Dominic melihat pemandangan luar mobil melalui jendela karena tidak banyak yang bisa ia lakukan. Mereka baru saja bertengkar — lagi — untuk berebut posisi menyetir mobil dalam perjalanan mereka nanti. Lima menit setelah perdebatan Dominic akhirnya mengalah, ia bisa melihat security dan manajer melirik mereka karena keributan yang mereka berdua ciptakan.
Wanita gila, desis Dominic saat ia masuk ke kursi penumpang. Kalau sudah tahu wanita ini gila kenapa kamu mencari perhatiannya, bodoh.
Sementara itu Gabrina mengemudi Acura TLX putih milik Dominic, tidak ada dari mereka yang berniat membuka percakapan atau menyalakan musik. Gabrina berusaha bernapas dengan tenang. Setiap minggu ia selalu berlatih menyetir agar ia tidak kaku jika suatu hari kemampuan itu memang diperlukan, tapi ini Acura — ia tidak pernah menyetir mobil yang tidak akan bisa ia beli dengan gajinya dan Gabrina tidak ingin mobil ini lecet dan membuat urusan diantara mereka semakin panjang.
"Apa kamu mengantuk, Gabrina?"
"Tidak."
Dominic mencoba untuk menawarkan dirinya sendiri, "Kita bisa bergantian menyetir kalau kamu bosan."
"Kamu — cukup — tidur — itu akan sangat membantu aku," Gabrina mengatakannya dengan tajam agar pria itu tidak menganggu konsentrasinya.
Dominic tentu tidak melakukannya. "Aku tidak bisa tidur kalau kamu menyetir mobilku sendiri. Aku kira kamu menggunakan MRT ke Pacific?"
"Aku tidak punya mobil."
"Tapi kamu punya lisensinya—"
"Aku berlatih."
"Oh." Jawaban singkat dari Gabrina membuat Dominic mengerti. Untuk beberapa saat ia terdiam, bukan karena respon singkat dari Gabrina melainkan rasa nyeri lebam di punggungnya. Dominic mencoba untuk fokus kepada hal lain, "Aku juga pernah berpikir untuk bermimpi sama seperti kamu, G. Dominic empat tahun pernah meminta kepada orang tuanya untuk pindah rumah ke negara lain karena tidak nyaman menjadi sorotan dari beberapa pihak." Dominic tersenyum kecil saat mengingat cerita dari Arthur tentang dirinya di masa kecil. "Apa kamu memiliki mimpi lain?"
"Hmm, punya banyak uang."
"Untuk?" Alis Dominic terangkat sebelah.
"Bersenang-senang. you only live once." Gabrina tidak tahu kenapa ia melanjutkan kata-katanya padahal ia masih ingat baru saja menyuruh Dominic untuk diam. "I wasn't born with silver spoon in my mouth."
"Apa menjadi seorang desainer membuat kamu merasa cukup dengan hasilnya? Just want to know karena kamu bekerja dengan adikku."
Gabrina terdiam sejenak. Ia tidak menggeleng atau menggangguk, "Charleen baik kepada semua orang yang bekerja dengannya."
Dominic mengangguk pelan. "Apa kamu tidak ingin bertanya kepadaku, Gabrina?"
"Aku bahkan tidak mengerti kenapa kamu menceritakan impianmu. I'm not curious and don't care — apa kamu bisa tidur sekarang, Dominic? Apa kamu butuh obat tidur?" Gabrina menoleh singkat, "Aku ada — kamu bisa meminumnya dan aku akan membangunkan kamu sesampainya kita di rumah sakit nanti."
"Apa sebelumnya kamu membawa obat tidur untuk dirimu sendiri, Gabrina?" Pertanyaan bodoh, lalu untuk siapa jika bukan untuknya sendiri? Dominic mengganti pertanyaannya, "Tidak — tidak, apa kamu sakit? Tidak hanya hari ini aku melihat wajahmu pucat."
"Don't mind me. Hmm, aku kadang lupa tidur karena pekerjaanku jadi aku mencoba membuat jadwal setidaknya dalam satu hari aku harus tidur minimal empat jam."
"Sejak kapan?"
"Hmm, cukup lama."
Dominic tidak bisa berhenti bertanya, "Apa Charleen membuat kamu bekerja terlalu keras?"
