[Selamat bergabung di Asosiasi Kesatrian]
Kalimat itu berkedip di layar gawaiku. Warna emasnya seperti mengejek, terang menyilaukan. Kata-kata itu terasa berat, terlalu besar untuk diterima oleh seseorang sepertiku. Jemariku menggenggam gawai lebih erat, seolah benda itu bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Kenapa wajahmu seperti itu?" Suara Bintang memecah keheningan, disusul dengan tepukan ringan di bahuku. "Kamu masuk Kesatrian, kan? Sudah kuduga."
Aku menoleh perlahan, menatapnya seakan ia baru saja mengatakan sesuatu yang mustahil. "Ini serius? Kesatrian?"
"Kamu pikir aku bercanda?" Bintang mengangkat gawai dari tanganku, menempelkannya ke wajahnya sendiri seolah memastikan apa yang sudah jelas. Lalu, ia menampilkan layar gawainya kepadaku. Ada sebuah laman anggota Asosiasi Kesatrian di sana. "Kami bertiga di kamar ini juga anggota di sana. Selamat bergabung di klub paling eksklusif di akademi ini."
"Selamat, Savil," ujar Satria pelan. Suaranya hampir seperti gumaman. Ia mengambil kartu hitam dari lemarinya, menunjukkannya padaku. Kartu itu memiliki bentuk yang pola yang mirip dengan kartuku, hanya saja gambarnya sedikit berbeda.
"Ada banyak hal yang bisa kita dapat hanya dengan memiliki kartu ini," tambahnya dengan nada rendah. "Tapi jangan lupa, kartu itu bukan hanya simbol status. Ada tanggung jawab besar di baliknya."
"Kesatrian..." gumamku, suaraku hampir tak terdengar. Nama itu bukan sekadar sebuah nama komunitas receh. Asosiasi ini bergema di setiap sudut Akademi Burlian, menjadi simbol eksklusivitas dan kekuasaan.
"Jangan terlalu dipikirkan," kata Hao santai, melambaikan kartu serupa ke arahku dari tempatnya duduk di kasur. "Yang penting, kamu masuk. Itu artinya kamu cukup layak menjadi salah satu calon orang paling berpengaruh di Kekaisaran Bima Sakti."
"Layak?" Aku mengulangi kata itu, menatap kartu hitam di tangannya. "Kenapa aku bahkan bisa masuk? Aku bukan siapa-siapa."
"Kenapa lagi?" potong Bintang. Tawanya renyah, tetapi matanya berbinar penuh arti. "Rekam jejakmu jelas. Kamu pernah memimpin operasi militer, menyelamatkan banyak orang di SIV. Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan sembarang orang."
"Dan," ia melanjutkan seraya menunjukkan kegembiraan padaku, "Aku yakin kakakku, sang Adipati Muda Burlian, melihat sesuatu yang lebih dalam dirimu. Permainannya denganmu sebelumnya adalah ujian, dan kamu melewatinya dengan baik."
Aku terdiam. Kepalaku dipenuhi pikiran yang berputar oleh berita ini. Kartu hitam itu terasa seperti beban.
"Tapi aku bukan seperti kalian," ucapku akhirnya. "Ada ribuan esper yang belajar di akademi ini, dan di antara mereka semua, aku hanyalah seorang esper yang jatuh. Aku bahkan tidak bisa menggunakan kemampuan esper sama sekali."
"Kamu diterima bukan karena kamu seorang esper, Savil," kata Hao menjelaskan. "Kesatrian tidak hanya soal kekuatan. Ini soal pengaruh dan strategi."
"Dia benar." Satria memutar kartu hitamnya lagi, kali ini berhenti menatapnya sejenak. "Tapi pengaruh itu ada harganya. Kamu mungkin harus menerbitkan jurnal lebih banyak dari mahasiswa biasa, merencanakan proyek penelitian skala besar, dan bergabung ke berbagai acara penting di asosiasi."
Aku menatap mereka satu per satu. Kata-kata mereka terasa benar, tetapi ada sesuatu yang tidak terucap. Terutama di mata Bintang.
"Kau tidak bilang apa-apa soal 'harga' ini," ujarku, menatap langsung ke arahnya.
Bintang hanya tersenyum kecil, senyum yang terlalu terlatih. "Itu sesuatu yang akan kamu temukan sendiri, Savil. Tapi jangan khawatir. Kakakku tidak akan memilih orang yang tidak sanggup menanggungnya."
Jawabannya tidak memuaskanku. Ada sesuatu yang disembunyikannnya, sesuatu yang lebih besar daripada sekadar keanggotaan dan proyek penelitian. Namun, aku tahu kartu ini penting. Kesatrian adalah salah satu opsi yang selalu kupertimbangkan sejak sebelum masuk akademi, bukan hanya untuk statusnya, tetapi juga untuk keuntungannya.
"Kalau begitu, aku terima," ucapku akhirnya, meski ada sedikit keraguan dalam nadaku. Kartu hitam itu bukan hanya sebuah akses; itu adalah langkah menuju sesuatu yang lebih besar.
Bintang menepuk bahuku lagi, kali ini dengan senyum lebar. "Itu semangat yang kuharapkan. Selamat bergabung, Savil. Kamu akan menyukai perjalanan ini."
Satria hanya mengangguk pelan, sedangkan Hao mengangkat kartunya sekali lagi dengan senyuman tipis.
Aku memandang gawai di tanganku. Kalimat emas itu masih berkedip, tetapi kali ini terasa seperti tantangan, bukan ejekan.
Aku menatap kartu hitam itu sekali lagi sebelum menyimpannya di dalam saku. Keuntungan dari Kesatrian memang menggoda, tapi ada satu urusan yang harus kuselesaikan lebih dulu selepas kuliah nanti—urusan di Konsulat Esperheim.
Sebenarnya, aku malas pergi ke sana, tapi sebagai seorang esper, bahkan walaupun seorang esper yang jatuh, aku harus tetap ke sana sesekali.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...