070: Kemampuan Ainun

4 1 0
                                    

"Tenang saja." Bintang mengulas senyum kecil di wajahnya yang tampak penat. "Dia selamat. Katanya, Alfons langsung pergi saat kru kereta menemukan kita, tepat setelah dia menyerangmu."

Aku menarik napas panjang, membiarkan rasa lega mengalir di dadaku. Dalam situasi seberbahaya itu, kami bisa selamat... hanya karena keberuntungan. Pria itu kuat. Andai ia sedikit lebih gigih, mungkin ia sudah menculik Ainun saat kami semua terbaring tak sadarkan diri. Keselamatan ini tipis, nyaris hanya kebetulan.

Reina yang duduk di samping tempat tidurku memandang kami dengan sorot yang berbeda dari sebelumnya—ada nada keras yang samar di balik wajah tenangnya. Sambil mengupaskan apel dengan gerakan lambat yang rapi, ia berkata tegas, "Kalian harus lebih waspada lain kali."

Ujung bibirnya menegang sedikit, lalu matanya menatap lurus ke arah kami satu per satu.

"Jangan asal masuk ke sembarang tempat begitu saja."

"Itu salahku." Bintang mengakui, tertawa kecil meskipun matanya menunjukkan rasa bersalah. "Aku yang mengajak teman-teman masuk ke sana... meski sebenarnya aku juga tak menduga akan ada orang seperti itu di sana."

Peringatan Reina jelas bukan hal yang remeh. Aku menyadari benar betapa tipisnya garis antara keselamatan dan bahaya di dunia kami. Namun, pikiranku segera berpaling pada satu hal yang mencuat dari ingatanku, momen ketika Ainun berhasil menahan pria gila itu. Aku teringat bagaimana sosoknya berdiri tegar. Tangannya jelas gemetaran saat itu, tapi ia penuh dengan tekad untuk bertahan.

"Omong-omong, kemampuan Ainun itu..." Aku memulai dengan suara pelan, seakan meraba-raba kebenaran. "Apa mungkin itu kemampuan esper Farsisian?"

Reina langsung mengernyit, ekspresinya terkejut bercampur skeptis.

"Farsisian?" tanyanya, suaranya sedikit menurun. "Bukannya itu ras esper yang telah punah ratusan tahun lalu?"

"Ya." Aku mengangguk perlahan, masih tenggelam dalam pikiranku sendiri. "Di Esperheim, ras Farsisian dianggap punah. Tapi, Ainun pernah bilang kalau nenek moyangnya berasal dari ras itu."

"Apa yang sebenarnya Ainun lakukan?" Bintang bertanya, rasa penasaran terdengar dalam nada suaranya.

"Dia menekan pria itu, memaksanya berlutut," jawabku, memutar kembali memori akan aura gravitasi yang membuat Alfons si gila takluk sejenak. "Seolah dia menarik gravitasi di sekitarnya... seperti gravitasinya berubah."

"Manipulasi gravitasi!" Reina menebak cepat, bola matanya berkilat, seolah kata-kata itu menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam.

"Ya," aku mengangguk lagi. "Kurasa, itu nama yang tepat untuk kekuatannya."

Bintang tampak terkesima, matanya berbinar. "Kukira dia hanya bisa melakukan levitasi sederhana. Sejak dulu, aku sering melihatnya melayang sedikit di atas tanah, tapi tidak mengira... itu hasil dari manipulasi gravitasi."

"Manipulasi gravitasi dan levitasi," gumamku, terpesona pada gagasan bahwa ini mungkin hanyalah permulaan. Mungkinkah... Ainun menyimpan potensi yang lebih besar lagi, bahkan walaupun dia bukan seorang esper murni? Dia pernah bilang bahwa leluhurnya, seorang esper Farsisian, bisa memanipulasi ruang dan waktu. Bayangan itu kini terasa lebih dari sekadar mitos—itu mungkin kenyataan yang menakutkan.

"Manipulasi ruang dan waktu?" Reina menyipitkan mata, tampak ragu, tapi penasaran. Pandangannya tiba-tiba menjadi lebih tajam. Lalu, tanpa alasan yang jelas, dia melirik ke belakang, seakan mencurigai sesuatu yang ada di sana.

"Reina?" Aku memanggilnya. Alisku berkerut.

Detik berikutnya, perasaan aneh merambat di kulitku, merayap dari ujung jari hingga ke kepala. Sensasi ini... seperti ada getaran lembut yang menyusup ke dalam hatiku, resonansi yang tak asing dan mendalam. Auranya, samar, tapi kuat, begitu akrab, seakan menautkan sesuatu yang telah lama hilang dalam diriku.

Hening menguasai ruangan. Perlahan, ketukan terdengar dari arah pintu. Suaranya nyaris berbisik, tapi cukup tajam untuk memecah keheningan yang tegang. Ketukan itu berulang, kali ini lebih keras, seperti mencoba menggugah kesadaran yang selama ini tertidur dalam diriku. Ada perasaan yang mendesak, seakan-akan setiap ketukan mengirimkan gema yang beresonansi langsung dengan dadaku.

"Halo..." Sebuah suara akhirnya menyapa saat pintu berderit terbuka. Cahaya dari luar merayap masuk ke dalam kamar, membingkai sosok yang berdiri di ambang pintu.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang