Aku mengejar Yuni dengan langkah cepat. Gadis cerewet itu tampak benar-benar terseret oleh sesuatu yang entah apa, membuatku semakin khawatir. Sebagai seorang Penenun, harusnya mustahil bagi dia untuk terkena serangan mental secara tiba-tiba. Aku, Bintang, dan Ainun bahkan tidak merasakan apa-apa. Tapi entah kenapa, Yuni terlihat seperti orang yang mengikuti bisikan tak kasat mata.
"Hai, Yuni!" seruku begitu sampai tepat di belakangnya. Tanganku refleks meraih pergelangan tangannya, berharap ia akan berhenti. Namun, begitu tanganku menyentuh kulitnya, dia mendadak berbalik padaku dengan ekspresi konyol yang membuatku tertegun.
"Cilukba!" serunya, wajahnya berseri-seri seakan menikmati kejutan yang diberikannya padaku.
Aku langsung melepas tangannya dan memalingkan muka, merasa bodoh karena terlalu khawatir.
"Hai, hai!" panggilnya lagi, tatapannya tajam dan menggoda. "Savil, apa kamu khawatir padaku?"
"Tidak," jawabku cepat, tak menatap wajah konyol tapi menawan yang ditampilkannya itu.
"Benarkah?" tanyanya, nadanya penuh ketidakpercayaan. "Ya ampun! Aku sangat tersentuh. Terima kasih sudah khawatir padaku."
Aku hanya mendengus, mencoba tetap tenang, tapi jantungku masih berdegup cepat. Di kejauhan, Bintang dan Ainun tampak menahan tawa sambil mengamati tingkah kami.
"Hai, ayolah~" kata Yuni dengan nada yang dimanjakan, langkahnya mendekat lebih dekat, "Aku tahu kamu malu, tapi tega sekali kamu sampai tidak mau menatapku."
Tiba-tiba, sebuah suara dentuman bergema dari ujung lorong. Suara keras itu memecah suasana dengan hebat, seolah ada sesuatu yang besar jatuh atau terbuka. Kami semua menoleh ke arah suara itu, mendadak tegang.
"Ada sesuatu di sana..." gumam Ainun dengan nada yang hampir berbisik, tetapi cukup untuk membuat kami semua semakin waspada.
"Mau melihatnya?" usul Bintang. Matanya bersinar dengan rasa ingin tahu yang tak tertahan. "Sepertinya ini lebih menarik daripada menunggu perbaikan kereta angkasa yang entah kapan selesai"
"Ayo!" seru Yuni tanpa menunggu persetujuan, "Aku sudah merasakan ada sesuatu yang menarik mental kita ke sana sejak tadi. Aku penasaran apa itu."
"Sepertinya itu bukan ide yang bagus," protesku, merasakan hawa tak nyaman menjalari lorong yang semakin gelap. Aku menoleh ke arah Ainun, mencoba mencari dukungan. "Benar kan, Ainun?"
"Benar," jawab Ainun sambil mengangguk. "Tapi aku juga penasaran."
"Sudah diputuskan!" seru Yuni riang, menarik kami semua tanpa memberi kesempatan untuk menolak. "Kita akan masuk ke dalam!"
Aku pun melangkah mengikuti Bintang, Yuni, dan Ainun, terpaksa memasuki lorong tua dan suram itu. Setiap langkah kami bergema dengan keras, membuat suasana terasa semakin menegangkan.
Suara tetesan air dari langit-langit beton yang retak terdengar di antara langkah kami, seolah memberi tahu bahwa tempat ini sudah sangat tua dan rapuh. Dinding-dindingnya dipenuhi lumut dan coretan-coretan yang sebagian besar sudah tak terbaca, namun ada satu coretan yang entah kenapa tampak segar, seperti baru ditulis.
Lorong itu terus memanjang, semakin dalam ke kegelapan yang rasanya mencekam. Bau lembab bercampur besi karatan memenuhi udara, membuat setiap tarikan napas terasa berat. Aku bisa merasakan tubuhku merinding, sedangkan Yuni yang tadi riang mendadak diam. Matanya melirik kanan-kiri dengan ketakutan yang tak disembunyikan lagi.
Kami berjalan melewati sisa-sisa masa lalu—gerbong-gerbong tua yang tertutup debu, kursi-kursi kayu yang rapuh dan berderit saat kami melewatinya, serta loket-loket karcis dengan kaca yang telah pecah sebagian. Suasana di sini benar-benar mengerikan, seolah semua kenangan tentang tempat ini tertinggal dalam bayangan-bayangan yang terus mengintai kami dari kegelapan.
Sesampainya di ujung lorong, kami akhirnya melihat sosok seseorang yang berdiri menunggu. Seorang pria dengan pakaian serba gelap, berusia setengah baya dengan wajah yang terkesan aneh. Senyumnya tipis dan berbahaya. Tatapan matanya dingin tapi penuh makna, seakan ia tahu persis siapa kami.
"Akhirnya kita bertemu, Tuan Putri," ucapnya, nadanya terdengar menakutkan. Pandangannya lurus pada Ainun, matanya memancarkan kilatan licik yang membuat hawa di sekeliling kami semakin terasa dingin.
"Siapa kamu?" tanyaku, merasa bahwa ada ancaman yang tak kasat mata dalam kata-katanya.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...