"Mas Ben, mbaknya kenapa?" tanya penjual nasi goreng kepada Benedict karena ia melihat pria itu kembali sendirian. "Kalau ada apa-apa biar Mas Adam saya telepon, kan orangnya sudah pesan kalau saya juga harus wanti-wanti kalau Mas Ben kesini."
"Nggak usah, nanti Adam kesini sama pacarnya," jawab Benedict dengan asal. "Teman saya tadi masuk angin, Mas." Tentu saja ia tahu si Adam kaku tidak memiliki kekasih karena pria itu sangat menyukai pekerjaannya sekarang, yaitu menjadi bagian dari Pasukan Pengamanan Presiden. Benedict kemudian mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya dan mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah untuk ia letakkan di atas meja. "Terima kasih ya, Mas. Kembaliannya ambil saja."
"Waduh, banyak sekali, Mas Ben. Tunggu sebentar saja biar saya ambilkan kembalian-"
"Buat masnya saja nggak apa," Benedict mengambil barang-barang mereka yang masih ada di warung itu dan segera pergi secepat yang ia bisa. Ia membuka pintu mobil samping pengemudi yang mana sudah ia turunkan punggung kursi sehingga Gabrina bisa bersandar disitu.
Gabrina mengangkat tangannya dari wajah, "Baju lo kotor."
Benedict tidak memedulikan pakaiannya melainkan membuka tutup botol mineral sebelum ia mengulurkannya kepada Gabrina, "Ren, kumur-kumur sini."
Sembari menunggu Gabrina selesai berkumur-kumur Benedict membuka tas tangan Gabrina dan menemukan tisu basah disana. Ia mengulurkan kemasan itu kepada Gabrina dan mengambil satu kali lagi untuk menyeka lengannya yang juga kotor.
"Gue bikin repot ," Gabrina bergumam setelah meletakkan botol mineral di atas dashboard, "Gue nggak mau bikin orang lain repot."
"Nggak ada yang merasa direpotkan disini."
"Gue terlihat lemah karena bikin orang lain susah," Gabrina tidak memedulikan penampilannya karena ia enggan melihat dirinya sendiri di cermin spion. Sama seperti beberapa tahun yang lalu ketika ia membenci wajahnya sendiri. "Minggir, Ben. Gue mau pulang."
"Gue antar."
"Gue mau pulang sendiri."
"Pig-headed, biar gue yang antar lo." Benedict kemudian membuka pintu belakang dan meletakkan ranselnya. Ia kembali ke sisi Gabrina untuk memakaikan sabuk pengaman wanita itu, "Kapan terakhir lo kontrol?"
"Gue selalu kontrol tiap bulan, lo pikir?"
Benedict menutup pintu di samping Gabrina sebelum ia memutari mobil untuk duduk di kursi pengemudi. "Kita ke rumah sakit dulu."
"Buat apa?" Gabrina menggeleng lemah, "Gue mau pulang. Hanya butuh kasur – ya, hanya kasur. Nggak butuh dokter untuk sekarang."
Tidak mendengar tanggapan dari pria disampingnya membuat Gabrina berkata, "Lingkaran hitam di mata gue terlihat menyeramkan, Ben. Lo tahu nggak sih kalau gue lembur karena photoshoot ini? This is the hardest concept I have done so far. Bahkan Atha saja tidak pernah mengerjakan konsep urban punk, so I made another breakthrough for Dic'I."
"Hmm, loyal. Apa lo akan selamanya berada di perusahaan itu?" tanya Benedict.
Tetapi Gabrina tidak tahu harus menjawab apa dan ia mulai berpikir mundur beberapa tahun lalu dimana sebelum lulus dari Parsons ia melakukan internship di Chanel Inc. dan setelahnya bekerja di tempat itu selama satu tahun sebelum akhirnya ia pulang ke Indonesia dan segera bergabung dengan Pacific Fashion yang saat itu belum sebesar ini. "I don't know, Dic'I membuat gue nyaman dan baik Charleen maupun Atha tidak pernah membatasi ruang gerak gue."
"Termasuk private show?"
"Mereka justru tertarik, Ben." Gabrina ingat bagaimana reaksi dua wanita itu ketika ia menyampaikan keinginannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Lullaby
ChickLitEndless Lullaby | Mint Series #1 © 2020 Grenatalie. Seluruh hak cipta.