85/99 She doesn't like peanuts – need to remember this every time she eats with me
86/99 She wants to do her private show
87/99 She cried for the answers she had been looking for all this time
____
"Hi, supir." Adalah hal pertama yang diucapkan Gabrina kepada sahabatnya, Benedict yang kini menatap balik dengan sebelah alis yang naik.
"Gab, elo patah hati? Atau sedang galau buat cari rasa desain lo yang baru?"
"Supir, lo sendiri aneh deh."
"Mata lo bengkak, sialan." Benedict melirik spion untuk memundurkan mobilnya, "Gue nggak mau ya kalau tiba-tiba pegawainya pasang muka sinis karena mereka mengira gue yang bikin lo nangis." Hari ini, Gabrina meminta bantuannya untuk menemani jadwalnya ke salah satu pabrik tekstil untuk mencari material baru yang diperlukannya. Benedict yang sedang tidak memiliki jadwal kemudian menyanggupi dan hal pertama yang ia sadari saat melihat Gabrina berjalan ke mobilnya adalah matanya yang bengkak.
"Nanti gue pakai kacamata, Ben. Tenang saja." Gabrina menjawab singkat.
"Tidak apa-apa kali, Gab, menangis kalau itu bikin lo tenang." Benedict yang tidak ingin terlihat peduli kemudian melanjutkan, "Maksud gue, lo ada masalah? Tentang desain? Atau tentang pacar lo?"
"Dominic bukan pacar gue, sialan."
Benedict memindahkan perseneling, dari tempatnya ia bisa melihat jalanan yang ramai. "Terus tidak ada status, begitu maksud lo?"
"Bukan – bukan begitu, tapi kami sedang komitmen. Bukan pacaran. Kalau pacaran seharusnya kita –" Gabrina tidak mampu menyelesaikan kalimatnya sendiri untuk beberapa saat. "The point is, kami tidak pacaran, Ben. Seriously, ini pembicaraan kita?"
"Kan gue cuma konfirmasi, Gab." Ia melirik wanita disampingnya, Gabrina tengah menatap lurus kedepan dengan wajah yang kaku. "Gue juga dengar tentang situasi di Versailles. Berita tentang kesehatan Raja sedang tidak baik dan masih belum ada press release lagi sejak seminggu yang lalu."
"... "
"Dia telepon lo, kan?"
"Dia telepon gue – banyak – kalau itu bisa jawab rasa penasaran lo."
Perlahan Benedict menginjak pedal rem, lampu merah di persimpangan dan ia menghentikan mobilnya menunggu lampu itu berubah warna. Gabrina berkata terlebih dahulu, "T-tapi, mungkin ini juga salah gue karena terlalu oversearching di internet, sampai-sampai melihat rumor dan beberapa berita yang tidak enak tentang dia. In the end, akhirnya gue juga yang resah."
"Sudah bicara hari ini lo dengan dia?" Benedict menoleh sekilas.
... "That's the thing, dia tidak balas pesan gue sejak kemarin lusa."
____
Dominic membiarkan bahunya dijadikan sandaran kepala oleh Gabrina. Mobil yang mereka kendarai melaju dengan cepat melintasi tol pada dini hari. Gabrina bersikeras untuk mengantar Dominic hingga bandara walaupun itu berarti pengawal kerajaan akan melihat kehadirannya.
"Aku bisa membangunkan kamu saat kita sampai di bandara."
Gabrina menatap tangan Dominic yang lebih besar darinya. Jari-jari pria itu memijat santai telapak tangannya, "Aku juga bisa membangunkan kamu saat kita sampai nanti."
"I would, but I won't," Dominic berkata jujur. Satu-satunya yang menjadi penerangan adalah lampu jalanan yang mereka lintasi dengan cepat. "Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah berdoa agar semuanya baik-baik saja."
TIdak ada yang bersuara hingga lima menit kemudian. Dominic bertanya satu hal yang ada dipikirannya semenjak beberapa jam yang lalu. "Apakah kamu membenci New York karena mereka?"
Gabrina tidak mengerti pada awalnya namun setelah ia berpikir ia memahami maksudnya. "Aku memang membenci mereka," Ia mengedikkan bahunya. "Tapi aku tidak tahu apakah aku pantas untuk membenci Evie."
"Aku minta maaf karena tidak membicarakannya kepada kamu." Dominic mengatakannya dengan rendah, "Aku kira dengan hal itu aku bisa membantu kamu melepaskan traumanya. Aku juga marah saat tahu pelakunya masih bebas berkeliaran," Dominic menahan emosinya. "Tidak perlu ada korban lagi kedepannya."
"I don't know, Dominic. Aku tidak pernah tahu apakah aku sanggup menuntut mereka. Evie – adalah orang yang sangat berperan dalam hidup aku. Dia membantuku setelah kejadian di Orono."
"Maksudnya adalah, aku tahu bahwa ia membuat laporan yang dikerjakannya atas namaku, sehingga aku bisa menyelesaikan sidang etik kampus atas keabsenanku. Parson adalah tempat yang sulit, pada akhirnya aku juga tahu kalau ia membantuku selama satu tahun agar investasi pendidikanku dicabut. Ia membuat sebuah janji dengan salah satu perusahaan untuk mengirim portofolio proyek kampusku, mengurus semuanya hingga tampil di showroom. That's super Evie." Gabrina menarik napasnya sejenak. "But the hardest part from that, ia tidak berbicara sama sekali denganku."
"Lalu apa yang terjadi di sisa tahun kalian?"
"Evie mendaftar program transfer kampus disaat periode tahun ketiga kami dan sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dengannya."
Dominic bertanya kembali, "Apa kamu ingin bertemu dengannya?"
"Mungkin dari dulu aku ingin bertemu dengannya, Nickie. Aku ingin berbicara banyak dengan dia, aku ingin melihatnya. Dan aku ingin ia tahu, bahwa ia tidak perlu merasa bersalah atas apa yang dilakukan keluarganya."
____
Benedict menarik tuas rem. Keduanya telah sampai di pabrik yang menjadi tujuan mereka. Perjalanan selama satu jam lebih membuat Gabrina tertidur pulas, seolah tidak terpengaruh dengan beberapa jalanan yang cukup berkelok tadi. Benedict melepas seatbelt miliknya sendiri sebelum berkata, "Gab, bangun."
Ia mengguncang lengan wanita itu, dengan perlahan mata Gabrina membuka dan menyesuaikan intensitas cahaya, "Astaga, gue ketiduran," gumamnya.
"Tidur jam berapa lo?"
"Jam tiga sepertinya, duh." Tangan Gabrina mencari ponselnya dan berdecak saat benda itu tidak menyala saat ia membuka kuncinya. "Ponsel gue habis baterai, apa charge didalam saja ya?"
"Pinjam ponsel lo dong, Ben." Ia mencondongkan tubuhnya kearah Benedict yang masih membaca sesuatu di ponselnya dan gerakan Benedict yang tiba-tiba mengelak membuat Gabrina menyipitkan mata. "Duh, iya tahu yang lagi pacaran sama Fanny. Maaf deh, nggak akan intip chat elo kali gue, Ben."
Dengan cepat Benedict mengembalikan layar utama ponselnya sebelum ia ulurkan kepada Gabrina. "Kasihan yang lagi long distance."
Gabrina menggerutu, Benedict tertawa palsu. Ia hanya berharap sahabatnya tidak membuka browser ponsel. Homepage browser-nya diisi oleh berita panas yang diunggah sejak dua hari yang lalu oleh salah satu media swasta Prancis, memuat foto eksklusif yang menampilkan Dominic Faillieres keluar dari mobil yang sama dengan Allesia Lafont dengan asumsi kuat dari sumber orang dalam kerajaan yang menyatakan bahwa keduanya akan melangsungkan pertunangan.
Setidaknya Benedict memercayai hal itu hingga ia menyadari history aplikasi yang dibuka Gabrina menunjukkan bahwa wanita itu membuka browser ponselnya. Kenapa aku harus panik, pikirnya saat memperhatikan Gabrina yang tengah berbincang dengan setumpuk map yang memenuhi meja.
"Gab," ia memanggil wanita itu ketika staf mengambil sesuatu di almari. "You're fine?"
Gabrina tersenyum tipis, tangannya masih meraba tekstur kain dan mencatat beberapa hal yang penting di bukunya. "I'm fine. Kenapa, Ben?"
Benedict menjawab canggung, "Tidak apa-apa."
____

KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Lullaby
Chick-LitEndless Lullaby | Mint Series #1 © 2020 Grenatalie. Seluruh hak cipta.