Ingatan Elisa

426 67 1
                                    

Buku itu membalik isinya sendiri, mengisi lembar demi lembar diikuti fenomena aneh itu. Dua sahabat ini seolah dilemparkan kembali dan masuk ke sana. Sebuah tempat yang terlihat unik seperti jurus yang pernah dilakukan oleh anak buah Elisa.

Odd, si iblis buruk rupa. Iblis yang mengenakan topeng berwajah iblis dengan dua tanduk itu saat bertemu Elisa pertama kali.

Memperlambat serangan itu, membuat sekelilingnya tampak hitam putih seperti kamera lama.

Inilah yang dilihat Elisa dan Melisa saat ini. Waktu itu terhenti. Puluhan ribu Dewa yang mendapat Ego negatif itu tengah bertarung melawan seorang pria. Pria berwajah cantik yang tak lain adalah Artie bersama ratusan bayangannya.

Dunia tampak tak berwarna, hanya hitam dan putih saja. Tak ada aliran udara karena semuanya tengah terhenti. Seperti sebuah film yang sengaja di pause di tengah cerita.

Di sanalah tampak dua orang gadis yang tengah berpegangan tangan. Seorang gadis cantik dengan rambut ungu keperakan. Ditemani oleh orang yang berambut biru keperakan itu.

Elisa dan Melisa akhirnya sampai di sana. Kekuatan mereka sudah kembali penuh, terlebih Elisa yang mendapatkan ingatannya kembali.

"Terima kasih, aku tahu kamu akan melakukan ini" ujar Elisa.

Tampaknya itulah makna dibalik senyuman terakhir itu. Sen6yuman sebelum ia me reset dunia ceritanya, Menjadikan tempat itu kosong bak sebuah kertas putih tanpa noda.

"Apakah kamu sudah memprediksi ini, Elisa?" tanya gadis berambut biru keperakan itu. Gadis yang selama bertahun-tahun ini menjadi sosok kakak dari Elisa.

Elisa mengangguk, ia tampak kembali anggun di sini alih-alih menjadi gadis yang polos dan agak penakut itu.

"Ini sudah kupikirkan cukup lama. Satu-satunya cara menyelamatkan semuanya adalah dengan mengubah aliran waktu. Jika aku menyelamatkanmu, maka dunia ini harus tamat. Namun jika aku menyelamatkan dunia, kamulah yang akan berakhir buruk, Melisa. Aku tak mau itu terjadi" ujar Elisa.

"Jadi, karena itulah kamu mengubah masa depan?" Melisa tak percaya jika gadis berambut ungu itu sampai-sampai rela berjudi dengan taruhan besar seperti itu. Sebuah taruhan di mana Melisa mungkin bisa saja menghianatinya.

"Kamu menuangkan frustrasimu dalam halaman kesebelas tulisanku. Sesuatu yang sudah terjadi, dan aku rasa tak mungkin untuk menghilangkannya. Meski penduduk dunia ini dipenuhi derita, masih ada benih-benih harapan yang selalu tumbuh. Dan aku rasa ini adalah cara terbaik mengakhiri semuanya" ujar Elisa.

Ia menerawang ke atas melihat langit yang masih berwarna hitam putih itu.

"Yang perlu dilakukan sekarang hanyalah mengakhiri perang ini dan menghabisi penguasa jahat itu. Manusia dengan sendirinya akan mulai melakukan terobosan untuk melindungi hidup orang itu" ujar Elisa.

Ia memegang tangan Melisa si rambut biru ini. Mengaktifkan indra Dewanya dan memperlihatkan semua itu ke dalam otak Melisa.

Bagaimana seorang anak kecil yang tengah berlari. Hampir dihantam oleh Dewa yang jatuh itu. Bagaimana dengan seorang ibu yang melindungi anaknya, para prajurit yang masih memiliki jiwa manusianya. Para pahlawan yang tak takut akan kematian.

Ada unik lainnya yang tampak. Seorang wanita yang memimpin ribuan wanita lainnya untuk ikut menyerang. Sesuatu yang membuat Melisa terbelalak olehnya.

"Manusia akan bersatu jika ada musuh bersama. Mereka sudah lama hidup di bawah tirani raja. Dan kau tahu di mana raja itu sekarang?" tanya Elisa.

Ia tahu kalau raja itu berada di bawah pengaruh Melisa dulunya. Melakukan berbagai tindakan keji dan sekarang tengah merangkak di bawah singgasana mewah itu. Menampakkan pantatnya yang dalam perlindungan penjaga itu.

"Tapi, bukankah aku yang menyebabkan mereka begitu?" Melisa masih tak yakin akan itu dan tetap menyalahkan dirinya.

"Ada yang disebut kehendak bebas dan ego. Orang-orang ini adalah mereka yang tak bisa mengendalikan dirinya. Kamu hanya menghidupkan api pada tubuh rentan terbakar itu, Melisa" ujar Elisa lagi.

Ini mirip dengan orang yang menyalahkan iblis setelah berbuat kejahatan. Padahal mereka sendiri yang mau mengikuti ego yang tak benar itu.

"Memang, ada beberapa kesalahan yang kamu lakukan. Dan aku rasa kamu bisa menebusnya dengan membuat dunia ini lebih baik. Kamu bisa melakukannya ribuan tahun ini. Kamu merasakan itu, kan?" Elisa bertanya pada gadis ini. Sesuatu hal unik yang terjadi dengan tubuh mereka. Seperti Elisa yang tak terlalu berubah setelah masuk dalam kubah delapan puluh tahun Artie pelayannya itu.

Melisa mengangguk, dia paham apa itu. Sebuah kutukan yang mungkin bisa saja membuat orang menjadi gila. Sesuatu yang dicari raja-raja zaman dulu yang ternyata adalah kutukan mengerikan. Kutukan keabadian, dua gadis ini sudah melewati sifat Dewa. Dua entitas yang tak akan bisa mati.

"Apakah kamu menyesalinya?" tanya Elisa lagi.

Melisa dengan cepat menggeleng dan tersenyum. Ia menyibakkan rambut biru keperakan itu dan menoleh pada Elisa.

"Tentu tidak, jika aku harus menjadi makhluk abadi dan bersamamu. Aku rasa itu bukan masalah. Namun aku heran, kenapa aku melihat kita berdua menulis buku dimasa depan di saat sebelum waktu berubah?"

"Karena kita memang bisa melakukannya" jawab Elisa sambil tersenyum kecil. Ia menunjukkan kunci tipis berwarna ungu yang mengarahkannya pada alam Penjaga Buku.

"Aku rasa sekarang aku bisa membawamu dengan bebas keluar masuk dunia" ujar Elisa.

"Hehe, aku menantikannya" tawa Melisa.

Dadanya sekarang sudah plong dari beberapa beban itu. Tugas terakhir adalah menghentikan perang ini dan mengatur ulang tatanan dunia. Tugas yang tak mudah tentunya. Apalagi memperbaiki masyarakat yang sudah rusak ini.

"Apakah kamu siap?" Elisa bertanya lagi. Menanti anggukan dari Melisa dan menjentikkan tangannya.

"Aliran waktu dilanjutkan"

"Blarrrrrrr!!!"

Semuanya kembali normal dengan letusan besar diudara saat Artie, si iblis berwajah cantik itu menggempur semuanya.

"Noo, nonaaa?" Lili yang tadi berdiri dekat Elisa tampak kaget. Melihat Elisa dan musuhnya tengah berpegangan tangan di sana.

Sebuah kata perpisahan itu seakan hanya membuat Elisa lenyap beberapa menit saja. Dan sekarang ia kembali berpegang tangan dengan musuh terbesarnya.

"Aku malu sudah pamit seperti itu" batin Elisa sambil mengingat kata-kata terakhirnya kala itu.


Transmigrasi Gadis Bumi (Gadis Sakti Dari Bumi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang