Sehari setelah perayaan meriah yang diadakan oleh SIV untuk menghormati kemenangan kami, perjalanan kami yang sebenarnya kembali dimulai. Kali ini, perjalanan kami tidaklah sepi.
Bersama kami, ikut para eksekutif Akademi Burlian, sosok-sosok berpengaruh yang jarang terlihat di luar dinding akademi, dikawal ketat oleh APAB—pasukan keamanan terbaik dari Planet Burlian yang bersenjata lengkap.
Di dalam pesawat angkasa yang kami tumpangi, segala sesuatunya tampak teratur namun dingin. Dinding logam yang memantulkan cahaya lembut membuat ruang terlihat luas tapi kosong, mengingatkan akan betapa jauh kami dari rumah.
Kami melintasi ruang angkasa yang hening, jauh dari planet mana pun. Tidak ada pemandangan, hanya kehampaan luar angkasa yang dipenuhi bintang-bintang. Tapi aku tidak peduli. Semua terlihat sama di luar sana, sementara di dalam, percakapan keras teman-temanku terus mendengung di telinga.
Weldy, Khal, dan Rahim yang seharusnya beristirahat, tidak mengindahkan peringatan dari Instruktur Iyva sama sekali. Mereka tetap bertingkah seolah pertempuran terakhir hanyalah permainan kecil. Luka-luka mereka, yang seharusnya membuat mereka terbaring, tampaknya tidak menghalangi mereka untuk bersikap sombong.
Aku duduk di sudut ruangan sambil berusaha membaca, tapi konsentrasiku terusik oleh percakapan mereka yang memuakkan.
"Mereka terlalu lemah," kata Weldy dengan bangga. Senyumnya lebar, seolah tak ada rasa takut atau sakit yang pernah menggerayangi tubuhnya. "Aku bisa membunuh mereka dengan sekali tebas."
Aku menoleh sebentar, melihat luka di sisi tubuhnya yang masih terbalut perban. Luka yang jelas-jelas dalam, tapi anehnya dia bersikap seolah itu tidak berarti apa-apa.
Khal, yang duduk di sebelahnya, langsung menanggapi dengan nada meremehkan, "Kau pengecut! Mereka kaget melihatmu seperti hantu yang muncul tiba-tiba. Makanya kau bisa melakukan itu."
Weldy langsung naik pitam.
"Apa? Tarik ucapanmu!" teriaknya, sementara suaranya memantul di ruang pesawat yang luas.
Aku menggertakkan gigi, merasa semakin muak. Tidak bisakah mereka bersikap lebih dewasa?
Rahim, yang duduk di dekat jendela, menyela sambil menghela napas panjang, "Kalian bodoh. Anginku memotong kendaraan lapis baja mereka. Mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku."
"Kalau tidak ada aku, kalian sudah habis dihantam mortar mereka," sahut Weldy lagi, tak mau kalah. Percakapan itu berputar-putar tanpa arah, hanya sekadar adu ego.
"Tetap saja," Khal menimpali lagi dengan nada sombong, "Tidak ada yang bisa menyaingiku dalam jumlah membunuh. Petirku membuat mereka tewas seketika."
Dan begitu seterusnya. Rasanya percakapan itu tidak akan pernah berakhir. Setiap kali salah satu dari mereka berbicara, seolah dunia berputar di sekitar mereka sendiri. Apa mereka tidak sadar betapa tipisnya batas antara hidup dan mati saat itu? Ketika mereka semua berada di ujung tanduk? Aku sih aman-aman saja di markas pusat.
Aku akhirnya bangkit dari tempat duduk, menutup buku di tanganku dengan gerakan pelan namun tegas. Percakapan yang tak berujung itu menyesakkan dadaku.
Tanpa sepatah kata pun, aku meninggalkan mereka, membiarkan suara bising itu tenggelam di balik pintu pesawat angkasa. Kembali ke kamarku, aku berharap bisa menemukan sedikit kedamaian.
Waktu berlalu tanpa terasa. Setelah seminggu penuh di dalam pesawat, kami akhirnya sampai di Stasiun Interglobal Burlian, sebuah hub besar yang menghubungkan planet-planet di seluruh sistem.
Begitu kami turun dari pesawat, aku bisa melihat betapa megahnya stasiun ini. Struktur logam raksasa yang mengambang di ruang angkasa, dengan lalu lintas pesawat-pesawat yang sibuk datang dan pergi. Aku bahkan bisa melihat kereta angkasa berkecepatan tinggi melintas di luar jendela besar yang membentang dari lantai hingga langit-langit stasiun.
Kereta yang kami naiki dari stasiun itu membawa kami ke Planet Burlian, tempat di mana Akademi Burlian berada. Suasana di dalam kereta terasa aneh, sebuah perpaduan antara antusiasme dan kecemasan.
Mungkin karena ini pertama kalinya kami datang ke tempat ini, planet yang dikatakan sebagai pusat pengetahuan dan kekuatan para penjelajah semesta. Begitu kereta mencapai kota Hati, aku menuruni tangga dengan rasa penasaran yang bercampur sedikit gugup.
Kota Hati tampak sibuk, penuh dengan teknologi canggih dan masyarakat yang sibuk. Gedung-gedung tinggi dengan arsitektur futuristik berdiri di sekeliling kami. Jalanan dipenuhi oleh kendaraan melayang, dan robot-robot kecil bergerak tanpa henti, membawa barang-barang atau membantu penduduk lokal.
Di tengah hiruk-pikuk itu, sebuah kerumunan siswa Akademi Burlian tampak berkumpul di dekat pintu masuk. Mereka mengenakan seragam biru dengan lambang akademi di dada, tampak seperti sekumpulan anak muda yang siap menghadapi dunia.
Saat aku menatap ke arah mereka, tiba-tiba seorang anak berambut putih muncul entah dari mana, berlari ke arahku. Ia mengenakan seragam yang sama dengan siswa lainnya, tetapi langkahnya penuh semangat, dan wajahnya cerah.
Tanpa basa-basi, dia langsung bertanya dengan nada sok akrab, "Hai, kamu pasti seorang esper, kan? Apa seorang esper bisa terbang?"
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science-FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...