#34# - Thirty Four

1.1K 121 2
                                    

Amyla Renata tidak percaya kepada temannya yang masih asyik sendiri ketika ia melihat jam tangan sederhana di pergelangan tangan kirinya dan menyadari bahwa mereka sudah menghabiskan dua jam di Keyland Thrift, sebuah thrift store yang tidak berada di jalan utama tetapi Evie mengatakannya dengan mata berbinar, bahwa ini adalah surga-nya.

Oh, surga. Yang benar saja. Ia membuka mata sebelum berdiri dari sofa dan mengatakannya dengan bosan. "Biar aku katakan kalau itu adalah item ketujuh belas yang sudah kamu ambil, Ev."

"Jarang aku datang ke kota ini," Evie memutar-mutar tubuhnya di depan cermin karena ia ingin melihat bagaimana topi baseball hitam yang ada dikepalanya terlihat cocok atau tidak. "Mana barang-barang kamu?"

"Spending a thousand bucks at a thrift store isn't my style."

Renata melihat bagaimana wanita didepannya melepas topi baseball dan memperbaiki rambut, "Ambil sesuatu yang kamu suka," Evie mundur dua langkah dan secara asal dia menunjuk satu deret baju yang tergantung, "Daripada aku memberikan deret ini untuk kamu. You know, tidak sopan tuan rumah tidak memberikan apapun ke tamunya."

"Thanks, tapi aku tidak memerlukannya, Ev."

"It's investment, darling."

"Iya tahu tapi aku tidak berniat menghabiskan sembilan ratus dollar hanya untuk jaket berumur tiga puluh tahun."

Evie tertawa kecil saat Renata kembali menyinggung jaket yang sudah ia ambil, sebuah jaket berwarna navy yang berasal dari tahun 1989. "It's cute, you know?"

"Even though it's cute, I still don't need it."

"Investasi, duh."

"Ya,ya,ya – investasi kata kamu. Investasi yang menurutku hanya bisa dilakukan oleh orang-orang seperti kalian. For people like me, the best investment would be to have a mint ice cream truck in my dorm."

"Nah, you got it. Smart, girl."

"Let me know if you really invest in an ice cream truck."

"Untuk maniak seperti kamu?"

Renata mencibir, "Sound like I have a fetish."

Ia melipat kedua tangannya didepan dada. Dengan cepat Evie sudah melupakannya dan berbicara tentang beberapa hal dengan George. Menyebalkan. Ia sangat lapar.

"George bilang ini cocok dengan kamu," Evie kembali berdiri didepannya sambil membawa sebuah sweater rajut merah marun. Tanpa menunggu pendapat temannya Evie menerka-nerka bagaimana sweater itu terlihat di badan Renata, "Let's take this one."

Mata Renata membelalak tetapi Evie terlebih dahulu membuka mulutnya, "I know you won't try this, ukurannya diatas ukuran kamu. Aman."

"Aku lebih memilih untuk merajut sendiri sweater yang akan aku pakai, duh."

Evie berbalik seolah hal itu tidak menganggunya, "Your welcome, nanti kalau ada yang bagus biar aku ambil juga."

Hanya George yang tertawa melihat interaksi mereka berdua sementara Renata kembali menggerutu tidak jelas. Pertama, ia lapar. Kedua, ia melihat tag harga sweater itu lima ratus lima puluh dollar. Ketiga, Evie mengabaikan ia yang sedang kelaparan. Keempat, sweater itu terlalu mahal ketika ia menerka berapa banyak benang rajut yang bisa ia dapatkan dengan uang sebanyak itu. Kelima, ia benar-benar lapar.

Dan ia menyadari kenapa Kevan Graham – pria yang ia suka – begitu menyayangi Evie walau mereka sering bertengkar. Bukankah saudara memang seperti itu?

Tunggu, ada yang salah. Renata tercekat, kenapa tiba-tiba nama Kevan meluncur begitu saja dari pikirannya? Tidak masuk akal, tidak ada relasinya sama sekali. Bodoh sekali ia. Bagaimana bisa?

Sementara itu, Evie tertawa dan ia meletakkan topi yang sudah dipilihnya keatas meja kasir. George, pemilik thrift store yang berusia lebih dari setengah abad tetapi masih bugar ikut tertawa saat mendengar celetukan Renata. Evie kemudian menepuk-nepuk tangannya sebelum ia berbalik dan melihat Renata yang terdiam sambil melipat kedua tangannya didepan dada. Kali ini Renata tidak ragu untuk meletakkan tangannya di atas perutnya sendiri. "Aku lapar, Ev. Disini jaket lima ratus dollar tidak bisa aku makan. Kalau aku makan jaketnya bisa-bisa aku dimakan kamu."

"Wait, aku belum cari syal-"

Renata benar-benar kelaparan sehingga ia tidak yakin bisa menunggu lebih lama temannya, "Kamu tunggu disini sementara aku mau cari makanan diluar."

"Delivery, girls?" George yang sudah mengenal Evie Graham sebagai salah satu pelanggan setianya menawarkan bantuan. "Order something and ask to send it here, kalian bisa makan di lantai dua."

"I'd rather eat something calorie than pizza, Sir," kata Renata sambil membayangkan ia harus menunggu tiga puluh menit lagi hanya untuk menunggu pizza.

"Order extra pepperoni or cheese, darling. Setengah jam bisa aku gunakan untuk mencari syal, got it?"

Renata tidak menjawabnya, tetapi ia segera kembali ke sofa sambil mengeluarkan ponselnya untuk memesan pizza. George keluar dari bilik kasir dan mengajak Evie ke tempat dimana syal-syal berada. Sembari berjalan ia berkata, "Your Asian friend doesn't seem to like pizza."

Evie memutar matanya. Matanya berbinar saat melihat sebuah syal dengan motif monokrom abu-abu menarik perhatiannya. "Oh, she really doesn't know the art in this place. Jadi, setelah pizza datang nanti aku boleh ke lantai dua?"

"This," George yang sedang bersandar di stand hanger kemudiah memasukkan tangannya ke dalam saku celana dan mengulurkan sebuah kunci. "Balcony key. Just wondering if you want to eat at balcony."

____

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang