107. Aku Pembunuh?

28 4 2
                                    

Pagi-pagi sekali Devi sudah bangun dari tidurnya. Ia segera memakai jaket tebalnya dan keluar dari rumah secara sembunyi-sembunyi. Ia harus segera pergi ke jalan bercabang sebelum Asep memergokinya dan melaporkannya pada Alby.

Sebenarnya kemarin Devi ingin mampir dulu ke bangunan tua itu sebelum pulang namun hari sudah larut malam dan Devi tidak mungkin masuk ke dalam hutan malam-malam. Alhasil Devi pun memilih pulang terlebih dahulu dan pergi keesokan paginya.

Dengan bermodalkan sepeda milik Asep, Devi pun segera bergegas pergi. Devi hanya penasaran sebenarnya tempat apa itu, kenapa Alby melarangnya ke sana dan kenapa Devi merasa tidak asing dengan tempat tersebut?

Setelah sekitar dua puluh menit di perjalanan, Devi pun akhirnya tiba di depan bangunan tua tersebut. Devi mengamatinya dari jauh sebelum akhirnya ia memberanikan diri untuk memasukinya.

Dengan sangat pelan Devi mulai melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak yang mengarah ke dalam rumah tua tersebut.

"Bukannya om Alby bilang ini pabrik terbengkalai? Tapi kenapa ini lebih terlihat seperti rumah?" gumam Devi.

Kriet!!

Suara pintu berderit pun terdengar begitu Devi membuka pintu rumah tersebut. Begitu terbuka, Devi dapat melihat beberapa kasur mirip brankar rumah sakit yang berjejer rapi di dalamnya bahkan masih ada beberapa alat medis yang tertinggal di sana.

Devi pun melangkahkan kakinya memasuki rumah lebih dalam lagi sembari mengamati sekelilingnya.

Tidak ada yang aneh dari rumah tua itu, bahkan Devi juga tidak mengingat apapun mengenai rumah itu. Itu artinya semua kecurigaannya tidak ada artinya apa-apa.

Lalu pandangan Devi tertuju pada sebuah pisau dapur berukuran sedang yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Devi berjalan mendekat dan berjongkok untuk melihat pisau dapur itu lebih dekat. Devi dapat melihat darah kering melumuri pisau tersebut, bahkan pada pangkalnya sudah berkarat, tanda jika pisau ini telah berada di tempat itu cukup lama.

"Darah?"

Devi mengamati sekelilingnya sekali lagi dan betapa terkejutnya Devi begitu ia mendapati lantai rumah tersebut penuh dengan darah yang sudah mengering. Sontak saja Devi langsung terperanjat bangun.

'Lepaskan aku!!! Tolong lepaskan aku!!!'

'Untuk apa aku melepaskanmu? Bukankah kau ingin pergi menyusul kedua orangtuamu?'

'Aku tidak mau!'

'Hei kau cepat tahan tubuh gadis kecil ini, aku ingin sekali mengambil seluruh organnya dan akan kujual! Aku pasti akan kaya raya!! Ini adalah balasan setimpal dari apa yang dilakukan Banyu padaku hahaha!'

Bayangan itu lagi!!

Devi merasakan rasa sakit mulai menjalar ke kepalanya hingga ia jatuh bersimpuh di atas kotornya lantai yang bercampur dengan darah kering dan lumpur.

Argh!

Bukankah Devi sudah mengingat semuanya? Tapi kenapa masih terasa sakit? Apa ada hal lain yang belum diingat oleh Devi?

Devi mencoba menekan kepalanya sekuat mungkin untuk menghilangkan rasa sakit di kepalanya namun sepertinya sia-sia. Rasa sakit itu masih ada!

Perlahan sebuah memori kembali terputar di kepalanya.

'Aku harus membunuh orang yang telah membunuh ayah dan ibu!'

Devi menatap sebuah pisau di tangannya. Dengan tekad yang kuat, Devi pun memasuki rumah tersebut dengan sembunyi-sembunyi.

Dokter Alby Pujaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang