"Souli, dia akan menyelamatkan Esperheim suatu saat nanti?" lanjut Orchis dengan senyum bak malaikat di wajahnya, "Terima kasih sudah bersedia menyelamatkannya, Savil. Reina juga."
Aku hanya mengangguk sedikit. Ucapan Orchis terasa berat di dadaku. Tanggung jawab yang ia tanamkan di atas bahu kami tidak pernah terasa ringan. Dia berkata seolah Esperheim akan dalam bahaya suatu saat nanti. Namun, aku tidak mau peduli akan hal itu. Toh, para esper tidak akan mau menerima sosok yang jatuh sepertiku.
"Kamu juga, Savil," ucap si gadis Hinian itu. Sorot mata Orchis, meski lembut, memiliki kedalaman yang membuatku merasa seperti dia melihat menembus hatiku. Aku tidak mengerti apa yang ia pikirkan dan apa yang ia lihat. Mungkin, ia telah melihat masa depan yang misterius dengan kemampuannya.
"Hai, jangan lupakan aku. Aku juga sangat membantu saat itu," sahut Yuni dengan nada ceria, menghentikan arus pikiranku. Dia datang bersama Orchis. Seperti biasa, gadis Penenun itu selalu energik. Pandangannya tertuju padaku, dan dia mengedipkan sebelah matanya dengan gaya yang khas.
"Benar, kan, Vil?" Ada secercah rasa percaya diri dan kebanggaan dalam nada suaranya.
"Yeah."
Aku tidak dapat menyangkal. Meski tak menyukainya, Yuni sangat membantu ketika menyusup ke kepalaku saat itu. Manipulasi mentalnya saat pertempuran benar-benar menolong.
Bukan hanya itu saja, ada sesuatu yang lebih dalam terasa di hatiku. Perasaan hangat yang dia ciptakan dalam diriku saat itu, aku seakan ingin merasakannya sekali lagi. Rasa nyaman yang begitu nyata, membuatku lupa sejenak pada semua kekacauan yang menghantui pikiranku di kala perang berkecamuk.
"Jadi, kau berhutang budi padaku," tambah Yuni, suaranya semakin menggoda. Jari telunjuknya menusuk tepat ke dadaku, seolah menuntut perhatian penuh. "Kondisi mentalmu sangat parah saat itu, kan? Kamu mungkin akan jadi gila kalau tidak kubantu, tahu!"
Aku menarik napas dalam-dalam, mengingat momen itu. Rasanya seolah-olah tenggelam dalam kekacauan batin yang tak tertahankan. Pikiran-pikiranku, ketakutanku—semua hampir menelanku hidup-hidup.
Tapi kemudian, suara Yuni yang lembut dan sejuk merasuk ke dalam pikiranku, menyelamatkanku dari jurang kegelapan. Meski aku tahu dia bercanda, ada kebenaran dalam perkataannya.
"Hah..." Aku mendengkus pelan. Perkataan Yuni memang tak pernah jauh dari candaan, tapi dia tidak sepenuhnya salah. "Jadi, kamu mau aku memberi bayaran, begitu?"
"Ya!" jawabnya semangat, matanya berbinar penuh antusias. "Kamu harus membayar biaya konsultasi. Hehe..."
Suara tawanya menggema ringan, seolah masalah ini adalah hal paling sederhana di dunia.
"Padahal aku tidak memintamu sama sekali," balasku seraya menghindari tatapannya yang penuh senyuman itu. Senyuman yang begitu... memikat. Ah, bukan itu yang penting sekarang. "Kamu sendiri yang sembarangan menyusup ke kepalaku saat aku lengah. Harusnya aku yang minta kompensasi."
"Ayolah~" Yuni mendadak cemberut, ekspresinya berubah secepat kilat. Dia menggembungkan pipinya sejenak dengan wajah lucu yang nyaris membuatku tertawa. "Aku cuma mau membantu sedikit. Kamu tidak perlu membayarnya mahal-mahal kok. Cukup aja aku makan malam bersama sekali saja. Mumpung kita masih di SIV untuk beberapa hari lagi."
"Makan malam?" Aku menatapnya sejenak, memikirkan permintaannya. Tawaran sederhana, tapi terasa aneh di tengah suasana yang seharusnya serius ini.
"Baiklah, tidak masalah kalau hanya itu. Tapi, jangan harap kamu bisa makan malam di restoran yang mewah," balasku datar, tak ingin memberinya terlalu banyak harapan. "Anggaranku terbatas."
"Hm, hm~" Yuni mengangguk, matanya bersinar cerah, bibirnya melengkung membentuk senyum puas yang... tidak bisa kusangkal, tampak imut di mataku. "Asal bersama Savil, itu sudah cukup."
Aku terdiam sejenak. Entah kenapa, ada kehangatan yang samar menjalari hatiku ketika dia berkata seperti itu. Suasana yang diciptakannya selalu mampu membuat beban di dadaku terasa lebih ringan, meskipun hanya sekejap.
Tapi, perasaan itu tak berlangsung lama.
Saat aku sibuk berbicara dengan Yuni, samar-samar aku mendengar suara Orchis yang berbicara lembut pada Reina. Suaranya rendah, tapi cukup untuk sampai ke telingaku.
"Apa kamu tidak masalah?"
Aku bisa merasakan getaran halus dalam nada suaranya—seolah dia tahu sesuatu yang tak kutahu.
"Ya," jawab Reina lirih, hampir seperti bisikan, "Aku juga bukannya..."
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
SciencefictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...