Cukup lama dua gadis itu menanti. Menunggu kuliah usai dan datang ke tempat ini. Sebuah rumah yang cukup besar namun penuh rumput tinggi dan tampak tak terlalu terawat. Sebuah tempat di mana Elisa menghabiskan masa kecilnya.
Panti, tempat ia dibesarkan sebelum pindah ke rumah besar Melisa yang bagus itu. Elisa ingat kalau dulu tempat ini masih lumayan terawat. Namun, ia sudah jarang dan tak mau ke sana. Banyak ingatan menyedihkan yang ia rasa.
Kali ini pun karena desakan Melisa. Mereka perlu mencari petunjuk itu dan mengembalikan ingatan Elisa dan dunianya. Ada pula kesempatan untuk mencari keberadaan Ibu dan ayah Elisa. Memahami bagaimana kisah mereka. Toh semua manusia punya cerita.
"Kamu tak apa kan?" tanya Elisa.
Elisa menoleh, tersenyum sambil memperlihatkan lingkaran yang dibuat dari pertemuan telunjuk dan ibu jarinya itu. Mengindikasikan "Ok" dan dia baik-baik saja.
Keduanya mulai mengetuk pagar berkarat itu, menunggu orang yang menyahut tadi untuk keluar. Seorang wanita tua yang jalannya sudah bungkuk. Tampak berjalan amat pelan dan berusaha meraih pintu gerbang itu dengan tangan masih bergetar.
Elisa ingat orang ini, wanita paruh baya yang mengasuhnya dahulu. Seseorang yang juga sudah agak tua saat ia keluar dari panti itu. Pengurus panti yang mendedikasikan hidupnya untuk anak-anak bernasib malang tersebut. Satu-satunya sumber kasih sayang yang ia dapat, meski hanya sedikit.
Elisa ingat, ia sudah tak pernah datang lagi setelah tiga tahun belakangan. Merasa terganggu dengan kehadiran panti yang juga sedikit banyak memberi trauma buruk padanya. Sat inilah gadis cantik itu sadar kalau mungkin ia terlalu jahat. Terlalu jahat untuk tidak menjenguk wanita tua ini.
Kondisinya jauh lebih buruk dari tiga tahun lalu. Sudah mulai susah bergerak, namun tetap mencoba mengurus anak-anak.
"Kenapa mereka tak mencari penolong nenek ini?" bisik Melisa yang agak heran.
"Ini bukan panti di bawah pemerintah. Ini adalah badan amal yang ia buat sendiri" jawab Elisa pada Melisa yang bertanya itu.
Itulah alasannya kenapa tempat ini mulai tak terurus. Mungkin para donatur juga mulai mengalami kesulitan. Alhasil, mereka bertahan seadanya dengan sisa-sisa tenaga yang ada.
"Elisa?"
Matanya mungkin sudah agak rabun, namun nenek tua itu jelas masih mengenali wajah gadis ini. Meski tiga tahun sudah berlalu, namun wajah manis yang ia ingat tetap ada di gadis yang bernama Elisa ini. Wajah seorang gadis yang mampu menantang kejamnya dunia. Gadis yang sudah mencicipi jahatnya dunia bahkan sesaat setelah kelahirannya.
"Iya, Ibu" balas Elisa sambil tersenyum.
Ia sudah dirawat orang ini sedari kecil, Elisa juga sudah melihat bagaimana kulit mulus itu perlahan menjadi keriput dimakan oleh waktu. Waktu yang tak singkat itu jelas memberikan banyak kenangan. Beberapa kenangan yang mungkin coba ia kubur karena tak kuat dengan tekanannya.
Kedua orang itu segera masuk. Tampak di dalam masih ada beberapa bocah diusia lima sampai tujuh tahun yang sedang membaca buku anak-anak itu. Buku lusuh dan usang yang tampaknya berasal dari peninggalan Elisa dahulu.
"Ibu, sebenarnya kami ingin bertanya"
Elisa membuka percakapan setelah cukup lama basa-basi itu. Ia juga kasihan dengan wanita tua yang sesekali harus menarik nafas dalam hanya untuk mengucapkan satu kalimat.
"Aku ingin t5ahu tentang ibuku" lanjut Elisa lagi.
Sesuatu yang membuat wanita tua itu kaget bukan kepalang. Ia sudah tahu kalau hari ini akan tiba, namun entah kenapa rasa sesak itu belum bisa sirna dari dadanya. Sesuatu yang tampaknya berat untuk diucapkan, namun tetap harus diketahui gadis ini.
"Ini sudah saatnya, ya?" dia seperti bicara sendiri masih dengan suara yang sesekali tersengal seperti orang sesak nafas itu.
Mata yang mulai memutih itu menatap lekat pada Elisa. Bola mata yang mulai buram akibat katarak itu seolah ingin mereka semua bentuk gadis itu. Seolah ini adalah kesempatan terakhirnya melihat bayi yang ia besarkan dahulu.
"Ibumu adalah orang yang baik, dia selalu peduli pada panti ini semenjak remaja. Gadis yang baik yang hidup dari menulis buku-bukunya" mulai wanita tua itu.
Tampak sekali kalau ia memaksakan diri untuk bicara satu kalimat itu. Sesekali terpotong karena udara di paru-parunya yang sudah tak sampai untuk melanjutkan kata demi kata tersebut.
"Dia menemukan pria baik juga, sama-sama penulis meski sang pria memutuskan untuk jadi pekerja kantoran. Katanya untuk mendukung kelahiran anak tercintanya"
Sampai sini Elia mengerti. Sedikit paham tentang latar belakang ayah dan ibunya.
"Namun malang itu tak bisa ditolak. Sang suami meninggal dalam kecelakaan di tengah senyuman menyongsong anak pertamanya itu. Sang ibu tetap masih tegar. Aku sesekali mengunjunginya saat tengah mengasuhmu Elisa" ujar nenek tua itu lagi. Tampak matanya mulai berkaca-kaca seolah ingatan masa lalu itu begitu terang di dalam otaknya. Seperti kejadian yang baru terjadi kemarin sore. Masih jelas, bahkan bagaimana aroma dan hembusan angin kala itu saat ia menyusuri jalan hari demi hari hanya untuk menghibur wanita itu.
"Lalu, suatu hari wanita itu menghilang. Mereka bilang kalau dia bunuh diri karena depresi. Namun mayatnya saja aku tak jumpa. Aku tak yakin akan hal itu, dia bukanlah wanita yang mau menghabisi nyawanya. Dia lebih mencintai anaknya daripada itu, dia lebih mencintaimu Elisa"
"Saat aku datang pada sore harinya, tak ada yang terlihat kecuali tangisan seorang malaikat kecil. Kamu yang aku bawa dan besarkan di panti ini" ceritanya lagi.
Itu jelas kejutan bagi Elisa. Ia tak menyangka akan punya cerita yang mengejutkan seperti ini. Hal lain yang tak ia ketahui dari ayah dan ibunya.
"Beberapa hari yang lalu, seorang sukarelawan membuang kardus peninggalan ibumu. Untung aku cepat sadar, namun sebuah buku diari ibumu sudah tak ada di sana. Itu hilang. Maafkan aku" ujarnya dengan tulus.
Ini menjelaskan bagaimana buku diari itu akhirnya bisa sampai ke tangan Melisa dan membawa mereka pada misteri yang terkuak ini. Seperti jalinan takdir yang bahkan tak dapat mereka mengerti.
"Tidak apa ibu" jawab Elisa yang kembali berkaca-kaca.
Ia begitu bahagia meski hanya mendapat sepotong jawaban tentang masa lalu ibunya itu. Sebuah misteri hilangnya ibu Elisa bahkan menjadi kasus tak terpecahkan hingga saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Gadis Bumi (Gadis Sakti Dari Bumi)
FantasyElisa terbangun di dunia yang asing itu. Ini adalah settingan abad pertengahan dengan sihir dan ilmu bela diri. Dia hanyalah siswi SMA biasa yang akhirnya harus berjuang untuk hidup di dunia itu. Kekuatan misterius yang mengikutinya secara perlahan...