Kadang musibahlah yang menyatukan berbagai kepentingan itu. Tiga ras yang bertikai langsung bekerja sama menyelamatkan tanah mereka itu.
Ledakan besar dan kebakaran mengerikan yang menghanguskan semua ladang bibit jiwa. Jiwa-jiwa orang mati itu lenyap tak tersisa. Sesuatu hal sakral yang bahkan tak berani mereka sentuh malah dihancurkan oleh serangan tak terduga.
Ribuan artefak sudah disebar di alam bawah sana. Artefak peledak yang tampaknya dibawa oleh sosok urakan yang ikut meledak itu.
"Padamkan apinya!! Padamkan apinya!!"
Api besar itu seperti gelombang udara yang melumat apa pun yang dilaluinya. Meski tempat ini dikenal sebagai neraka, bukan artinya semuanya dipenuhi api- Ini jelas menjadi tempat yang tak bisa mereka tinggali lagi.
"Nona, kita harus segera pergi" ujar Artie.
Pria berwajah cantik ini menarik tangan Elisa dengan cemas. Ia tak menyangka kalau rencana orang-orang gila itu sampai sejauh ini. Mereka bahkan tak segan-segan menghancurkan satu alam hanya demi mengganggu Elisa.
"Ta, tapi bagaimana dengan Hailam dan pelayannya?" ujar Elisa lemah.
Ia masih ragu, apakah harus pergi atau melanjutkan pencarian.
"Nona, keselamatan nona lebih penting" ujar Artie lagi.
Ia tahu kalau nonanya masih belum membuka segel ketiga. Fakta yang artinya Elisa belum bisa mengatasi satu alam yang runtuh.
Keseimbangan yang terganggu ini memang mengerikan. Lingkaran reinkarnasi berukuran raksasa itu tampak retak. Jelas sekali kalau apa yang ia lindungi sudah mulai hilang. Para bibit jiwa yang harusnya melewatinya sekarang terbakar hangus. Dilahap oleh api misterius itu.
"Gerbang Neraka"
Artie tak menunggu Elisa lagi. Segera menepukkan tangannya dan mengeluarkan sebuah gerbang itu. Gerbang yang sama dengan apa yang ia buka di alam manusia dahulu. Pintu masuk dan keluar mereka menuju alam bawah sana.
"Ta, tapi" Baru kali ini Elisa dibawa dalam situasi bimbang. Instingnya mengatakan kalau ada hal lain yang harus dia dapatkan dialam ini. Jika ia keluar sekarang maka semuanya akan hancur.
"A, Artie! Aku yakin gelintir matahari juga ada dialam ini"
Perkataan itu membuat semuanya makin menegang. Firasat Elisa tak mungkin salah, toh ia juga adalah bagian dari kehendak semesta.
Semuanya menjadi dilema. Jika gelintir matahari tak didapat maka tentu dua alam akan hancur. Alam manusia dan alam neraka. Satu-satunya yang tersisa hanyalah alam langit tempat para Dewa.
"Bushhhh"
Kobaran api itu makin menggila. Api yang bahkan tak bisa dipadamkan oleh air yang dibawa oleh iblis-iblis ini.
Sihir penciptaan Elisa juga tak mempan terhadap mereka.
"Apa-apaan dengan api ini?" ujar Elisa lirih. Baru kali ini ia melihat sesuatu yang melawan nalar begitu.
"Nona, api ini berasal dari artefak dengan kekuatan 'hukum' ini tak akan bisa diatasi" ujar Artie lagi.
Satu lagi istilah baru yang didengar Elisa. Kadang ia kesal juga karena bertubi-tubi mendapat istilah aneh seperti itu. Meski Elisa bisa sedikit paham maksudnya dari namanya itu.
"Blarrrrr"
Ini mengerikan. Hancurnya ladang jiwa itu membuat langit seakan runtuh. Tampak langit oranye itu mulai retak diikuti oleh matahari yang bergerak cepat. Ini seperti akan menabrakkan diri pada dunia alam bawah ini.
"Duaarrr!"
Ini adalah ledakan besar yang terjadi. Ledakan yang secara spontan membuat Artie menarik lengan Elisa. Ia tak punya pilihan lain lagi, Elisa bukanlah eksistensi yang tahan akan kiamat di alam itu. Elisa belum mencapai ranah tertingginya.
"Tuk Tuk"
Mungkin inilah yang dimaksud dengan kehendak semesta. Sebuah benda aneh penuh asap itu jatuh tepat di sebelah Elisa.
Ini sebelum gadis itu memasuki portal itu seutuhnya. Sebuah benda yang tampak berkarat sebesar bola kasti.
Seperti bola dari baja dengan ukiran matahari di permukaannya. Ini mirip dengan bola bowling ukuran kecil, namun dengan warna perunggu yang agak pucat itu. Tak mengilat seperti emas, namun Elisa yakin ada sesuatu dibaliknya.
Elisa langsung mengambilnya dan memasuki gerbang itu. Keinginannya untuk mendapatkan bibit jiwa akhirnya sirna. Tak ada peluang lagi untuk membangkitkan dua orang tamu pertamanya itu. Hailam dan pelayannya telah lenyap dari dunia. Bahkan memasuki lingkaran reinkarnasi saja tidak bisa.
Alam bawah sudah mencapai kiamatnya. Tepat setelah Elisa dan pasukannya pergi. Tanah itu mulai luruh. Runtuh seperti jatuh pada jurang tanpa ujung.
Dua matahari itu juga mulai bersinar terang. Memancarkan sinar yang mereka kenal sebagai supernova. Ledakan bintang yang akan membuat dunia baru itu.
Persis seperti istana pasir. Alam itu mulai luruh seperti kehilangan penyangganya. Dilahap oleh api abadi dari artefak aneh itu.
Lingkaran reinkarnasi yang memandu jiwa pada kehidupan dan kematian semakin retak. Kehilangan sinarnya dan akhirnya sirna menjadi debu.
Makhluk biru beterbangan itu juga perlahan dilahap oleh api yang sangat gila. Teriakan makhluk iblis-iblis itu kian menggema. Mereka tak menyangka akhirnya akan begitu jahat. Rasa sakit dibakar hingga ke jiwa.
Mereka coba meronta, namun tak berdaya. Seakan ada kekuatan mahakuasa yang memang meminta kematian mereka.
Tak butuh waktu lama. Alam itu lenyap meninggalkan kekosongan. Hanya ada hitam pekat tanpa ada satu pun titik cahaya.
Ini seperti sebuah ruangan kosong tanpa dekorasi. Sesuatu yang butuh jutaan tahun untuk memulai siklus baru lagi.
--
"Ughh"
Elisa tersentak karena memasuki gerbang itu dengan paksa. Ia keluar dari alam bawah dan sampai di pekarangan rumahnya.
Rumah yang ia sangka normal itu sekarang sudah tak ada. Hanya ada ratusan lubang besar seperti digali jutaan tikus tanah. Sebuah provokasi luar biasa dari gadis berambut pirang bergelombang yang memegang tombak berwarna hijau itu.
"Nah, manusia bumi. Aku sudah menunggumu cukup lama" ujar wanita yang mengenakan pakaian seperti handuk mandi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Gadis Bumi (Gadis Sakti Dari Bumi)
FantasyElisa terbangun di dunia yang asing itu. Ini adalah settingan abad pertengahan dengan sihir dan ilmu bela diri. Dia hanyalah siswi SMA biasa yang akhirnya harus berjuang untuk hidup di dunia itu. Kekuatan misterius yang mengikutinya secara perlahan...