#82# - Eighty Two

757 111 5
                                    

76/99 She denied that she was comfortable with me too.

77/99 She left my Kiton to my sister's royal aide.

78/99 She and her fake boyfriend drama finally over.

____

Gabrina baru saja keluar dari kamar mandi setelah ia mengganti bajunya dengan kaus abu-abu milik Dominic yang ia pinjam. Ia mengurai rambutnya yang sudah kering, mengambil ponsel dan melihat bahwa Dominic yang sudah selesai membersihkan diri terlebih dahulu darinya terlalu serius dengan buku ditangannya.

"Buku apa yang sedang kamu baca?" Gabrina melompati ranjang besar Dominic dengan mudah dan menjatuhkan dirinya disamping Dominic saat lengan pria itu membuka sehingga ia meletakkan kepalanya disana.

"Aku tidak tahu kamu juga suka membaca komik," ujar Gabrina yang langsung dibalas dengan senyuman tipis Dominic. "I mean, aku sudah melihat semua koleksi di rak buku kamu dan aku yakin tidak ada komik didalamnya."

"Some of them are good." Sekembalinya berkunjung dari tempat Abraham keduanya sepakat untuk menginap ditempat Dominic. "Beberapa manga yang aku suka bahkan belum tamat walau penerbitannya dimulai sejak satu dekade yang lalu, Gabbie. Slow burn with highly detailed scenes."

Gabrina mengangguk kecil, kemudian mendongak. Tempat Dominic kini tidak asing baginya karena ia berkali-kali menginap disini dan sekarang ia mempunyai satu pertanyaan dalam benak, "I like those big dreamcacther, tapi kenapa kamu pasang yang sangat besar?"

Lingkaran berjaring simetris dengan macramé putih dan aksesorisnya yang monokrom tampak kontras dengan dinding krem kamar ini. "Sekalian saja menjaring supaya dapat tangkapan besar," Dominic menutup buku yang ia baca. "Charleen memberikannya untuk aku, Gabbie. Dia melakukannya sendiri dari proses pemesanan hingga pengiriman, namun juga memastikan agar Ratu tidak curiga dengan barang yang dikirimkannya kepadaku. Aku menerimanya setelah satu bulan di Finlandia dan merawatnya hingga sekarang."

Gabrina terkesiap, "Kamu tinggal disana?"

"Untuk belajar. Atau lebih tepatnya, usaha pertamaku untuk menjauh dari Versailles. Saat kecil aku memiliki fisik lemah dan mudah sakit semenjak tahu tentang rahasia ibuku. Kemudian Ibu Suri – atau nenekku, meminta Raja untuk menyetujui negara lanjutan studi dan dia mengatur agar aku berada di Finlandia, tempatnya menghabiskan masa dewasa awal sebelum menikah dengan kakekku."

"That was hard, Gabrina." Dominic mengenang kembali masa dimana ia harus belajar keras untuk membuatnya semakin sibuk. "Aku ditemani oleh Alec selama dua bulan sebelum akhirnya aku hanya bersama Arthur. Finland helped me to accept my emotions and deal with them instead of burying them deep."

"Kamu tidak seharusnya menangis," Dominic menyeka setetes air mata yang jatuh melintasi pipi wanita didepannya. "God, itu hanya cerita lama."

Gabrina berdecak kesal dan menepuk lengan atas pria yang kini menahan senyum geli. "Because I have empathy, stupid."

"Tetapi Amerika juga sama menyenangkannya. Sulit, tetapi menantang. Aku tidak lupa bahwa aku bermimpi besar untuk bisa membangun PH sendiri termasuk membangun kembali sesuatu yang hampir mati – people just underestimate me because they think I'm not enough good like my brother."

