Setelah pertempuran berakhir, suasana di Stasiun Interglobal Varsa mulai mereda. Meski banyak yang terluka dan beberapa bangunan hancur, kami berhasil mengusir musuh dan menjaga markas tetap aman. Atmosfer yang tadinya mencekam sekarang mulai tenang, meski bayang-bayang pertempuran masih membekas di benak setiap orang. Kolonel Amad segera memanggil semua komandan unit di markas pusat untuk berkumpul. Suaranya terdengar tegas di ruang interkom, namun ada nada kelelahan yang tak bisa disembunyikannya.
"Terima kasih kepada semua unit yang telah bertarung dengan gagah berani," katanya, suaranya bergema di ruang pertemuan. "Atas nama Stasiun Interglobal Varsa dan Angkatan Tempur Angkasa Varsa, kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Kalian semua telah menjaga kehormatan kami dan memastikan keselamatan stasiun ini."
Kami saling bertukar pandang, merasa lega dan sedikit bangga. Namun, saat suasana mulai melonggar, kesedihan dan kepedihan pun perlahan muncul. Pertempuran mungkin telah usai, tetapi korban yang jatuh tak dapat diabaikan.
Tak lama kemudian, eksekutif dari Akademi Burlian datang menemui aku dan Reina. Mereka terlihat tegas, tapi menyiratkan kelelahan yang sama. Selain kami berdua, komandan-komandan unit lain yang memimpin para mahasiswa juga turut hadir di ruang pertemuan. Mereka membawa laporan yang penuh luka—baik secara fisik maupun emosional.
Salah satu komandan berdiri, suaranya pelan, hampir seperti bisikan yang penuh rasa bersalah.
"Dari laporan kami... 60% mahasiswa telah gugur di medan perang," katanya, matanya tertunduk. "Mereka bukan hanya sekadar mahasiswa biasa. Mereka adalah para pahlawan muda yang, tanpa ragu, menyerahkan jiwa dan raganya demi mempertahankan apa yang mereka yakini."
Ia berhenti sejenak, memandang kami dengan penuh rasa hormat, lalu melanjutkan, "Pengorbanan mereka bukanlah sia-sia. Mereka berjuang dalam keadaan yang jauh dari kata ideal, melawan musuh yang jauh lebih kuat, namun mereka tidak mundur. Dalam nafas terakhir mereka, mereka tetap berdiri tegak, menjaga kehormatan unit dan nama baik akademi."
Suaranya sedikit bergetar ketika ia menambahkan, "Tanpa pengabdian dan keberanian mereka, mungkin kita semua tidak akan berdiri di sini hari ini."
Suara komandan itu pecah sejenak, namun dia berusaha melanjutkan, "Pos 4... sangat mencekam kala itu. Mereka terjebak... ini kesalahan saya. Saya tidak mampu memandu mereka dengan baik.
Kalau saja saya bisa memutuskan strategi yang lebih baik... mungkin mereka tidak perlu gugur. Mungkin..." suaranya terhenti, tenggelam dalam rasa bersalah. Mereka yang berasal dari unit lain adalah para manusia, bukan esper seperti kami yang memiliki kemampuan-kemampuan supranatural bawaan. Meski begitu, tak dapat dipungkiri bahwa mereka juga telah bertempur dengan baik.
Reina, yang berdiri di sampingku, mengepalkan tangannya. Aku tahu dia juga merasakan kesedihan yang sama, meski kami tidak mengatakan apa-apa.
Salah satu eksekutif akademi melangkah maju, suaranya dingin namun penuh penghargaan.
"Kami mengerti," katanya tegas, memotong perkataan komandan itu. "Sangat disayangkan bahwa ada korban jiwa dari pihak kita, terutama mahasiswa yang begitu muda. Namun, ini adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindarkan dalam perang. Mereka telah berjuang dengan segala yang mereka punya, dan perjuangan mereka akan selalu dikenang."
Dia berhenti sejenak sebelum menambahkan, "Kekaisaran telah menjamin kompensasi yang sesuai untuk keluarga mereka. Kami berterima kasih atas kerja keras dan dedikasi kalian di lapangan."
Aku merasa sedikit lega, tapi suasana tetap terasa berat. Kehilangan ini sulit diterima. Aku ingin segera kembali ke pesawat yang akan membawaku segera ke Akademi Burlian. Aku ingin meninggalkan medan penuh kenangan menyakitkan ini secepat mungkin. Namun, sebelum aku sempat melangkah, Reina menegurku.
"Tunggu sebentar," katanya, suaranya sedikit mendesak, tapi lembut. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja, Savil. Kita harus menjenguk kawan-kawan kita yang terluka. Mereka sudah bertarung keras. Tanpa mereka, kita tidak akan berhasil sampai di sini."
Matanya menyiratkan perasaan yang tulus.
Aku berhenti sejenak, mencoba mencerna perkataannya. "Tapi Reina, aku sudah—"
"Kamu sudah melakukan banyak hal, aku tahu," potong Reina, suaranya kini lebih tegas. "Tapi kamu tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus berterima kasih pada mereka. Instruktur Iyva dan yang lainnya juga sedang menuju ke sana. Ayolah, ini hal yang benar untuk dilakukan."
Aku melihat wajahnya yang serius, dan meski aku lelah, ada sesuatu dalam ucapannya yang membuatku tersadar. Mungkin, di tengah semua kesedihan ini, memberikan dukungan kepada mereka yang masih hidup adalah satu-satunya hal yang bisa kuberikan. Aku menarik napas dalam dan mengangguk perlahan.
"Baiklah," jawabku, sedikit tersenyum. "Kita akan pergi bersama. Mari kita berterima kasih pada mereka."
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Ciencia FicciónSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...