Delapan Puluh Tahun

1.1K 178 5
                                    

Pria berwajah cantik itu tampak duduk diam di dalam kubah berwarna hitam itu. Ini seperti sebuah bola raksasa di tengah pekarangan rumah tersebut. Tempat pria cantik itu bersila dengan seorang gadis tertidur di pangkuannya.

Gadis itu memiliki rambut berwarna ungu keperakan. Tampak pulas terbaring di pangkuan pria itu. Tangan penuh kuku-kuku panjang itu terus menerus mengusap kepala gadis yang tak kunjung sadarkan diri.

Elisa masih berada dialam lain, bertemu dengan sosok yang bernama "Malam" itu. Bercerita dan berbagi kisah, menengok berbagai sejarah dunia yang mungkin sudah tak memiliki catatan lagi.

Beragam peradaban tumbang dan berbagai peperangan pecah. Darah dan mayat selalu mengikuti setiap perjalanan umat manusia. Semua dihasilkan oleh pertumpahan darah, bahkan roti yang mereka makan hari ini memiliki kisah pilu dimasa lampau.

Kubah hitam itu adalah sebuah teknik yang unik. Disparitas waktu yang tercipta, membuat orang yang ada di dalamnya menjadi lebih lambat. Satu hari di luar sama dengan sepuluh tahun di dalam kubah itu. Ini adalah teknik yang mengerikan dari Artie.

Si burung hantu yang bergelar Konig itu terus mengusap lembut rambut Elisa. Mempertahankan bentuknya dan menjaga tubuh itu agar tak ternoda. Ini adalah hal yang ia lakukan berkali-kali. Bertahun-tahun berlalu, dan Artie masih setiap mengusap rambut dan menggenggam tangan putih gadis itu.

Rumput meninggi, ditebas dan dihancurkan berkali-kali. Rambut memanjang dan dipotong lembut oleh pemuda itu. Ia bahkan mentransfer energi tanpa henti untuk menjaga tubuh gadis itu agar tidak rusak.

Satu tahun berlalu, sepuluh tahun terlewat. Hari berganti, dan sekarang sudah hari keempat di luar kubah itu. Dengan kata lain sudah empat puluh tahun berlalu, dan Artie masih mengusap lembut rambut Elisa tanpa merasa ada kebosanan dari matanya.

Baginya itu adalah waktu yang sebentar, daripada harus menunggu ribuan tahun lamanya. Toh dia juga bisa bersama Dewi yang ia cintai ini. Menggenggam tangan itu sambil terus optimis akan situasi yang akan terjadi.

Semua ini tergantung Elisa, ia merasakan kalau bulan sudah berubah. Artinya Malam sudah lengkap. Namun, bukan berarti Elisa bisa langsung keluar. Gadis ini akan mendapat pengetahuan yang banyak dan akan menguras puluhan tahun umurnya itu.

Meski puluhan tahun berlalu, tampak tak ada perubahan pada wajah Elisa. Ia tak menua, seolah menunjukkan eksistensi anomalinya. Artie juga begitu, tak ada kerutan yang muncul, seperti empat puluh tahun itu hanya sekedar sekali hembusan nafas baginya.

Malam kembali berganti. Ini adalah hari kedelapan, dengan kata lain delapan puluh tahun berlalu. Ini adalah waktu yang panjang, tak akan ada orang yang sabar terduduk terus memangku wanita yang tak sadarkan diri itu.

"Sudah delapan puluh berlalu" batinnya.

Pandangannya terhadap Elisa tak berubah. Dengan sabar terus menemani orang yang ia panggil sebagai Dewi.

--

Ini adalah perjalanan panjang. Elisa melihat banyak peradaban muncul silih berganti. Dari orang-orang barbar hingga pada era di mana mereka sudah sedikit menghargai manusia. Pembagian ras dan status sosial yang mulai terbentuk.

Ini seperti labirin tak terbatas. Elisa bahkan sesekali mencari jalan yang lebih pendek, berharap bisa kembali ke tempat ia berasal.

Ini terjadi setelah pertemuannya dengan "Malam", sosok itu mengatakan kalau proses pewarisan akan makan waktu cukup panjang. Elisa menggambarkannya seperti proses update sebuah system. Namun tak menyangka akan selama ini. Labirin ini berliku dan setiap persimpangan itu menampakkan sebuah cerita. Seperti tengah menonton film, bagaimana pangeran-pangeran itu terlahir dan kemudian menjadi tiran yang menghabisi rakyatnya.

"Aku sudah tak tahu berapa tahun berlalu" batinnya.

Tak ada siang dam malam di sini. Elisa bahkan sudah tak peka lagi akan aliran waktu yang terjadi. Dia hanya menonton versi cepat dari sebuah peradaban itu dan berlalu menuju peradaban lainnya. Berharap ia segera menemukan pintu keluar dari sana.

"A, apa itu?"

Mata Elisa terbelalak. Penantian panjangnya seakan sudah terbayar. Ada hal berbeda dari tempat yang satu ini. Sebuah Lorong yang menampilkan cahaya biru pekat seperti itu. Ini tak seperti persimpangan-persimpangan yang ia hadapi, setiap persimpangan itu memiliki benda seperti layar monitor yang menggambarkan suatu era. Apa yang ia lihat di sini hanyalah cahaya, seakan itu adalah pintu keluarnya.

Perlahan, gadis cantik berambut ungu keperakan itu melangkah. Tanpa rasa takut segera masuk dalam cahaya biru itu. Ada kehangatan yang ia rasa, rasa seperti ia tengah berada di Rahim ibunya.

Elisa tak pernah ingat saat itu, toh ia juga belum lahir. Namun cuma itu yang terpikir dalam otaknya saat menggambarkan hal ini. Sebuah ketenangan seolah ada yang menjaga. Sebuah dunia antara hidup dan mati. Sebuah gerbang menuju kehidupan yang singkat itu. Saat ia berada dalam perlindungan ibunya.

"..."

"Eh?"

Matanya terbuka, apa yang ia lihat adalah pria berwajah cantik yang tengah mengusap tangan dan rambutnya itu. Pria yang tampak tersenyum semringah saat melihat bola mata indah itu. Sekarang pupilnya benar-benar berwarna ungu. Tak seperti sebelumnya yang hanya muncul di saat tertentu saja.

"Selamat datang kembali, nona" ujar Artie sambil tersenyum lebar.

Penantian panjangnya akhirnya berakhir, dan nona yang ia tunggu sudah terbangun. Segera Artie mengibaskan tangannya dan menghilangkan kubah hitam penutup itu.

Halaman indah itu kembali terlihat, membuat Elisa makin terbelalak. Ia belum pernah menangis selama kedatangannya ke tempat itu.

Ini adalah kali pertama ia merasakan rindu begitu besar. Entah sudah berapa tahun berlalu dalam mimpi itu. Meski semuanya tampak sama, namun hati Elisa mengatakan kalau ia sangat merindukannya.

Meja yang terbuat dari kayu bulat, porselen kebanggaannya dan orang-orang sekitar yang ada di sana.

Tampak, Regis dan Odd berserta Lalatina langsung mengejar ke sana. Elisa tak bisa membendung air mata itu, meraung hebat dan memeluk pria berwajah cantik bernama Artie yang menemaninya puluhan tahun ini.

Dia seperti anak kecil yang terpisah dari orang tuanya, tersesat cukup lama sebelum akhirnya dipertemukan lagi. Ia sangat rindu akan hal itu. Apa yang dilakukan Elisa hanya menengok rekaman itu tanpa ada hal lain. Ia rindu rasanya makan dan ia rindu rasanya tidur.

"Te, Terima kasih" ujarnya tersedu-sedu.

Regis tampak menunjukkan wajah kesal saat melihat pemandangan itu. Disisi lain, Artie terlihat jahil seolah tengah mengejek pria berbadan besar tersebut. Iblis Arrkonig ini seakan ingin mengatakan "Akulah yang pertama dipeluk Dewi Elisa" pada Dewa yang bernama Regis di depannya.

Tiga orang itu mungkin cuma menganggap delapan hari terlewat. Namun tidak dengan Artie dan Elisa. Delapan puluh tahun sudah berlalu dan kerinduan itu sudah sangat besar kiranya.

[Hukum Dunia Didapatkan]

Suara mekanis itu muncul sebagas pertanda bangkitnya Elisa. Pertukaran peradaban itu membuat pengetahuan Elisa terhadap hukum dunia semakin kuat.

Apa gunanya Dewa? Apa gunanya Iblis? Apa itu kehendak semesta? Itulah yang dipelajari Elisa dalam perjalanan panjangnya di dunia mimpi.


Transmigrasi Gadis Bumi (Gadis Sakti Dari Bumi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang