Bab 80: Tantangan Tak Terduga

7 2 0
                                    

"Mulai dari sini, semuanya adalah ujian."

Sosok di layar berbicara dengan suara yang disamarkan, nyaris tanpa emosi. Layar holografis muncul di hadapanku, melayang setinggi dada. Tulisan besar menyala terang: UJIAN TULIS KILAT.

Waktu di sudut kanan layar mulai menghitung mundur. Tiga puluh menit.

"Soal akan muncul sekarang. Jawab secepat mungkin," lanjut suara itu.

Tanpa aba-aba lebih lanjut, layar menampilkan pertanyaan pertama. Rumit. Detail. Ada grafik, data statistik, dan teori antariksa yang membutuhkan konsentrasi penuh. Aku menarik napas panjang, mengabaikan para siluet yang terus memperhatikanku.

Mataku bergerak cepat memindai pertanyaan, jemariku mulai mengetuk layar dengan presisi. Pilihan jawaban muncul, dan aku langsung memilih tanpa ragu.

Pertanyaan kedua muncul. Kemudian ketiga.

Aliran soalnya terus berlanjut, tetapi tidak ada yang terasa benar-benar asing. Otakku bekerja seperti mesin, memproses informasi dengan kecepatan tinggi. Setiap grafik, angka, dan istilah ilmiah sudah tertanam dalam pikiranku seperti memori yang lama tak disentuh.

Ketika aku menyelesaikan pertanyaan ke-40, suara notifikasi berbunyi. Sebuah angka besar muncul: 00:10:12. Aku menyelesaikan semuanya dalam dua puluh menit—sepuluh menit lebih cepat dari batas waktu.

Alarm yang berbunyi tampaknya mengejutkan mereka. Salah satu siluet menoleh, lalu menatap layar.

"Sudah selesai?" Suara itu terdengar ragu.

"Saya sudah menyelesaikannya," jawabku, nada tenangku menusuk kesunyian.

Mereka berdehem pelan. Salah satu dari mereka membunyikan notifikasi lain, memunculkan hasil ujian di layar besar di depanku. Skor 39 dari 40. Nyaris sempurna.

"Menarik," gumam salah satu dari mereka.

"Sepertinya ada sedikit celah," komentar yang lain, suaranya datar tapi terdengar seperti ejekan.

"Tidak buruk," kata seorang lagi, nada suaranya nyaris terdengar puas. "Namun, ujian ini hanyalah pemanasan."

Aku menahan diri untuk tidak mengeluarkan komentar. Fokusku tetap pada apa yang akan mereka lakukan berikutnya.

"Lanjutkan ke ujian kedua," perintah suara utama.

Lantai di bawah kakiku mulai bergerak. Ada gemuruh rendah, diikuti dengan getaran halus. Aku berdiri diam saat lantai bergerak turun, membawa tubuhku ke ruang yang lebih luas. Dinding di sekitar berubah, dan layar para siluet terangkat ke atas, menyisakan ruangan kosong yang terasa jauh lebih besar dari sebelumnya.

Di depanku, lantai terbelah dan sebuah meja muncul. Di atasnya, terletak sebuah pistol.

"Para anggota Kesatrian bukan hanya cendekiawan," suara itu berbicara lagi, kali ini lebih tajam. "Mereka juga harus kuat. Fisik dan mental."

Aku melangkah mendekati meja, memeriksa pistol itu dengan hati-hati. Senjata kecil itu tidak terlalu berat di tanganku, tetapi aku tahu ini bukan permainan.

"Ambil senjata itu," suara lain memerintah.

Aku menggenggam pistol, dinginnya logam merambat ke kulitku. Dalam beberapa detik, tubuhku bergerak otomatis. Kaki kiri maju, kaki kanan bertumpu. Kuda-kuda.

"Lewati ujian ini," suara terakhir bergema. "Dan kami akan menerimamu."

Aku memindai ruangan dengan cepat, mataku tajam mencari petunjuk. Ruangan yang sebelumnya kosong mulai berubah, menunjukkan celah, bayangan, dan potensi ancaman yang terasa semakin nyata.

Jemari di pelatuk pistolku bergerak, bersiap menghadapi apa pun yang akan muncul.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang