Bangunan megah itu menjulang seperti kristal yang dipahat sempurna, memantulkan sinar matahari yang jatuh di atasnya. Setiap jengkal dindingnya terbuat dari material transparan yang memancarkan cahaya redup dari dalam, menandakan kemegahan teknologi sekaligus kerahasiaan pengetahuan di dalamnya.
Arsip Ilmu Pengetahuan Antarplanet, pusat pengetahuan terbesar di Kekaisaran Bima Sakti, adalah tempat di mana sejarah, teknologi, dan peradaban dari seluruh penjuru semesta berkumpul menjadi satu.
Begitu memasuki gedung, kelompok kami segera berpencar sesuai tugas masing-masing. Bintang menuju lantai teknologi terbaru, Ainun bergerak mencari literatur sejarah esper yang berhubungan dengan kekaisaran, Reina berbelok ke lorong sastra, mencari catatan-catatan yang ditulis oleh para diaspora esper, sementara aku berjalan menuju bagian arsip yang memuat dokumen-dokumen kuno, mencari tentang ras Farsisian.
Aku mendudukkan diri di salah satu meja kaca besar dengan sebuah layar holografis dan tumpukan buku tua di depanku. Tangan kiriku memutar proyeksi teks, sedangkan tangan kananku mencatat poin-poin penting di gawai. Wajahku bolak-balik menatap buku dan layar holografis. Setiap baris yang kubaca seolah membawaku lebih dalam ke masa lalu yang kelam dan misterius.
Orang-orang yang disebut sebagai Farsisian itu adalah yang paling kejam dan mengerikan di antara makhluk-makhluk Planet MF/3216.
Kalimat itu muncul pada salah satu dokumen yang dicatat oleh seorang perwira tinggi militer kekaisaran, ia menceritakan detail pertarungan antara para Farsisian dengan Armada Tempur Angkasa Kekaisaran di masa lalu. Farsisian, sebagai esper dengan kemampuannya yang mampu mempengaruhi gravitasi ruang dan waktu, menjadi satu-satunya ras yang dapat melawan langsung armada di luar atmosfer Esperheim.
Aku menyesap informasi itu perlahan. Dalam hati, aku bertanya-tanya, mengapa tidak ada satu pun catatan mendetail mengenai ras ini dari sekian banyak literatur yang kubaca di Esperheim? Entah aku yang belum menemukan, meski sudah membaca lebih dari 10.000 literatur, atau informasi itu memang disembunyikan oleh pihak yang berpengaruh di Esperheim.
"Bila detail yang dicatat oleh perwira ini benar," gumamku begitu membaca halaman terakhir dari literatur kuno itu, "Harusnya para pemuka ras Farsisian memiliki posisi yang penting bagi Esperheim saat ini. Ini tidak masuk akal. Jangan bilang, cerita dalam novel tentang kepunahan Farsisian itu benar? Mereka punah karena kekuatan genetiknya lemah? Aku tidak bisa mengerti ini ...."
Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain. Genosida, pembantaian ras. Sejarah yang sengaja disembunyikan. Stigma kutukan pada esper-esper berambut hitam yang mirip Farsisian. Apa yang telah terjadi di masa lalu hingga eksistensi Farsisian bisa menghilang bagai tak berbekas. Aku terus berusaha memikirkan jawaban yang logis, tapi pikiranku terusik ketika suara langkah mendekat.
Reina duduk di depanku, meletakkan sebuah buku diari tebal di meja. Ia menatapku dengan ekspresi datar, tetapi aku tahu itu hanya topeng untuk menyembunyikan niat yang ia miliki sebenarnya.
"Lihat ini," ujarnya, suaranya penuh sarkasme. "Mau sejauh apa pun kita pergi, mustahil untuk melupakan kampung halaman."
Aku memandangnya dengan dingin. "Apa hubungannya dengan penelitian kita? Kalau kau hanya ingin bernostalgia, lebih baik kau lakukan itu sendirian."
Reina terdiam sejenak, sebelum membuka halaman diari tersebut. Ia menunjuk beberapa paragraf, tetapi aku tidak memberinya perhatian penuh.
"Aku menemukan beberapa catatan diaspora esper yang menarik," katanya lagi, suaranya terdengar ringan, tapi jelas mengarah padaku. "Dan aku pikir ini akan sangat berguna untuk penelitian kita."
Aku menyipitkan mata, menatapnya dengan penuh skeptisisme. "Kalau kau memang serius dengan proyek ini, jangan bawa-bawa sentimentalitasmu. Fokus saja pada data yang relevan."
Reina menatapku tajam. "Aku hanya menyampaikan fakta, Savil. Kau yang terlalu membawa perasaan. Apa kau lupa kalau kita sedang bekerja dalam tim? Atau kau terlalu keras kepala untuk mengakui bahwa temuanku bisa berguna?"
Aku menyandarkan tubuhku ke kursi, merasakan panas mulai menjalar ke dadaku. "Kalau kau terus seperti ini, mungkin lebih baik kau keluar saja dari proyek ini. Aku tidak butuh gangguan."
"Gangguan?" Reina mendengus, matanya menyipit. "Kau benar-benar sulit diajak bekerja sama, ya? Aku hanya mencoba membantu."
"Membantu?" Aku menyeringai, tapi itu lebih karena kesal daripada senang. "Kalau membantu berarti menyusahkan orang lain dengan cerita nostalgia, maka kau memang sangat ahli."
Reina tertawa kecil, meskipun nadanya penuh sarkasme. "Kau bisa mengatakan itu seribu kali, tapi kau tidak akan pernah benar-benar melupakan asal-usulmu, Savil."
"Jangan bawa-bawa masa lalu," jawabku, suaraku mulai meninggi. "Aku tidak peduli tentang Esperheim lagi. Penelitian ini tentang masa depan, bukan nostalgia."
"Hai, kalian! Cukup!" Suara tegas memotong perdebatan kami. Kami menoleh ke arah suara itu, dan melihat seorang pria berseragam hitam berdiri di ambang pintu arsip. Wajahnya setengah tersembunyi oleh bayangan.
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...