Tamu II

6K 501 7
                                    

Ruang empat persegi yang cukup untuk satu tempat tidur ukuran king size itu tampak diisi oleh seorang pria rupawan.

Rambutnya pirang dan tampaknya sudah tak ada jejak debu di sana. Bibirnya juga sudah tak berwarna biru lagi. Orang itu sudah mencapai stabilitas, nyawanya tak lagi dalam bahaya.

Perlahan ia membuka mata, sedikit berkunang-kunang dan samar melihat dinding dan langit-langit berwarna putih susu itu.

Tampak dibuat oleh seniman terbaik tak seperti yang biasa ia lihat di tempat ia biasa tinggal.

Dindingnya tampak halus, seolah dibuat oleh teknologi paling sempurna. Tak ada benjolan-benjolan kasar di sana.

"Apakah aku sudah disurga?" gumamnya.

Tempat itu terlalu mewah, bahkan bagi orang seperti dia. Julukan Duke sekalipun, ia belum pernah merasakan hal seperti ini.

Kasur empuk yang seakan ingin menelan seluruh tubuhnya itu. Dinding putih bersih yang tampak indah juga. Semua hal di sekitarnya seolah merupakan karya seni yang dibuat oleh pengrajin terampil dengan tangan terbaik.

Ia teringat bagaimana orang-orang buas itu menerkamnya. Menghabisi pengawalnya dan membuat orang ini merangkak keluar dari kematiannya.

Hal terakhir yang ia ingat hanyalah gerbang dengan ukiran naga itu. Ini membuatnya takjub disisa-sisa kesadarannya akan sebuah pahatan yang luar biasa. Dan saat membuka mata, hal inilah yang ia lihat saat ini.

"Ugghh"

Dia mencoba mengayunkan tangannya. Luka tusuk itu seakan sudah sembuh.

"Sudah berapa lama aku di sini?" batinnya lagi.

Ia sadar kalau luka tusuk tak akan sembuh secepat itu. Dengan sigap ia menarik pedang yang ada di sebelahnya itu.

Sebuah pedang berwarna keemasan dengan ukiran kepala singa di gagangnya. Itu sangat indah, namun tak bisa dibandingkan dengan apa yang ia lihat saat ini.

"Ah, sudah bangun?"

Sebuah suara lembut itu membuatnya terbengong. Seorang wanita yang setengah rambutnya berwarna hitam keperakan, dan setengah lagi berwarna ungu keperakan pada bagian bawahnya.

Kulitnya halus seperti pahatan dari sebuah mahakarya seniman terhebat.

Untuk sesaat pria itu seakan melihat sosok apa yang ia yakini sebagai malaikat. Sangat indah dan penuh dengan harapan.

Dia salah tingkah, tak tahu harus berbuat apa. Alhasil dia mencoba menunduk memberi salah seolah melakukan penghormatan.

"Eh, aneh sekali?" batin Elisa.

Tampak sekali kalau orang itu tak pernah menunduk dalam hidupnya. Mungkin sudah jadi budaya pihak kerajaan. Mereka adalah yang tertinggi, dan menunduk tak pernah diajarkan dalam materi etika.

"Angkat kepalamu" Elisa mencoba mempertahan posturnya. Tak mau terlihat seperti wanita lemah di depan orang itu. Toh keadaan sekarang juga menguntungkannya.

"Aaaaaa... ini menarik!!" batin Elisa.

Sifat jahilnya itu muncul saat melihat gaya penghormatan itu. Ini seperti pria pirang itu tengah bertemu dengan orang suci. Tengah melihat sang dewi yang turun dari singgasananya dan mendarat di dunia.

[Tolong kurangi sifat-sifat tak layak itu]

Seolah bisa membaca isi otak Elisa, suara mekanik itu kembali muncul dalam kepalanya.

"Shhhh, diam saja" maki Elisa dalam otaknya itu.

Kapan lagi ia bisa mempermainkan pria tampan itu. Elisa yakin, kalau orang ini ada didunianya sebelumnya, mungkin dia bisa mengambil hati hampir seluruh wanita.

Transmigrasi Gadis Bumi (Gadis Sakti Dari Bumi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang