#58# - Fifty Eight

863 107 2
                                    

4/99 Her first syllable name is pretty, may I call her by that?

5/99 She's the first person who doesn't want to shake hands with me

6/99 Does anyone else forgive and have a grudge at the same time? She did.

_____

Gabrina berdeham pelan. Ia memegang ponsel dengan tangan kirinya, sementara satu tangan yang lainnya membawa sebuah kertas dengan bolpoin — ia mendapatkannya dari suster yang membantu kepindahan kamar kemarin. Beberapa detik kemudian seseorang memenuhi layar ponselnya dengan latar belakang sebuah dinding yang familiar baginya, Jeremy Raharja berada di kubikelnya karena ia akan melaporkan secara langsung pekerjaannya.

"Ya, aku rasa colour palettes bisa selesai besok siang," sahut Gabrina sambil memberi tanda centang pada poin ketiga dari sepuluh yang tertulis pada kertasnya. Ia selalu memanfaatkan waktu luangnya dari pagi hingga sore dengan bekerja diam-diam sejak hari pertama ia berada di rumah sakit. Gabrina akan pindah tempat setiap tiga puluh menit sekali dan sesekali kembali ke kamarnya sendiri untuk berjaga-jaga karena ia tidak tahu kapan saja dokter akan melakukan visit ke pasien. Ia bahkan meminjam jaket salah seorang penjenguk — atau lebih tepat disebut menyewa benda itu setelah menjelaskan keperluannya untuk ia pakai diatas baju rumah sakit.

"Kain untuk sampel printing ada di mejaku yang disudut ya — tolong gunakan lima sampel sekaligus karena itu semua dari pabrik yang berbeda."

"Banyak ya, Mbak?"

"Aku ingin coba pakai material baru." Gabrina tersenyum kecil, "Apa pleats pesananku sudah selesai?"

"Sudah, Mbak. Kemarin diantar sendiri oleh pemiliknya."

Gabrina mengangguk kecil kesekian kalinya. "Jangan lupa cantumnkan namanya di list undangan ulang tahun Pacific." Ia menghabiskan dua tahunnya di Jakarta mencari tempat-tempat dengan teknik menjahit terbaik ­— untuk ia jadikan langganan karena baginya beberapa busana akan lebih maksimal ketika dikerjakan oleh master di teknik-teknik itu sendiri.

Ia teringat kepada keputusan dokter saat visit pagi tadi, "Besok pagi aku pulang, Jim. Tolong jemput aku di Guardian karena kita harus ke bengkel — I need to do quality control."

"Siap, Mbak."

Gabrina menarik tudung hoodie menyelimuti kepalanya, ia akan kembali ke kamarnya sekarang dan membuat setidaknya sepuluh sketsa agar minggu depan ia bisa menyerahkan semua sketsa — empat puluh empat — kepada atasannya.

"Cukup untuk hari ini, Jim. Terima kasih."

Ia meregangkan tubuhnya sendiri, bahkan bersenandung kecil saat perjalanan kembali ke kamar. Lorong terakhir sebelum ke kamarnya ia melihat dua orang berdiri — Gabrina familiar dengan rambut cokelat salah satu orang itu dan berbalik untuk mengambil jalan memutar.

Aku memutar, pikir Gabrina. Untuk apa aku memutar? tanyanya di dalam hati saat ia merasakan ponsel yang ia genggam bergetar. Alasanku memutar adalah dia.

"Kamu dimana?" tanya si penelepon.

"Ada apa?" Gabrina bertanya balik.

"Karena aku ingin melihat kamu," Dominic berkata begitu saja. Ia belum bertemu dengan Gabrina sejak pembicaraan terakhir mereka tetapi begitu susah untuk menemuinya karena wanita itu selalu tidak ada di kamar. "Apa kamu tidak bisa beristirahat?"

"Aku punya banyak hal yang harus diurus daripada diam saja." Gabrina melewati sebuah keluarga — ia akan menyebutnya seperti itu karena mereka terlihat dekat — dan tersenyum tipis kepada wanita yang terlihat lebih tua dari mereka semua. Dari ponselnya ia mendengar jawaban, "Aku akan meminta Charleen untuk memberikan kamu cuti."

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang