Bab 92: Harapan yang Tak Terjangkau

7 1 0
                                    

"Ayo, fokuskan pikiranmu," ujar Ainun, suaranya lembut, tapi penuh keyakinan bak embusan angin sore yang mencoba menenangkan badai. "Bayangkan dirimu melayang, seolah gravitasi tidak lagi mengikatmu."

Aku memejamkan mata, menarik napas panjang. Udara sore yang sejuk menyentuh kulit wajahku, hangat matahari yang mulai meredup menambah kelembutan suasana. Dalam pikiranku, kubayangkan tubuhku ringan seperti daun yang perlahan tertiup angin, terangkat menjauh dari bumi. Aku memvisualisasikan gravitasi yang melemah, seperti tali yang lepas dari simpulnya.

Namun, sesuatu tetap terasa salah. Ketika kubuka mata, pandanganku langsung jatuh pada kedua kaki yang tetap tertanam kuat di atas tanah. Tidak ada yang berubah. Tanah keras di bawah telapak kakiku seakan mengukuhkan posisinya, seolah menertawakan setiap upayaku yang sia-sia.

Ainun berdiri beberapa langkah di depanku, tubuhnya melayang beberapa sentimeter di atas tanah. Seolah-olah gravitasi memilih untuk mengabaikannya sepenuhnya. Matahari sore memantulkan cahaya hangat pada kulitnya, menambah kesan bahwa dia adalah makhluk dari dunia lain. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya memberikan senyuman kecil yang nyaris terasa ironis.

"Cobalah lagi," katanya, nadanya masih penuh dorongan, tetapi kini terdengar sedikit prihatin.

Aku memejamkan mata sekali lagi, kali ini lebih keras. Napasku melambat, seluruh fokusku tertuju hanya pada satu hal: melayang. Di dalam pikiranku, aku mencoba membayangkan ikatan gravitasi memudar, seperti memutus tali yang menahan balon udara. Tapi, meskipun dalam imajinasiku, aku tetap tidak bergerak. Ketika kubuka mata lagi, kedua kakiku masih di sini, berdiri diam di atas tanah yang terasa lebih dingin dari sebelumnya.

"Tidak ada yang terjadi," ucapku datar, suaraku rendah seperti gumaman. Mataku menatap Ainun, mencoba menyembunyikan rasa kecewa yang mulai meresap.

"Kau hanya butuh waktu," jawab Ainun lembut, senyum tipis tetap bertahan di wajahnya. "Kemampuan seperti ini tidak selalu muncul dengan mudah, terutama jika belum pernah dilatih sebelumnya."

"Waktu?" potongku, suaraku sedikit lebih tajam dari yang kumaksudkan. "Entahlah ... lagi pula, bukan berarti aku akan mati bila tidak memiliki kemampuan esper semacam itu."

Ainun terdiam. Matanya melebar sejenak, sebelum ia menundukkan kepala, tatapannya jatuh pada rerumputan yang mulai kehilangan cahaya sore. Aku bisa melihat raut bersalah perlahan merayap di wajahnya.

"Aku mungkin tidak memiliki darah Farsisian seperti yang kau pikirkan," lanjutku, mencoba meredam nada tajam tadi. "Atau mungkin, kemampuan ini memang bukan untukku."

Aku menunduk, tatapanku kembali jatuh pada tanah yang dingin dan keras. Rasanya gravitasi tidak hanya menahan tubuhku; gravitasi itu menghancurkan setiap harapan kecil yang sempat kupelihara. Dalam hatiku, rasa minder semakin tumbuh. Seorang seperti Ainun, separuh manusia, mampu melayang dengan anggun, sedangkan aku, anak dari dua esper berbakat, hanya seorang yang gagal.

"Maaf," bisik Ainun, suaranya hampir tenggelam oleh desiran angin sore yang lembut. "Aku tidak bermaksud memberikan harapan palsu."

Aku mengangkat bahu, memaksa senyum yang terasa kaku di wajahku. "Tidak ada harapan palsu. Kau hanya mencoba membantu, dan itu lebih dari cukup."

Ainun menatapku, matanya penuh dengan penyesalan yang tidak pernah kuminta. Untuk sesaat, aku ingin menyalahkan diriku sendiri untuk setiap ketidakmampuanku.

"Aku sungguh—"

"Tidak ada yang perlu dimaafkan," potongku tegas, meskipun di dalam hati aku ingin melarikan diri dari situasi ini. "Sudahi saja. Masih banyak hal yang harus kita kerjakan."

Ainun mengangguk kecil, tetapi wajahnya menyimpan beban yang tidak bisa ia sembunyikan. Aku melangkah menjauh, meninggalkan tempat itu dengan langkah berat. Di udara sore yang semakin dingin, hanya suara tanah di bawahku yang terus bergema, menertawakan upayaku yang sia-sia.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang