Hari ini Susana rumah di tengah salju abadi itu tampak unik. Ada asap mengepul dan sesekali bau harum menyeruak ke angkasa.
Itu karena Elisa sudah kangen dengan kehidupan normalnya.
"Apa asyiknya jika semua didapat secara instan?" batinnya.
Itulah yang membuat ia memasak sendiri kali ini. Menyiapkan bahannya menggunakan sihir pencipta itu dan mulai proses memasaknya.
Berbagai peralatan modern itu ia munculkan dari imajinasinya. Seperti yang ia duga, selagi bukan makhluk hidup maka ia bisa memunculkan semuanya.
Tak terkecuali ponsel yang ada di genggamannya itu. Sebuah benda yang sebenarnya tak bermanfaat juga di sana. Toh tak ada internet, padahal Sembilan puluh persen kehidupan dengan ponsel bergantung pada teknologi yang disebut sebagai internet itu.
Tampak sekali asap mengepul dari potongan kayu yang terbakar itu. Sekilas tampak normal kecuali apunya yang berwarna putih seperti susu.
Elisa juga awalnya kaget. Ini kali pertama ia melihat warna apa yang begitu. Walau akhirnya ia menerimanya begitu saja. Toh yang namanya api juga untuk membakar. Selagi rebusan air itu mendidih, maka tak ada masalah baginya.
Potongan kayu itu adalah kayu pinus yang ia potong. Tumbuhan abadi itu mendadak layu setelah dihantam kapak besar Elisa itu.
Seolah menyerahkan diri mereka untuk dijadikan kayu bakar. Seakan menjadi kayu bakar Elisa adalah sebuah pencapaian.
"Hehehe"
Elisa tampak tertawa riang. Mie yang ia buat sendiri sudah jadi, air juga sudah mendidih. Ini saatnya memasak benda itu dan menikmati sajian enak tersebut.
"Lalala"
Elisa bersenandung kecil, menumpahkan mie buatan sendiri itu pada air yang mendidih. Tak lupa ia memotong beberapa bumbu setelahnya.
Ya, semua berlangsung tanpa kendala. Terjadi dengan cepat dan mie goreng dunia lain itu selesai.
Aromanya amat kuat, semerbak dan amat harum. Ini akan membuat perut siapa saja berbunyi saat hidungnya melakukan kontak dengan aroma tingkat surga itu.
Bukan, itu tak dilebih-lebihkan. Tak heran mie menjadi makanan favorit hampir semua orang. Aroma dan rasa yang begitu luar biasa, akan memancing rasa lapar dari siapa pun yang menciumnya.
Tak terkecuali bagi dua orang berkuda yang berada beberapa ratus meter dari gerbang rumah unik itu.
Hidung mereka seakan langsung digelitik oleh rasa istimewa itu. Rasa kelahiran yang mendadak membuat mereka ingat akan masa muda itu. Seperti dilahirkan kembali, tanpa beban dan saat dunia masih adil.
Keadilan itu direnggut saat mereka beranjak dewasa. Keingintahuan itu lenyap dan semua dianggap biasa saja.
Kecuali untuk aroma harum ini. Dua orang dengan usia terpaut jauh itu langsung terpikir "Makanan macam apa ini?"
Seumur hidup mereka tak pernah mencium sesuatu yang enak seperti itu. Hari-hari menikmati roti hambar, atau masakan yang hampir tak berasa itu.
Baru kali ini mereka mencium sesuatu yang berbeda. Aroma kompleks seolah menandakan kesempurnaan suatu masakan. Aroma yang merangsang sisi manusia mereka.
"Tuan, apakah ini tempat Dewi itu?" pria tua itu bertanya lagi.
Matanya sudah menangkap ada yang berbeda. Bagaimana mungkin tak ada salju di dekat gerbang-gerbang itu. Bukan seperti dibersihkan, namun seperti ada penghalang tak kasat mata yang menjaganya. Membuat area pekarangan itu seakan dunia yang berbeda dari luarnya.
"Betul, Paman. Dan tampaknya itu juga adalah masakan Dewi" ujarnya.
Hailam yang datang dengan perut penuh sekalipun dibuat tak berdaya akan aroma itu. Seakan memintanya memakan lusinan piring hingga perutnya meledak. Sesuatu yang ingin ia monopoli dan nikmati sampai ia tumbang. Segitu hebatnya makanan tersebut.
"Hoooooooo"
Pria tua itu tampak langsung waspada. Menarik pedangnya saat melihat sosok yang bertengger di atas gerbang dengan ukiran kepala naga itu.
Seekor hewan berbulu berwarna putih dan berukuran cukup besar. Seekor burung hantu salju yang tampak mendominasi.
Itu adalah peliharaan Elisa, burung hantu yang ia beri nama Artie itu. Cukup unik melihatnya langsung terbang seolah hendak mencegat dua tamu tak diundang itu.
Whelani si pelayan tua tahu betapa berbahayanya makhluk itu. Gelarnya sebagai pembunuh hebat dari selatan yang berjuluk walet dari selatan itu jelas bukan bualan semata.
Ia bahkan langsung merakan hawa bahaya hanya dengan menatap mata burung itu. Titel master itu seakan menjadi pembuktian seberapa tajam nalurinya.
Berbeda dengan tuannya yang hanya merasakan aura tidak nyaman sawa. Hailam bukanlah master asli. Pembunuh bayaran itu salah paham hanya karena melihat artefak mengerikan itu. Kekuatan aslinya jauh lebih rendah dan itulah kenapa ia tak menyadari makhluk mengerikan itu.
Merasa tak ada yang salah, Hailam langsung turun dari kudanya itu. Mencoba membuka gerbang dengan santainya.
"Tap!"
Pelayan tua itu menangkap tangan tuannya tersebut. Ia tahu kalau tuannya tak sadar, namun terlambat sedikit saja mungkin tangan itu sudah putus dipotong burung hantu tersebut.
Ini tak seperti kebanyakan burung hantu dengan mata coklat. Mata burung hantu putih ini tampak merah, bahkan bagian pupilnya lebih berwarna merah pekat.
Hailam membalikkan badannya seolah protes akan Tindakan pelayan barusan. Ia tak tahu kenapa Pamannya itu menghentikannya memasuki tempat tersebut.
Whelam tak ambil pusing. Ia langsung membungkuk dengan sikap hormat mengepalkan kedua tangan di depan dada.
"Yang mulai, kami hanya ingin bertamu" ujarnya.
Hailam sadar, perkataan itu bukan ditujukan padanya. Lalu siapa yang mulia itu?
Otaknya langsung mencerna, seolah disambar petir disiang bolong ia pun langsung menunduk.
Pamannya ini bukanlah orang biasa, orang kuat dengan otak rasional. Tak mungkin Pamannya melakukan sesuatu tanpa pikiran matang.
"Hoooooo"
Burung hantu itu mengapakkan sayapnya, memutar leher elastis itu beberapa kali dan menatap lekat kedua orang itu.
Seperti mesin scanner yang tengah memantau orang yang akan masuk itu. Penuh tatapan intimidasi, seolah menjadi sosok yang paling tinggi.
"Hooooo"
Burung itu berbunyi dengan amat kuat. Kedua orang ini masih menunduk, namun mendengar langkah kaki mendekat ke arah gerbang itu.
Langkah kaki ringan seolah tak terlalu menapak ke atas tanah. Ya, itu adalah langkah kaki Elisa. Gadis yang membukakan gerbang dan membuat dua orang itu terpana.
Pelayan tua itu tampak menganga. Tampaknya perkataan tuannya tak dilebih-lebihkan. Sosok itu memang seperti Dewi yang turun ke dunia. Rambut tiga warna itu, di mana warna hitam pada bagian atas, dan perpaduan perak dan ungu untuk bagian bawahnya. Ini tampak sangat bagus, terlebih gaun ungu yang belum pernah ia lihat seumur hidupnya.
"Silahkan masuk" ujar Elia.
Dia tersenyum dengan ramah. Burung hantu itu pun kembali terbang seolah memberikan izin pada dua orang itu untuk melangkah ke dalam.
Sat itulah hidung mereka seakan diperkosa bau harum yang memabukkan itu. Aroma lezat dari makanan yang baru saja dimasak oleh Elisa.
Jika saja mereka bukan orang-orang berpikiran teguh, kedua orang itu mungkin sudah menerjang seperti anjing gila. Melahap tumpukan mie goreng di atas meja kayu melingkar itu.
"Tak sia-sia aku hidup" batin mereka berdua.
------------------
Jika kamu menyukai cerita ini, jangan lupa Vote, Tinggalkan komentar dan tambahkan pada daftar bacaan. Ini akan membantu cerita ini ditemukan oleh lebih banyak orang.
Terima Kasih 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Gadis Bumi (Gadis Sakti Dari Bumi)
FantasíaElisa terbangun di dunia yang asing itu. Ini adalah settingan abad pertengahan dengan sihir dan ilmu bela diri. Dia hanyalah siswi SMA biasa yang akhirnya harus berjuang untuk hidup di dunia itu. Kekuatan misterius yang mengikutinya secara perlahan...