"Dominic, apa yang sedang kita bicarakan dasar tidak masuk akal. Ini bukan urusan kamu, kan?" kata Gabrina dengan dingin karena ia tidak ingin keduanya melewati batasan masing-masing. Disaat itulah dering ponsel Dominic memecah pembicaraan mereka dan pria itu, Dominic menggenggam ponselnya begitu kuat karena telah menginterupsi pembicaraan mereka dan menjawab panggilannya. "Ya?"
"Your Highness."
"Bandara dan dalam perjalanan pulang."
Arthur tidak tahu kenapa Dominic begitu lama dengan urusannya di bandara kalau kepentingannya sekedar bertemu dengan pamannya. "Apa Anda sendirian atau bersama seseorang?"
"Bersama wanita — kamu mengenalnya. Apa syutingnya sudah selesai, Arthur?"
Arthur hanya mencatat segala sesuatu yang terjadi karena dengan cara itulah setidaknya Dominic tahu dengan kegiatan hari ini sebelum melakukan evaluasi dengan tim Sara. "Saya tidak tahu untuk apa saya berada disini, My Lord."
"Kamu — menggantikanku, apa ada masalah disana?"
"Tidak ada, My Lord. Kira-kira jam berapa Anda akan kembali?"
"Aku tidak tahu, nanti aku hubungi lagi. Arthur aku akan menutup teleponnya."
Dominic mengetikkan sesuatu ke ponselnya, "Satu setengah kilometer dari sini ada rest area, bisa nanti kita mampir kesana?"
"Untuk?"
"Toilet dan makanan — kalau kamu ingat aku belum makan, juga kamu."
"Fine."
Kemudian Dominic meletakkan ponselnya ke dashboard. Ia ingin mencoba menuruti permintaan Gabrina dengan memejamkan mata dan mengubah arah kursinya menjadi lebih landai.
Oh tentu saja lebamnya, Dominic meringis dan mencoba untuk memiringkan tubuhnya sendiri kearah jendela. "Nanti bangunkan aku," pesan Dominic walau ia hanya memejamkan matanya tanpa tidur sama sekali. Selanjutnya hanya ada gumaman pendek Gabrina yang Dominic anggap sebagai persetujuan.
Dua puluh menit kemudian Gabrina menepikan mobil mereka saat menemukan peristirahatan. Ia memarkirkan dengan hati-hati dan bersyukur dalam hatinya tidak ada kejadian apapun pada Acura Dominic.
"Kamu tidak turun?" tanya Dominic kepada Gabrina saat menyadari posisinya masih sama.
Gabrina menggeleng. "Lalu siapa yang bisa menemaniku kalau-kalau aku jatuh? Punggung dan kakiku masih sakit, G," keluh Dominic.
"Fine." Gabrina menggigit bibirnya sendiri. Ia keluar dari kursi pengemudi, berjalan memutar ke sisi penumpang sembari berpikir apa yang harus ia lakukan nanti untuk menuntun Dominic.
Dominic sudah mengeluarkan kakinya dari mobil tetapi ia belum berdiri. "Aku tidak tahu caranya menuntun kamu," Gabrina mengaku.
"Never in your life?"
"Aku terbiasa dengan teman-teman perempuanku dan bukan laki-laki, so what position should I take?"
Dominic mengulurkan kedua tangannya, "Tahan sebentar, bantu aku berdiri."
Mengabaikan rasa sakit di badan bagian belakang Dominic berusaha berdiri dan ia merasa mendengar bunyi ponsel namun ketika ia cek miliknya sendiri, layar ponsel tidak menyala sama sekali.
"My phone," Gabrina meraba-raba kantong celananya dan langsung mengubah mode ponsel menjadi mode senyap sebelum memasukkannya kembali. "Maaf."
"Aku tidak paham kenapa kamu perlu minta maaf hanya karena ponsel?" Dominic bertanya tetapi ia tidak mendapatkan jawabannya dari Gabrina. "Here behind me just in case I don't fall rasanya cukup didefinisikan sebagai 'menuntun', G."
____

KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Lullaby
ChickLitEndless Lullaby | Mint Series #1 © 2020 Grenatalie. Seluruh hak cipta.