"Kadang mereka juga tidak sepenuhnya salah ketika membandingkan aku dengan Pangeran Mahkota. Olivier memang ditakdirkan dan ia berusaha memenuhinya dengan cara menjadi yang terbaik sementara aku berusaha melepas diri–"

Dominic tidak bisa menyelesaikan kata-katanya sejak Gabrina menegakkan tubuh dan mencium pria itu dengan agresif. Ia menaiki paha pria itu dan mendudukinya, meletakkan satu tangan ditengkuk Dominic sementara sebelah tangan meraba dan menarik pelan rambut belakangnya. Keduanya berciuman dengan panas hingga kini Dominic yang mengambil alih dan Gabrina mengerang disela-sela lumatan satu-satunya pria yang membuatnya bergairah. Dominic semakin mendorong tubuhnya untuk jatuh ke ranjang dan tangan pria itu menopang dirinya sendiri agar tidak membebani Gabrina. Dominic kemudian melepaskan tautan bibir mereka, menenggelamkan kepalanya sendiri ke ceruk leher Gabrina dan menciumnya – satu dari sekian bagian dari wanita tersebut yang ia sukai. Dominic menghirup aroma Gabrina dengan satu napas panjang, lalu membuat tanda-tanda kepemilikan untuk pertama kali hingga membuat wanita dibawahnya memekik pelan.

"You should tell me to stop, aren't you?" Namun ia tidak memberikan waktu untuk Gabrina menjawab, dibuatnya sibuk kembali bibir mereka untuk saling melumat – mencurahkan nafsu yang selama ini mungkin tidak mereka keluarkan. Gabrina menarik diri, menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa untuk mengisi paru-parunya. Anak rambut Dominic menjuntai menyentuh kelopak mata membuatnya mengerjapkan mata. Ia tidak tahu tindakan impulsifnya membuat Dominic terlihat berbeda diatasnya dan dibawah lampu kamar ini. Jemarinya menyibak rambut itu, ia tahu Dominic memiliki otot yang terlatih walaupun pria itu lebih sering mengenakan kaus polos atau sweater gelap dan celana training diapartmennya. Bau rambut pria itu selalu segar sehabis keramas – seperti sekarang karena lagi-lagi Dominic meletakkan bibirnya menyusuri garis leher Gabrina hingga membuatnya mendesis. "How can?"

"Ask me, Gabrina."

Dominic menggigit kecil dan menciuminya hingga basah untuk terakhir kali, sebelum ia memejamkan matanya beberapa saat untuk meredakan kabut gairah yang memenuhi kepalanya. Kemudian ia mencium puncak kepala Gabrina begitu lama sebelum menarik diri turun dari atas Gabrina, meraih komik yang entah bagaimana bagian sampul belakangnya sedikit kusut, dan membalas tatapan Gabrina yang kini menatapnya dengan bibir membengkak.

"Bagaimana bisa–" Gabrina berdeham menormalkan suaranya yang tiba-tiba serak. "–kamu melakukannya?"

"Aku bisa karena aku ingin." Dominic tersenyum tipis. Sebelah tangannya ingin menarik wanita itu kembali bersandar ke lengannya namun wanita itu justru menepis dan menggeleng.

"Gabrina, aku kira kamu akan tidur tadi?"

Wanita itu tidak menjawabnya melainkan keluar meninggalkannya sendiri. Dominic mengernyit tidak mengerti, membuatnya meletakkan buku dan berjalan keluar kamar menyusul Gabrina. Dilihatnya wanita itu menyilangkan kaki diatas sofa dengan es krim dipangkuannya. Dominic kemudian melepas kacamatanya sambil duduk di samping Gabrina, "Apa ini tidak terlalu malam untuk sebuah es krim?"

"I'm turn on," Gabrina mengatakannya dengan jelas sehingga ia berharap pria itu mengerti apa maksudnya. "We're in the same bed lately dan itu membuat aku bertanya apakah aku tidak menarik atau kamu menahan diri. Aku menangis mendengar cerita kamu tetapi kamu malah tertawa. Kamu bercerita di Amerika seberapa berat pandangan orang yang kamu terima dan aku tahu semua itu bagaimana rasanya karena aku juga mengalaminya."

"Opsi kedua, Gabrina." Dominic mengusap wajahnya kasar namun ia berusaha menyampaikannya dengan lembut. "Aku sangat menginginkan kamu, But is that right? I don't want a thing to do to if that's makes woman I supposedly love get traumatized."

"Kita tidur di ranjang yang sama hampir setiap hari." Gabrina mencicit. "Is it because my past makes you not want me? Is it a shitty thing if I want learn too?"

____

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang