Bertemu Dewi

6.5K 425 2
                                    

Pupilnya berwarna keemasan, sama seperti warna rambutnya itu. Pria yang di awal dua puluh tahunan itu menatap lekat kastel besar yang menjadi tempat kediamannya itu.

"Kastel Singa" begitulah mereka menyebutnya. Ini adalah area kekuasaannya, menjadi yang terkecil dari tujuh pewaris dan menjadi pemilik tempat terburuk juga. Tampak gedung besar yang dikelilingi parit itu. Menjadi benteng tempat mereka bertahan hidup.

Lusinan orang berpakaian rapi itu menundukkan kepala. Membentuk huruf "L" terbalik secara sempurna.

Tampak sekali kalau mereka adalah pelayan pria berambut kuning itu.

"Selamat datang Duke Hailam" ujar mereka serempak.

Orang-orang itu sangat cakap membagi posisinya. Para pelayan pria dari sebelah kanan dan pelayan wanita dari sebelah kirinya.

"Hmph"

Dia tak banyak bicara. Sudah seperti dirinya sendiri, penuh karisma dan hemat bicara. Tampak sekali ia tengah memperlihatkan kedudukannya di tempat itu.

Ia berjalan melewati karpet merah itu dan memasuki kastel besar itu.

"Kastel besar, namun tak ada aura kehidupan" gumamnya.

Tempatnya amat besar, namun terasa gersang tak ada kebahagiaan yang tampak di sana. Ini berbeda dengan rumah Dewi itu. Seperti perbedaan antara surga dan neraka.

"Aku kembali lagi pada neraka dunia" ujarnya lagi.

Dia memasuki ruangan besar itu. Ruang kerja pribadi tempat ia banyak menghabiskan waktu.

"Ting ting ting"

Pria itu membunyikan lonceng perunggu itu beberapa kali. Seperti memanggil pelayan, dan benar saja seorang pria diusia enam puluhan itu tampak datang dan memberikan sikap hormat.

Pakaiannya seperti pelayan, namun gelang emas berukiran singa itu jelas menandakan kalau ia bukan pelayan biasa. Dia adalah orang yang lumayan penting di sana.

"Ada apa tuan?" tanyanya.

Suaranya tak tampak seperti orang yang sudah tua. Masih sangat berkarisma, walau sedikit bergetar.

Ia tampaknya tak bisa menyembunyikan rasa senangnya saat melihat tuannya itu kembali dengan utuh meski semua pengawalnya sudah pulang tinggal nama.

"Aku rasa ini pekerjaan putri keenam" ujarnya.

Sontak, wajah pelayan tua itu berubah. Tampak kehitaman dengan aura kematian yang semakin kuat. Ia tak bisa membendung rasa marahnya itu saat mendengar nama tersebut.

"Beraninya mereka! Padahal tuan sudah mengatakan tak ingin ikut perebutan takhta" ujarnya lagi.

"Ini baru dugaanku. Namun mata bandit itu tampak sayu. Paman tahu, kan?" dia memanggil pelayan itu dengan sebutan paman. Tak tampak seperti seorang atasan tengah bicara dengan bawahannya. Mereka tampak setara, meski pelayan it uterus mencoba merendah dihadapan tuannya itu.

"Ya, tuan. Itu adalah sihir putri ketujuh. Duchess Lalatina" ujarnya.

Giginya gemeretak, tampak sekali ia tengah menahan amarah yang amat sangat. Seperti seseorang yang ingin langsung menerjang dan menebas leher wanita itu.

"Tuan, apakah tidak kita serang saja?" pintanya.

Hailam tak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Ia tahu betul akan sifat pelayan yang ia panggil paman itu. Seorang pria yang mencintai perdamaian dan sangat menghindari jalur pertumpahan darah.

Seorang pria yang dikenal sebagai pacifist ini malah menyarankan peperangan.

"Tidak usah, Paman. Aku takut itu akan melukai orang tak bersalah" ujarnya.

Transmigrasi Gadis Bumi (Gadis Sakti Dari Bumi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang