Fanny Raviv berjalan dengan penuh percaya diri ketika ia masuk ke ballroom dan ia tersenyum tipis saat perhatian orang-orang tertuju kepadanya. Malam ini ia menemani kekasihnya, Benedict Canale untuk datang di gala yang diselenggarakan oleh Tjahjadi's Foundation, sebagai pengganti Jemond Canale karena Presiden sedang berada di Kuala Lumpur untuk tugas kenegaraannya. Tentu ia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini walau dua jam yang lalu ia baru selesai rekaman untuk acara televisi. Agenda utamanya selain menemani Benedict nantinya adalah – mencari relasi yang mungkin suatu hari nanti ia perlukan.
Benedict melihat sosok wanita yang ia kenal tidak jauh dari pintu masuk dan ia tidak melepaskan tautan tangan dari pacarnya saat mengatakan ini kepada seorang wanita itu, "Lebih cantik Fanny, Ren."
"Jahat banget lo membandingkan gue dengan artis?" Gabrina yang datang sendirian di acara ini kemudian menyipitkan kedua matanya dan Fanny Raviv hanya tertawa kecil melihat interaksi antara Gabrina dengan kekasihnya.
"Ya Tuhan, Fan. Ikat pacar lo bisa nggak?"
Benedict menjawabnya, "We do it in home, Ren. Usil banget lo ingin tahu kehidupan ranjang kami."
"Eww," Gabrina tidak tahu kenapa Benedict bisa menyebalkan seperti ini. "Kalau bukan karena lo pacarnya temen gue – udah gue sikat lo."
"Tumben hari ini hanya hitam, Gab?" tanya Fanny dengan rasa ingin tahunya karena penampilan Gabrina Clo yang menurutnya sederhana di malam ini.
Gabrina menepuk gaunnya dengan santai. Fanny didepannya sangat menawan dengan gaun berwarna biru tua yang memerlihatkan lekuk tubuhnya sementara ia yakin kalau apa yang ia pakai malam ini tidak bisa dibandingkan dengan Fanny. "Gue hanya sebentar disini – I don't have much money like them. Gue mau makan es krim di rumah."
Fanny bertanya, "Pulang naik apa?"
"Taksi, gampang lah Fan. Cie, sekarang mau debut akting ya?" goda Gabrina dan ia berusaha mengalihkan pembicaraan untuk membahas Fanny daripada membahas dirinya. Ia dan wanita itu pertama kali bertemu satu tahun yang lalu dimana Fanny menjadi model di photoshoot baju Kanianatha dan keduanya menjadi sering bertemu hingga sekarang.
"Wish me luck ya," balas Fanny sambil tersenyum singkat karena ia belum memberitahukan rencananya kepada Benedict. "Kapan-kapan gue ke tempat lo – pajamas party lagi."
Benedict yang merasa terabaikan dengan pembicaraan para wanita kemudian menyela, "Katanya lo mau pulang, Renata? Yasudah, sana pulang."
"Mengusir gue ya? Fan, pacar lo jahat nih."
Fanny kembali tertawa dan Benedict menjawabnya, "Mentang-mentang gue bawa Fanny sekarang lo mengadu terus ya, dasar jomblo. Makan es krim sana di rumah."
"Ya, Bapak Benedict. Jangan lupa kalian kalo ke tempat gue bawa es krim yang banyak – isi ulang kulkas gue."
____
Gabrina tersenyum tipis setelah ia melihat dari tepi ruangan bagaimana gaun yang ia pilih untuk Kandiya Tjahjadi begitu menawan hingga membuat hampir dua ratus tamu di ballroom terpana dengan kehadiran Kandiya sebagai chairwoman yayasan penyelenggara acara amal malam ini. Ia sendiri menghabiskan waktu selama satu minggu untuk mencari gaun yang diinginkan oleh Kandiya dan satu jam untuk membantu Kandiya memakai gaun itu – sebelum akhirnya ia pergi terlebih dahulu ke venue. Hal yang biasa ia lakukan sejak bertahun-tahun lalu dan malam ini ia bangga dengan usahanya sendiri untuk kesekian kalinya.
Tugasnya sudah selesai, setelah ini ia akan pulang.
Gabrina berdeham pelan saat Kandiya sedang berbicara dengan beberapa tamu – beberapa menit lagi Kandiya Tjahjadi akan memberikan sambutannya di podium sana dan ia haus – jadi ia berjalan ke area meja panjang penuh dengan kue dan minuman. Tetapi saat ia bersiap mengambil minuman sebuah suara memanggilnya.
"Gabrina Clo?"
Ia berbalik, "Ya?"
Gabrina tidak mengenal siapa pria itu dan ia menatap penuh tanda tanya kepada pria tinggi berjas hitam yang sekarang sudah mengulurkan tangan kepadanya, "Saya Dominic – saya adalah salah satu produser dari film dokumenter yang mana Anda juga akan ikut bermain didalamnya. Glad to meet you there."
"Oh, maafkan saya." Gabrina butuh beberapa saat untuk menatap pria itu. "Saya mendapat kabar kalau meeting pertama akan dimulai besok, maaf jika saya tidak mengenal Anda."
"It's okay – saya hanya ingin menyapa Anda karena kita sekarang ada di proyek yang sama. You look beautiful tonight."
Kedua tangannya memegang dua gelas dan menyodorkan salah satunya kepada Gabrina, "Champagne?"
"Terima kasih," Gabrina menolak sopan kepada pria berwajah asing ini. "Senang berkenalan dengan Anda, Bapak Dominic. Tetapi saya harus pergi – taksi saya sudah datang."
Dominic menaikkan sebelah alisnya. "Mrs. Tjahjadi bahkan belum memberikan sambutannya."
"Ya, tapi urusan saya sudah selesai disini."
"Oh," Dominic mengangguk pelan dan ia tidak menemukan cara lagi untuk membuatnya tetap berbicara dengan Gabruina. "Sampai jumpa besok, Gabrina."
"Saya permisi, Pak Dominic," kata Gabrina sambil tersenyum tipis dan ia melangkah menjauh dari pria itu.
Malam ini ia memakai gaun hitam sederhana dan tidak menata rambutnya secara rumit – jadi ia bisa bergerak dengan mudah. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Gabrina menemukan pintu keluar dan setelah ia berada di luar gedung, ia berhenti sejenak untuk memeriksa kakinya.
"Gabrina?"
Seseorang memanggil namanya dan dengan cepat ia berbalik, "Pak Dominic? Pestanya?"
"Sama seperti kamu – urusan saya sudah selesai," kata Dominic yang telah melepas jas hitamnya hingga menyisakan kemeja putih. Dua menit yang lalu ia sudah menyerahkan hal ini kepada Arthur dan membatalkan niatnya untuk menunggu Charleen yang belum datang.
"Taksi Anda?" tanya Dominic dengan serius sambil menatap Gabrina yang masih tidak berkata-kata.
"Taksi tidak bisa lewat sini – saya akan berjalan kesana."
"Saya antar?"
"Tidak usah," Gabrina tersenyum kecil dan ia baru menyadari beberapa orang sedang menatap ia dan Dominic berbicara. Kenapa? "Saya bisa berjalan sendiri."
Dominic dengan cepat membaca situasi, "Saya juga sedang mencari taksi."
"Oh ya? Ke daerah mana?"
"Sudirman. Kita bisa mencari taksi bersama – berapa lama dengan jalan kaki?"
Gabrina tidak tahu caranya menolak niat pria ini tetapi ia menjawab dengan ragu-ragu, "Hanya seratus meter."
"Hanya seratus meter. Apa saya boleh mencari taksi dengan Anda, Gabrina? Atau jika Anda merasa tidak nyaman saya akan berjalan didepan Anda. Banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda, Gabrina."
"Kenapa tidak disini?" tanya balik Gabrina karena ia merasa ada banyak keanehan dari pria itu dan ia tidak bisa memercayainya begitu saja. "Apa yang ingin Anda bicarakan?"
"Seperti, apa Anda mengingat siapa saya?"
____
![](https://img.wattpad.com/cover/213146690-288-k883987.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Lullaby
ChickLitEndless Lullaby | Mint Series #1 © 2020 Grenatalie. Seluruh hak cipta.