#44# - Forty Four

937 131 2
                                    

Gabrina Clo membuka mata dan hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit ruangan yang asing, dan ketika ia menggerakkan tubuhnya Gabrina sadar sedang tidur di sofa. Ia memejamkan matanya berkali- kali berusaha mengingat apa yang terjadi disaat sebuah bayangan mendekatinya, Benedict Canale terlihat aneh dengan apron yang ia pakai. Kemudian Gabrina menggerakkan tubuhnya untuk berganti posisi menjadi duduk, ia mengangkat alisnya refleks saat menatap pria yang menyapanya.

"Lo mau memasak - makan gue?" Gabrina yang masih berusaha mengumpulkan kesadarannya bertanya konyol saat ia menatap Benedict.

"Do I look like want to eat you?"

"Lo bawa pisau dan daun bawang, Benedict."

"Gue masak untuk dua manusia kelaparan di ruangan ini," Benedict menyipitkan matanya. "Oh tentu saja, sama-sama. I'm sure my food won't make anyone get sick."

Benedict berbalik, kembali ke dapur. Sementara itu Gabrina yang berhasil menapakkan kakinya di lantai kemudian menyadari tubuhnya yang lengket karena keringat. Ia melirik ke ponsel hitam Benedict di atas meja dan membuka layarnya hanya untuk melihat jam berapa sekarang.

"Just in case you need it, sudah gue siapkan handuk dan peralatan mandi di kamar, Renata." Tanpa membalikkan badannya Benedict melanjutkan, "Lo bau."

"Lo juga bau," balas Gabrina.

Gabrina menoleh ke kamar satu-satunya, ia terdiam untuk beberapa saat. "Tolong masak yang enak, Pak Benedict. Gue lapar - mana tahu kalau gue bangun tengah malam."

"Berisik."

Satu jam kemudian setelah mereka selesai makan malam dengan masakannya yang sederhana ia tidak menghalangi Gabrina yang berinisiatif untuk mencuci piring. Sementara itu Benedict berdiri dan mengembalikan bantal-bantal di sofa ke ranjangnya. Ia membutuhkan kopi setelah melewati hari yang cukup panjang baginya, jadi Benedict sekali lagi pergi ke dapur untuk membuat kopi.

Gabrina sedang membilas piring saat melirik Benedict tengah mengaduk sebuah cangkir isi kopi, "Lo mau lari-lari di GBK lagi?" tebaknya.

"Apa gue terlihat seperti orang yang ingin lari-lari?"

Gabrina mengedikkan bahunya, "Lo lebih terlihat seperti atlet yang patah hati di mata gue."

"Damn, why don't you go back to sleep instead of being noisy?" Benedict menggerutu. Sambil mengurus kopinya diam-diam ia melihat kemeja flannel yang ia pinjamkan ke wanita itu tampak terlalu besar hingga menutupi luka-luka cakaran di tangannya. Terlalu banyak bekas luka - mengapa ia baru menyadarinya sekarang?

"Gue mau pulang, Benedict. Thanks for your food," kata Gabrina setelah menyelesaikan sendok terakhir.

"Tengah malam? Apa lo butuh jam sebesar jendela rumah untuk tahu jam berapa sekarang?"

"Better go home-" Benedict dengan kesal terus menatap Gabrina yang masih berbicara, "Rasanya gue nggak punya muka setelah apa yang terjadi tadi. Lagipula tidak adil buat lo harus terus-menerus melihat gue."

"Ah, si keras kepala Renata sekarang kembali lagi." Benedict menampilkan reaksi datar. "I wonder when someday - when you finally meet someone, apa lo akan tetap seperti ini? Datar, membatasi diri, mengintimidasi."

"Mustahil, berapa kali gue harus bilang kalau gue nggak mau dicintai?"

Benedict bertanya, "Apa lo benar-benar tidak ingin dicintai? Bagi gue itu hanya tameng lo saja, Renata. Lo terlalu ... pesimis."

"Because you never know how it feels."

"Then tell me." Benedict berdiri, "Ceritakan kepada gue agar lo bisa membagi rasa itu. Memang itu tujuan perjanjian kita, bukan?"

Gabrina menampilkan reaksi datar dan tidak berbicara sama sekali hingga Benedict kembali bertanya, "Lalu apa yang harus gue lakukan, Renata? Hujan hanya akan membuat lo menangis juga."

"Do you like me?"

"Jeez, why should I like you?"

"Then let's kiss." Bukan Benedict yang maju melainkan Gabrina. "Kiss me now so you can think what I'm thinking."

"Apa lo yakin?"

Gabrina dengan ragu mengangkat lengannya melingkar ke leher Benedict, "Di ruangan ini hanya ada kita berdua - why not make this more obvious?"

Kemudian Benedict menangkup wajah Gabrina mempertemukan bibir mereka, sama sekali tidak ada keraguan di mata mereka berdua. Gabrina yang mempunyai pengalaman buruk dengan hal ini tidak berusaha menggerakkan bibirnya karena ia tahu tubuhnya sendiri sedang gemetar karena rasa takut dan khawatir. Ia berniat mendorong dada pria itu saat mendengar bisikan, "Jangan dorong gue kecuali lo mau kita jatuh."

Benedict yang sudah memperkirakannya kemudian menangkap pergelangan tangan Gabrina yang dingin dan mengenggamnya. Hidung mereka kembali saling menyentuh dan ia meletakkan tangannya di punggung Gabrina, membawa wanita itu semakin dalam ke lengannya.

"Lo suka?" tanya Benedict saat Gabrina menutup bibirnya sendiri dengan punggung tangannya.

Gabrina berdesis, "For the God's sake, untuk apa gue berada disini?"

"Gabrina-"

Ia mundur, "I feel nothing, jantung gue nggak berdegup kencang apa itu cukup untuk membuat lo mengerti? I'm sure you feel it too, jantung lo berdetak lebih kencang saat dekat dengan orang yang lo cintai. We know who she is."

"Good, gue juga tidak merasakan apapun, so can we continue the contract? Kita yang saling membantu-"

"Gue nggak mau dibantu, tidak boleh dengan lo."

Benedict Canale mengerutkan keningnya, "Kenapa?"

Kenapa? Gabrina bertanya kepada dirinya sendiri. "Gue nggak mau menjadi penghalang."

"Memang siapa yang bilang lo adalah penghalang?"

Gabrina menggeleng kecil. Ia menghabiskan tiga puluh menitnya di kamar mandi tadi untuk berpikir ulang tentang kemungkinan lebih banyak orang yang akan tersakiti karena perjanjian mereka. "Just please, lo tidak perlu merasa bersalah atau semacamnya karena melihat gue. You know what, I think it's a mistake to continue on this one. I will say it clearly, tadi adalah kali terakhir bagi lo melihat gue."

Gabrina masih terus berbicara, "You don't deserve it. Jangan ada orang yang menderita karena gue. Benedict, gue akan mengatakan semuanya kepada Fanny, semua. And please, gue akan membiarkan lo untuk tahu - you have to go away from me. Lo pikir gue tidak tahu tentang jadwal lo ke Kairav?"

Tunggu, Benedict tidak tahu bagian mana yang ia lewatkan sehingga kata-kata Gabrina berlalu begitu cepat di kepalanya. "Why always her?"

"I know how it feels to see my man closer to another woman."

"Bullshit, lo tidak pernah punya kekasih, Renata." Benedict menyipitkan matanya, "Did I miss something here?"

"Let me say this, you don't need to know everything." Gabrina Clo sudah terlalu lelah, "I don't want to fight with you."

"Benedict, I hate to see you in near with me. Dengan lo gue merasa lebih lemah. I beg you, sekarang gue akan menjaga jarak dengan lo."

"Apa yang lo harapkan setelah berkata seperti itu? Apa lo berpikir gue akan menuruti setiap kata-kata dari lo - termasuk saling menjaga jarak?"

"Why not?"

"Memang apa yang lo harapkan setelah ciuman tadi, Bapak Benedict?"

....

Gabrina berkata dengan dingin tidak memedulikan perasaan sesak yang muncul di dadanya, "See, nothing happen. Benedict, it's over. Gue akan berterima kasih karena lo berkali-kali menemani gue, tetapi sekarang - it's over. Jangan merasa bersalah karena tujuh tahun lo ada di waktu yang salah bersama gue."

Sementara Benedict diam tidak bereaksi apapun, Gabrina bersiap mengambil kembali barang-barangnya. "Jangan terbebani, you have to wait for someone you love."

____

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang