentikan pikirannya sendiri. Apa yang sedang kamu pikirkan, Gabrina? Dominic tampan? Gabrina tidak memutus tatapannya – Hmm, ya memang dia tampan tetapi dia pasti tersenyum seperti itu dengan semua orang.

Dengan cepat ia membalas, "Aku tidak punya janji dengannya."

"Tapi aku menelepon kamu," Dominic membela diri sambil tersenyum lebar karena melihat Gabrina menguncir rambutnya hari ini. Cantik.

Jeremy yang berdiri diantara mereka berdua menoleh dengan bingung. Secara tidak sengaja tubuhnya terjepit oleh dua orang yang sekarang berdiri berseberangan dan pintu – Jeremy ingin menyumpahi kecerobohannya yang sekarang juga hampir terjepit dengan pintu. "Yang Mulia adalah salah satu produser di film Mbak," ia menunjuk Gabrina. "Dan seingat saya syuting Mbak tiga minggu lagi."

"Benar."

"Right." Keduanya menjawab diwaktu yang sama dan sekali lagi membuat Jeremy bingung.

"Jim?" kali ini bukan Gabrina yang memanggilnya melainkan Dominic yang menatapnya dengan tenang. Dominic tentu mendengar bagaimana cara Gabrina memanggil asistennya – membuat Dominic merasa malu sekaligus merasa bodoh karena ia cemburu kepada seorang wanita. "Jeremy – tapi Gabrina memanggilmu Jim?"

"Panggilan saya, Yang Mulia. Jeremy, Jimmy, Jim – begitu cara orang-orang memanggil saya."

Sementara itu Gabrina memutar bola matanya dengan malas. Ia melipat tangannya didepan dada saat Dominic meneruskan, "Saya kira Jim adalah seorang laki-laki yang membantu pekerjaan Gabrina saat ia di rumah sakit." Dominic melirik Gabrina sekilas. "Ternyata kamu, Jim."

"Biarkan dia masuk." Pada akhirnya Gabrina membiarkan pria itu masuk ke ruangannya – untuk pertama kali. Ia berbalik dan menutup tirai jendela agar tidak ada yang bisa melihat mereka, Gabrina tidak ingin karyawan lain melihat seorang Pangeran – kakak dari atasan mereka – berada di ruangannya.

Gabrina menunjuk sofa agar pria itu duduk disana sambil menunggu Jeremy menutup pintu ruangan ini. Tetapi beberapa saat kemudian ia mengangkat sebelah alisnya melihat pria itu masih berdiri.

"I don't think once is enough to tell you how much I miss you." Dominic berhenti berjalan ketika ia merasa jaraknya dengan Gabrina cukup aman untuk membuatnya nyaman. "It's nice to see you again – didepanku."

Alis Gabrina terangkat sebelah karena tidak mengerti. "Karena Gabrina, aku sekarang tidak perlu cemburu lagi dengan Jim – aku tidak perlu khawatir lagi membayangkan kamu dengan seorang pria atau membayangkan betapa susahnya kamu membuat berbagai skenario hanya untuk menghindari aku."

____

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang