54. Problem

161 15 15
                                    

Renata berlari menghampiri Alby dengan tergopoh-gopoh. Alby yang saat itu sedang memeriksa pasien bersama Raden dan Fitra pun menatap heran ke arah Renata.

"Ada apa? Apa ada pasien gawat darurat?" tanya Alby.

"Tidak. Ini lebih dari gawat darurat," jawab Renata ngos-ngosan.

"Ada apa?"

"Direktur memanggilmu. Departemen gawat darurat dimintai pertanggung jawaban atas kematian korban kontruksi yang meninggal tadi pagi. Sekarang wali pasien sedang berada di ruangan direktur," jelas Renata yang membuat Raden dan Fitra terkejut.

Alby sudah tahu jika hal ini pasti akan terjadi. Salahnya juga karena ia mempercayakan pasien dengan batang penguat menancap di dadanya kepada Raden yang notabene masih dokter koas yang belum memiliki banyak pengalaman.

Alby menghela nafasnya pelan, ujung matanya menangkap Raden yang tengah menatap kearahnya dengan perasaan bersalah.

Alby pun segera bergegas menuju ruangan direktur untuk menemui wali pasien meninggalkan Fitra dan Renata yang menatapnya khawatir tak terkecuali juga dengan Raden. Raden menggigit ujung kukunya panik.

*****

Begitu tiba di depan pintu ruangan direktur, Alby menarik nafasnya dalam dan menghembuskannya dalam-dalam. Lalu Alby memutar knop pintu tersebut dan memasukinya.

"Kau sudah datang?" sapa Sena Atmaja selaku direktur rumah sakit. Selain direktur, beberapa staf penting rumah sakit juga berada disana. "Duduklah."

Alby dapat melihat tatapan marah dari seorang remaja seusia Raden di hadapannya. Alby tebak remaja laki-laki di hadapannya ini pasti putra dari korban.

"Ini dokter Alby, kepala IGD tempat ayahmu menerima perawatan. Alby ini Ganendra, putra pasien atas nama Rusli yang meninggal tadi pagi akibat batang penguat menembus perutnya," ujar Sena memperkenalkan Alby.

"Oh jadi anda dokter yang mengatur ayah saya ditangani oleh dokter koas?! Bagaimana bisa kondisi darurat ayah saya hanya ditangani dokter koas yang bahkan belum berpengalaman??!!" murka remaja laki-laki bernama Ganendra tersebut. "Apa karena ayah saya menggunakan bantuan BP*S sehingga rumah sakit bisa bertindak diskriminatif seperti ini?!! Dokter macam apa kalian?!!! Kalian pikir nyawa ayah saya tidak berharga?!!"

Alby mencoba bersikap tenang dan menjelaskan secara perlahan pada Ganendra.

"Tidak bukan begitu, kami para dokter tidak pernah mendiskriminasi pasien. Saya akui saat itu kami kekurangan tenaga medis di IGD karena dokter residen sedang ada konferensi. Terlepas dari permasalahan itu, ini memang sepenuhnya salah saya. Seharusnya saya yang menangani korban bukannya malah menyerahkan korban pada dokter koas. Tapi saya bisa beri penjelasan kenapa saya menyerahkannya pada dokter koas. Saat itu saya sedang melakukan operasi darurat dan secara otomatis saya tidak dapat menangani dua pasien sekaligus sehingga saya meminta dokter koas untuk menanganinya dan saat itu saya belum melihat kondisi pasien sama sekali sehingga saya tidak tahu ada batang penguat yang menembus perutnya," jelas Alby.

"Selain itu posisi batang penguat yang menusuk pasien Rusli telah merusak sebagian besar paru-paru kirinya dan bahkan sedikit mengenai jantung. Di tambah terjadi pendarahan subarachnoid traumatik¹ membuat pasien sulit di selamatkan," imbuh Sena.

"Alah anda kan direktur rumah sakit dan dia seorang dokter tentu saja anda akan melindungi pegawai anda!! Saya tidak mau tahu, saya akan tetap mengambil jalur hukum!!"

"Tolong tenang dulu, kita bicarakan masalahnya baik-baik," bujuk prof. Yudha.

"Jika ingin bicarakan kasus ini baik-baik lebih baik kita bicarakan di pengadilan nanti. Saya permisi," pamit Ganendra melangkahkan kakinya pergi.

Dokter Alby Pujaan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang