Lalatina

1.7K 250 7
                                    

Elisa jelas geram. Tampak sekali dari wajahnya yang terlihat kesal itu. Memangnya siapa yang tak akan kesal? Tidak melakukan apa-apa, namun para pembunuh bayaran itu tiba-tiba saja menyerangnya.

Ia tak merasa punya musuh di tempat ini, kecuali geng bandit yang sudah ia habisi tempo hari. Namun orang-orang ini jelas tak terkait insiden itu. Seakan ada orang dibalik layar yang sengaja mengatur ini. Ada seseorang yang mengincar nyawa Elisa.

"Katakan, siapa yang menyuruh kalian?"

Dia mengangkat satu pembunuh itu pada bagian lengan. Seperti mengangkat ranting yang tak ada beratnya.

Tatapan Elisa jelas tak main-main. Orang itu akan berakhir seperti bosnya yang masih meraung hingga saat ini. Rasa sakit seperti ditusuk jutaan jarum itu jelas bukan rasa sakit biasa. Itulah efek dari garam dan jeruk nipis Elisa.

"H, hiyyyy"

Dia ketakutan, terengah-engah saat menatap mata Elisa. Dibalik wajah cantik itu jelas tersembunyi hal yang sangat menakutkan. Insting orang itu seakan berontak dan membuatnya segera bersujud.

"Du,Duchess Lalatina"

Orang itu menyerah akan rasa takut itu dan membeberkan siapa yang membayar mereka.

"Lalatina? Aku rasa aku pernah dengar" batin Elisa setelah menghempas tubuh orang itu. Ia tak peduli jika orang tersebut pingsan, toh masih ada banyak manusia lagi yang bisa ia tanya di tempat itu.

"Ah?"

Seakan ada kilatan dalam benaknya. Elisa mengingat lagi pembicaraannya dimasa lalu. Pembicaraan dengan pemuda tampan dengan etika kurang itu. Pria berambut pirang dengan bekas luka dimatanya. Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Elmere tersebut.

"Elmere juga menggumamkan nama ini" ujar Elisa lirih.

Ia ingat betul kalau Elmere berkata "Demi Lalatina, atau Untuk Lalatina" atau yang sejenis dengan itu.

Elisa tak ingat kalimat lengkapnya, namun nama itu jelas disebut oleh Elmere kala itu.

"Selain kurang Etika, tampaknya otak pria itu juga tak sampai sebesar kacang" maki Elisa.

Dia sengaja mengatakan itu keras-keras agar para pembunuh itu bisa mendengar suaranya.

"Elmere, Lalatina. Aku rasa aku harus memberi mereka pelajaran"

Elisa tampak murka. Jelas saja, kebaikannya malah dibalas seperti itu. Elmere yang ia beri cokelat panas malah ingin menusuknya dengan mengirim pembunuh bayaran itu. Ini jelas di luar nalar manusia normal.

"Ah, tampaknya kau sudah baikan?"

Elisa melirik pada orang bertopeng serigala dengan garis merah itu. Orang yang diduga adalah bos mereka.

Ia tampaknya sudah mendapatkan kewarasannya kembali setelah serangan menyakitkan yang diterimanya dari Elisa tadi.

"Aku akan memberimu pilihan, mengulang neraka tadi atau menjabarkan semuanya" ujar Elisa dengan tatapan dingin.

Sekuat apa pun pria itu, ia tampaknya goyah setelah menerima serangan aneh itu. Jelas sekali ia tengah pucat dibalik topeng serigala itu.

Badannya gemetar dan kerongkongannya seakan tersumbat akan rasa takut hebat yang ia rasakan dari wanita cantik bergaun ungu ini.

"I, itu memang perintah Duchess Lalatina" suaranya masih gemetar, namun sudah tak terputus-putus lagi.

Ia tampaknya semakin tenang saat Elisa menarik kembali dua pedang pendek menakutkan itu.

"Aku tak punya masalah apa pun dengannya, kenapa ia mengincarku?" cecar Elisa.

Ia tak ingat punya dendam apa pun dengan orang ini. Malah dia menyelamatkan prianya yang bernama Elmere itu.

"Apakah ia cemburu?" batin Elisa.

Namun itu tak logis juga. Wanita cemburu mana yang langsung mengirim lusinan pembunuh bayaran ini ke kediaman saingannya?

"Itu terkait mie instan suci" ujarnya lagi.

Untung saja Elisa tak sedang minum. Bisa-bisa ia menyembur saat mendengar kalimat itu. "Mie instan suci?"

Mie instan macam apa yang masuk kategori suci seperti itu. Jujur Elisa sulit untuk menahan tawanya kala mendengar itu.

"Itu, mie instan yang nona berikan pada Duke Hailam" lanjutnya.

"Hee? Seenak itukah mie instan tersebut? Sampai-sampai ia mengirim pembunuh bayaran kesini?" ujar Elisa ketus.

Dia akan memberikan sebakul penuh jika orang bernama Lalatina itu datang meminta padanya. Kenapa juga ia harus mengirimkan pembunuh bayaran seperti ini?

"Jadi karena mie instan dia mencoba membunuhku?" Elisa mencoba memastikan kembali pernyataan tadi. Seolah ada yang tak beres dari keterangan ini.

"Betul nona" ujarnya lagi.

Orang ini terdengar jujur. Anak buahnya bahkan mengangguk hebat saat Elisa mengalihkan pandangannya. Tampaknya pengalaman tadi cukup membuat mereka trauma. Wajar saja, itu bukan rasa sakit yang bisa mereka rasakan di dunia itu.

"Hmmm"

Elisa mengibaskan tangannya dan mengeluarkan sebuah kursi kayu di atas tumpukan salju itu. Sekali lagi, seolah tanpa berat dan tak terperosok sama sekali.

Ia melangkah dengan anggun dan duduk bersilang kaki di sana. Laksana tuan ratu yang tengah melihat budak-budaknya terbaring setelah dihukum berat olehnya.

"Aku tak terlalu suka membunuh sekarang. Aku rasa aku akan mengubah gayaku" ujar Elisa.

Tampak sekali, mata dibalik topeng itu berbinar seakan mendapat secercah harapan. Mereka tak ubahnya orang-orang kehausan di tengah gurun yang mendapatkan sebotol minuman dingin. Itu surga bagi mereka.

"Takk"

Elisa mengibaskan kembali tangannya dan lusinan garam yang ia simpan tadi muncul di sana. Itu adalah benda sebening kristal yang belum pernah dilihat oleh orang-orang itu.

Elisa bisa saja mengeluarkan emas dan perak dari kekuatannya. Namun itu akan mengganggu ekonomi dunia ini. Dia lebih memilihnya dengan cara lama yang menyenangkan itu. Toh memulai kerajaan bisnis di tempat kuno itu kan juga menjadi harapan semua orang.

Ia bahkan bisa mengendalikan bangsawan-bangsawan itu agar tak buat masalah nantinya.

"A, apa ini nona?" tanya pria bertopeng garis merah tersebut.

"Garam" ujar Elisa.

Ia spontan bergidik ngeri. Orang itu ingat kalau garam adalah bagian dari senjata mengerikan itu. Benda yang membuatnya merasakan rasa sakit hebat barusan. Mereka sangat trauma akibat serangan tadi tampaknya.

"Ah, kalian tak usah takut. Ini untuk memasak" terang Elisa.

Elisa menepukkan tangan, membiarkan Regis mendemonstrasikan dan mengajarkan para pembunuh bayaran itu cara menggunakannya.

Elisa hanya tersenyum simpul saat melihat hal itu. Entah kenapa iua Bahagia saat melihat banyak orang di sana. Mungkin itu karena kesepian yang mulai menjalarinya saat memasuki dunia tersebut.

"Aaaaaa"

Orang-orang itu hampir menangis saat merasakan ikan bakar biasa yang ditaburi garam itu. Rasanya langsung berubah, meski dalam standar Elisa itu sangat tidak enak. Namun dilidah orang-orang ini, benda itu adalah pembawa nikmat.

"Aku akan memberikan ini pada kalian. Kalian bisa ambil sepertiga keuntungannya. Aku tahu kalian masih punya bos besar, dan aku rasa kalian bisa meyakinkannya" ujar Elisa.

Elis menyesal membunuh bandit-bandit itu membabi-buta. Seperti kata suara mekanis itu "Semua orang punya cerita". Siapa tahu orang-orang itu memiliki cerita unik dan bermanfaat dalam hidupnya jika masih dibiarkan hidup.

Itulah yang ia pelajari. Elisa tak ingin menghabisi banyak orang dan mengganggu stabilitas dunia ini. Biarkan mereka melakukan sesuakanya, dan biarkan dunia ini berkembang dengan sendirinya.

Elisa hanya akan membantu bidang teknologi seperti ini. Itu agar hidup orang-orang dunia ini jadi sedikit lebih layak. Setidaknya tak ada dampak besar yang terjadi.

Itulah yang dipikirkan Elisa sat ini. Pikiran keliru yang akan membawa perubahan besar dimasa depan nanti.

Transmigrasi Gadis Bumi (Gadis Sakti Dari Bumi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang