Bab 105: Dua Peluru Terakhir

4 1 0
                                    

"REINA!" teriakku sekuat tenaga, suaraku pecah di tengah kekacauan.

Mata Reina tertutup sejenak, tubuhnya membeku dalam hitungan sepersekian detik. Belati yang berkilat itu meluncur dengan cepat menuju sasarannya.

Aku bergerak tanpa berpikir, tubuhku refleks mengangkat pistol plasma dan membidik kepala si penjahat bertopeng. Jari telunjukku menekan pelatuk secepat kilat.

Kilatan cahaya biru terang melesat dari laras pistol, melesat lurus ke arah kepala musuh. Namun, dengan kelincahan yang hampir mustahil, ia melompat mundur dengan cepat, menjauh dari Reina. Proyektil plasma menghantam tembok di belakangnya, menyebabkan serpihan logam dan debu beterbangan di udara.

Reina terbatuk. Tangannya memegangi leher, sementara pedang energi di tangannya bergetar hebat. Matanya membelalak, menatap ke arahku dengan campuran keterkejutan dan keputusasaan.

Di ujung lorong, si penjahat bertopeng berdiri tegak dengan belati kembar di tangannya, cahaya dari bilahnya memantulkan kilatan merah seperti mata pemangsa yang haus darah. Tawanya menggema, memantul di antara dinding logam di sekitar kami.

"Bagus, bocah. Bidikanmu cukup tajam untuk anak yang 'jatuh'," ujarnya dengan nada mengejek, suaranya dalam dan bergetar seperti racun yang merayap di bawah kulit. "Tapi pelurumu itu pasti tak tersisa banyak, kan? Apa kau yakin bisa membunuhku dengan mainan itu?"

Tanganku gemetar saat aku mengangkat pistol plasma, ujung larasnya kuarahkan lurus ke kepala si penjahat bertopeng. Dua peluru tersisa. Dua kesempatan terakhir. Nafasku berat, tetapi mataku terkunci pada gerakannya yang halus, tetapi penuh ancaman.

Ia memutar-mutar belati di antara jemarinya dengan gesit, seolah memamerkan keahliannya dalam membunuh dari jarak dekat. Bahkan di balik topeng itu, aku bisa merasakan sorot matanya yang memancarkan kegilaan, penuh kenikmatan akan darah yang akan tertumpah. Setiap langkahnya mendekat seperti tarian predator yang bermain-main dengan mangsanya sebelum serangan terakhir. Aku harus menunggu momen yang tepat. Satu kesalahan saja, dan ini akan berakhir dengan kematianku—dan mungkin Reina juga.

Seperti kilatan petir, ia melesat ke arahku. Belatinya bergerak cepat, menusuk lurus ke perutku. Aku melihat kilatan perak dalam jarak yang begitu dekat, terlalu cepat untuk dihindari. Dengan insting terakhirku, aku menekan pelatuk pistol plasma tepat saat ujung belati menembus dagingku.

Kilatan cahaya biru meledak dari laras pistol, menembus dada kiri si penjahat bertopeng. Tubuhnya tersentak ke belakang, tetapi tawanya yang kasar masih menggema meski darah mengalir deras dari sudut bibirnya.

"Agh ... hahahaha ... kau cukup ... mengesankan ... bocah ..."

Suara tawanya pecah oleh batuk darah yang menyembur dari mulutnya. Namun, tangan yang mencengkeram belatinya masih mendorongnya lebih dalam ke perutku.

Rasa logam memenuhi mulut saat darah mengalir dari bibirku sendiri. Pandanganku mulai bergetar. Kesadaranku pun perlahan memudar, tapi jemariku masih mencengkeram pistol dengan erat.

Dengan sisa tenaga yang hampir habis, aku menarik napas pendek dan menekan pelatuk sekali lagi.

Proyektil plasma terakhir menghantam tepat di dada musuhku, menembus hingga ke belakang. Tubuhnya terpental ke belakang dan jatuh dengan suara berdebam yang berat.

Namun, tusukan belati di perutku terasa semakin dalam, nyaris menembus punggungku. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh, seperti bara api yang membakar setiap sarafku.

Pandangan mataku mulai meredup, suaraku tercekat. Reina berlari ke arahku, wajahnya dipenuhi kepanikan yang tulus. Bibirnya bergerak, tetapi suaranya terdengar seperti gema yang samar.

"SAVIL! BERTAHANLAH!"

Tubuhku ambruk ke lantai logam yang dingin. Aku merasakan gravitasi seakan menarikku ke lubang yang tak berdasar. Sebelum semuanya menjadi gelap sempurna, pandanganku menangkap Reina dengan jelas untuk pertama kalinya.

Matanya yang biru seperti lautan dan langit yang cerah, penuh ketakutan dan kesedihan.

Dan di balik kerudung yang kusut itu, anak rambut hitam jatuh ke pipinya.

Rambutnya hitam.

Sama seperti milikku.

Sama seperti seorang esper yang jatuh.

Lalu, semuanya memudar menjadi kegelapan mutlak.

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang