Rumah Kecil

511 74 2
                                    

Elisa merasakan dejavu saat melihat pondok kecil yang ia buat itu. Tak mau mencolok, dan malah tampak seperti sebuah gubuk di tengah hutan penuh pohon-pohon besar itu.

Tujuan mereka hanya untuk menanti waktu berlalu. Bukan eksplorasi dan sejenisnya. Terlebih lagi, Elisa harus mencari Soulkonig dunia ini agar bisa kembali ke masa depan. Beruntung ia sudah pada kekuatan maksimalnya, kemampuan seperti radar itu dapat dengan mudah mengidentifikasi entitas-entitas berbahaya itu.

"Lili, apakah kamu pernah melihat naga?" tanya Elisa tiba-tiba saat dua gadis ini duduk dan bersantai di depan gubuk itu.

Elisa mengeluarkan berbagai macam makanan dari sihir penciptaannya. Membuat mata gadis vampir ini terbelalak seolah mendapat jamuan istimewa.

Elisa rindu akan hal itu. Sudah cukup lama ia dibuat sibuk dengan urusan dunia yang kacau balau itu.

"Haa, jika tak ada Melisa mungkin aku bisa menikmati hidup santai di dunia ini" keluh Elisa.

Ia cuma mengharapkan hidup santai, ditemani pelayan dan para duke tampan itu. Tak lebih, namun fantasinya buyar akibat perbuatan Melisa yang membuat kerajaan itu seperti neraka.

"Nona, apakah kita bisa mengalahkan orang itu?" tanya Lili tiba-tiba. Ia ingat bagaimana semua jenis serangan itu tak mempan melawan gadis berambut biru keperakan yang tiba-tiba menyerang mereka.

"Itu adalah pertahanan absolut. Ada satu cara, meski hanya membuka penghalangnya satu menit saja" ujar Elisa.

Ia sudah tahu cara ini. Namun mencari benda itu adalah perkara lain. Ini tak semudah membalikkan telapak tangan atau sekedar bergantung pada sihir penciptaan.

Elisa harus mencari semesta yang mencapai ajalnya. Semesta yang hancur dan segera mengambil bibit semesta itu. Ini artinya, Elisa harus menunggu satu dunia yang diambang kehancuran. Sebuah pekerjaan melelahkan tentunya.

"Narator, apakah kamu sudah menemukan semesta yang cocok?"

[Belum nona, saya masih mencari]

Bahkan untuk sosok mahatahu seperti Narator ini, dia bahkan belum menemukan kualifikasi itu. Kualifikasi unik untuk mengambil bibit semesta di saat-saat terakhirnya.

"Nona, ini namanya apa?" gadis kecil itu tertarik melihat sebuah kue berbentuk bulat tebal yang mengeluarkan aroma enak itu.

"Ini disebut martabak" jawab Elisa.

Entah kenapa ia jadi kangen makan santai begini. Martabak dengan toping ekstra luber itu jelas bisa membuat Lili tak kuasa menahan keganasan mulutnya itu.

Dari aroma saja ini sudah sangat menggoda. Terlebih taburan benda putih dan coklat yang tampak unik mirip dengan es krim yang pernah ia makan dahulu.

Elisa merindukan kehidupan begini. Ia jadi teringat bagaimana ia datang dahulu. Hari-hari damai sebelum masalah yang datang silih berganti.

Bagi orang itu mungkin cuma sebentar. Namun tidak dengan Elisa, ia sudah berada dalam alam mimpi itu lebih ari delapan puluh tahun. Segel kedua yang mengembalikan bulan dan membuka sedikit porsi kekuatannya.

"Makanlah" ujar Elisa sambil setengah tertawa. Ia tak menyangka akan melihat pemandangan seperti itu. Lili persis seperti hewan peliharaan yang sudah tak sabar. Seperti anak kucing kelaparan, namun masih menunggu komando dari majikannya.

Ini adalah ketenangan yang dinanti. Ketenangan yang tak butuh waktu lama sebelum masalah lain kemudian tiba.

"Haah, Melisa sialan! Kenapa dia malah membuat dunia ini jadi penuh masalah" batin Elisa lagi sambil meletakkan cangkir coklat panas yang tengah ia nikmati itu.

Suara melengking seperti suara anak kecil. Sesuatu yang aneh, karena mana mungkin ada anak kecil di tengah hutan besar seperti itu?

Lili juga dibuat kesal. Padahal ia maru mengunyah martabak enak itu dan sekarang kesenangannya malah diganggu. Dia seperti orang berkeperibadian ganda sekarang. Lili penakut dan manja itu tampak menjadi beringas saat tahu waktu makannya terpaksa ditunda.

Ia sadar akan hal itu. Tak mungkin Elisa yang langsung turun tangan, toh itu juga tak sopan. Lagi pula Elisa sudah menyuguhkan hidang untuk Lili di sana.

Itulah yang membuat gadis ini melompat, segera menyerbu ke arah sumber suara.

"Jangan sebabkan banyak perubahan" ujar Elisa mengingatkan. Ia tak ingin sejarah berganti akibat kedatangannya ke watu masa lampau ini.

--

"To, Tolongggg"

Yang berteriak memang seorang gadis kecil. Mungkin berusia sepuluh tahunan yang tengah diserang gerombolan serigala itu. Sesuatu yang aneh kenapa gadis sekecil itu berkeliaran sendiri tanpa ada orang dewasa yang membantunya.

Keringat tampak membasahi tubuhnya. Nafasnya juga sudah memburu akibat kawanan serigala yang seakan sudah tak makan seminggu tiba-tiba melihat seonggok daging berlari yang bisa mereka konsumsi.

Ini kejadian hidup dan mati. Namun uniknya, bocah ini lumayan lincah. Tak mungkin anak usia sepuluh tahun mampu bergerak dengan lihai menghindari satu persatu taring-taring tajam itu.

"Bughh"

Akar tanaman itu lumayan besar, melintang di jalan yang ia lalui. Gadis ini terjerembap jatuh menghantam tanah basah itu.

Tubuhnya kotor bergelimang tanah dan sekarang sudah dikelilingi kawanan serigala lapar tersebut.

Sesuatu yang harusnya menjadi takdir gadis ini. Namun takdir yang berubah saat sosok mungil bertaring dengan rambut hitam pekat itu mendarat.

Ia menangkap leher gadis kecil yang tak mengenakan baju itu. Membawanya berlari dan segera kabur dari tempat itu.

Ia ingat perintah Elisa, tentang jangan terlalu banyak membuat perubahan. Dan itulah yang dilakukan Lili, bergerak dengan cepat membawa gadis kecil yang cuma menggunakan kumpulan dedaunan kering sebagai pengganti celana tersebut.

"Si, siapa?"

"Gadis kecil, aku adalah Dewa" ujar Lili sambil bergurau.

Ya, gurauan yang tak ia sangka akan membawa perubahan besar untuk masa depan.


Transmigrasi Gadis Bumi (Gadis Sakti Dari Bumi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang