44. Kritis

143 17 9
                                    

Keesokan harinya begitu Devi membuka kedua matanya, ia melihat Sean yang tengah tersenyum ke arahnya. Ya, Devi memang tidur di samping Sean meskipun perawat dan dokter sudah melarangnya namun Devi tetap bersikukuh untuk tidur bersama Sean.

Perlahan tangan Sean terulur membelai rambut Devi dan menyelipkannya ke telinga Devi.

"Kau sudah bangun?" tanya Sean lembut yang diangguki oleh Devi.

"Tapi aku mau tidur lagi," ujar Devi sembari memeluk Sean lebih erat.

Sean tertawa kecil sembari mengacak pelan rambut Devi sebelum ia teringat sesuatu.

"Dev," panggil Sean.

"Hm?" jawab Devi tanpa membuka matanya.

"Kata Alby kau malas belajar dan sibuk berkencan dengan Raden. Apa benar?" tanya Sean.

"Benar," jujur Devi.

Sean menghela nafasnya pelan sebelum pada akhirnya ia merubah ekspresinya dan menyentil dahi Devi pelan.

Tuk!

"Aduh! Kenapa kakak menyentil dahiku?!!" protes Devi sembari mengusap dahinya.

"Kenapa kau malas belajar dan malah sibuk berkencan?! Kau itu masih kecil dan tugasmu hanya belajar bukannya malah pacaran! Aku tidak mau tahu pokoknya kau tidak boleh berpacaran dengan Raden! Kau harus fokus untuk masa depanmu!" omel Sean.

"Masa depanku kan kak Raden!" balas Devi.

"Raden apanya?!! Kau tidak akan bisa berkencan dengan Raden kalau nilaimu tetap saja merah! Aku tidak mau tahu, mulai sekarang kau harus fokus belajar dan sekolah! Awas jika Alby memberitahuku kalau kau berkencan dengan Raden lagi," ancam Sean.

Sean sengaja tidak memberitahukan siapa Raden sebenarnya pada Devi karena Devi tidak tahu jika kedua orangtuanya meninggal karena dibunuh dan orang yang membunuhnya adalah ayah Raden.

"Astaga kenapa pagi-pagi sudah ribut?" tegur Renata yang baru saja memasuki ruang rawat Sean.

"Tanya saja pada kak Sean," ketus Devi sembari membuang mukanya dari Sean.

"Dev!" tegur Renata. "Kau tidak boleh seperti itu pada kakakmu," lanjut Renata sembari berjalan mendekat kearah Devi.

Renata terkejut begitu melihat Devi yang tengah menangis. Devi segera memberi kode pada Renata agar tidak memberitahu Sean jika ia menangis. Devi hanya berpikir apakah nanti ia masih bisa mendengar kakaknya memarahinya lagi? Berpikir seperti itu saja sudah membuat Devi sedih.

"Aku mau mandi dulu. Setelah ini kak Sean harus menemaniku jalan-jalan lagi," ujar Devi seraya bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.

Sean menatap punggung Devi dengan sedikit bingung. Kenapa Devi buru-buru pergi?

"Devi kenapa?" tanya Sean pada Renata.

"Kenapa apanya? Dia ingin pergi mandi, lagipula jika disini bersamamu kau pasti akan terus mengomelinya tanpa henti," ujar Renata membuat alasan.

"Apa aku secerewet itu?" tanya Sean pada Renata.

"Sedikit."

Renata pun duduk di kursi yang berada di samping brankar Sean.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Renata lembut sembari menggenggam tangan Sean.

"Baik. Setidaknya hari ini kondisiku memungkinkan untuk menemani Devi jalan-jalan," ujar Sean.

Mendengar hal itu justru membuat Renata menangis. Renata pun menangis tersedu-sedu di samping brankar Sean.

"Ta kenapa kau menangis? Berhentilah menangis, di kamar mandi ada Devi. Bagaimana jika ia mendengar suara tangisanmu?" panik Sean sembari menenangkan Renata.

Dokter Alby Pujaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang