Ayah dan ibu adalah cahaya hidupku sampai... sampai mereka meninggal tepat sebulan sebelum kepergianku ke Akademi Interglobal Burlian.
"Ini semua gara-gara kamu!" hardik Erwin, kakak bungsuku. Dia terlihat amat syok memandang jasad ayah dan ibu yang akan dimakamkan. Tangisnya tak dapat berhenti. Dalam situasi itu pun, ia masih saja sempat untuk menyalahkanku.
Langit di hari pemakaman itu mendung bak ikut bersedih akan kematian kedua orang tuaku. Para tetua elementalis api dan elementalis air datang melayat. Mereka melakukan seremoni perpisahan yang hanya diperuntukkan untuk anggota keluarga terhormat.
Para tetua itu hadir dalam jubah upacara mereka; merah dengan sulaman emas untuk api dan biru dengan hiasan perak untuk air, membawa aura kesedihan yang mendalam. Anggota keluarga dan pelayat lainnya, dalam pakaian gelap formal, berdiri dengan wajah-wajah penuh duka, menyaksikan seremoni yang sakral ini.
Di sisi kiri pemakaman, obor besar menyala dengan tenang, nyalanya merah-oranye berkilauan. Beberapa elementalis api menari anggun di sekitar obor, gerakan mereka melambangkan semangat yang tidak pernah padam, meski kehidupan telah berakhir. Setelah tarian, kupu-kupu api dilepaskan ke udara, berkilauan dalam warna merah dan emas, melambangkan jiwa yang naik ke surga.
Sementara itu, di sisi kanan, air mancur alami mengalir jernih di antara bebatuan. Para elementalis air berdiri mengelilinginya, melantunkan ungkapan perpisahan seolah tengah mengantar para ruh ke alam baka dengan tenang. Ikan koi putih dilepaskan ke dalam air mancur, melambangkan perjalanan jiwa yang damai menuju kehidupan setelah mati.
Di akhir upacara, tetua dari kedua elemen berdiri di antara obor dan air mancur. Dengan kekuatan mereka, mereka menggabungkan api dan air, menciptakan semburan uap yang membumbung ke langit, melambangkan harmoni antara kehidupan dan kematian.
"Dia bahkan tidak menangis," bisik-bisik para tamu yang datang melayat ke kediamanku. Mereka menyoroti diriku. Yah, di antara anak-anak ayah dan ibu, hanya aku sendiri yang tidak menangis di depan pemakaman.
Pasalnya, air mataku sudah habis sejak semalam. Aku bukannya tidak sedih. Aku hanya tidak ingin menunjukkannya pada orang lain. Toh, apa pun yang kulakukan hanya akan dianggap sebagai pembawa kutukan oleh para esper yang aneh itu.
"Dia sungguh keterlaluan," bisik-bisik tamu lainnya, "Si esper jatuh memang pembawa kutukan. Jangan sampai berdekatan dengannya."
Tuh, kan? Aku bahkan tidak melakukan apa pun. Apa coba salahku?
"Siapa juga yang dekat-dekat dengan esper jatuh itu?" balas lainnya memandangku dengan jijik. "Tidak ada yang mau ikut terkena kutukannya."
Aku tidak peduli. Bagiku, semua ucapan mereka itu hanyalah angin lalu. Keberadaan mereka bahkan tidak berarti bagiku. Aku hanya berharap agar bisa segera pergi dari Esperheim yang menyesakkan ini.
"Tuan Muda Savil," panggil seorang pria paruh baya selepas seremoni pemakaman. Ia menunduk hormat kepadaku. Tangannya ditekuk menempel pada dada, menunjukkan kerendahan hatinya.
"Hm?" Aku menoleh padanya. Kulihat pria berwajah datar itu. Pria itu adalah seorang abdi dalem langsung dari kakekku, sang Keluarga Elementalis Api. Orangnya sangat setia dan patuh, bahkan tak pernah mencemoohku yang seorang esper jatuh.
"Tuan kepala keluarga memanggil Anda," katanya dengan suara yang serak-serak basah. Selalu saja begitu. Dia memang tidak pernah menemuiku kecuali kakek yang mengutusnya untuk memanggilku.
"Sampaikan saja," jawabku, "Aku akan segera menghadap."
Aku pun berpaling darinya, melanjutkan perjalananku untuk pergi ke kamar.
"Baik, Tuan Muda," balasnya seraya mengingatkan, "Mohon jangan membuat beliau menunggu terlalu lama."
Aku tidak menjawab lagi. Begitu sampai kamar, aku langsung membaringkan badan. Lelah sekali rasanya. Keramaian itu seolah menghisap daya hidupku.
"Ah, ini bukan waktunya istirahat," gumamku pelan. Aku segera bangkit, mengganti baju, lalu beranjak pergi untuk menghadap kepada kakek.
"Tuan Muda Savil Ghenius datang menghadap," lapor seorang abdi dalem sebelum aku diizinkan masuk ke ruang kerja kepala keluarga. Suaranya cukup lantang sampai bisa kudengar dari luar. Tak lama kemudian, abdi dalem tadi kembali keluar untuk memanggilku masuk.
"Kamu sudah tumbuh sebesar ini, Savil," komentar kakekku, Reisius Ghenius, selepas salam formal yang singkat, "Sedih rasanya karena sebentar lagi, kamu pun akan meninggalkanku pergi."
"Kakek tidak akan pernah sendirian," balasku sopan, "Banyak paman-bibi dan saudara-saudariku yang lain."
"Kamu benar, tapi tetap saja kepergianmu akan membuatku sedih." Kakek menatapku dengan wajah teduhnya. Dia memang selalu begitu sejak pertama kali aku menemuinya. Mungkin karena aku adalah cucu yang paling mirip dengan putri kesayangannya, ibuku.
Aku terdiam, tak tahu bagaimana harus membalas ucapan kakek itu.
"Sejujurnya, berat bagiku untuk melepaskanmu," kata kakek lagi setelah terdiam beberapa saat, "Tapi aku mengerti bahwa tempat ini tidak akan nyaman lagi bagimu setelah kepergian mereka berdua. Saudara-saudarimu pun akan pulang ke Baiyusia karena mereka memang mewarisi nama keluarga dari ayahmu dan lebih pantas untuk berada di sana ..."
Kakek berbicara panjang lebar tentang keluarga dan keberadaanku. Ia tampak menunjukkan kasih sayang yang tulus padaku, sama seperti ayah dan ibu. Namun, ia tahu bahwa paman-bibi, sepupu, dan saudara-saudariku tidaklah sepertinya. Karena itu ...
"Akademi Burlian adalah tempat terbaik untukmu," katanya di akhir pembicaraan kami, "Pulanglah bila kamu ingin pulang selepas lulus nanti. Aku akan memastikan agar Klan Ghenius selalu menerima kehadiranmu. Namun, bila kamu ingin pergi, maka pergilah ke mana pun kamu pergi. Kuharap, kamu akan bersedia untuk sesekali menghubungiku."
"Tentu, Kakek," balasku sopan, "Terima kasih atas segala kebaikanmu selama ini."
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...