"Sudah," jawabku sambil mengalihkan pandangan. Aku tidak ingin menatapnya lama-lama. Wajah ayunya itu tidak baik untuk hatiku.
"Heh?" Yuni langsung melangkah ke depanku, memotong jalanku dan muncul lagi dalam pandanganku dengan senyum manisnya yang tak kenal lelah. "Fakultas apa itu?"
"Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Antariksa," jawabku seraya mengalihkan pandangan lagi, kali ini ke lantai stasiun yang berpola unik—pola canggih yang berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi para pengunjung. Pola itu memantulkan cahaya lembut, memberi arahan otomatis ke berbagai tujuan di dalam stasiun. Fokusku pada pola itu hanya untuk menghindari tatapan Yuni.
"Kedengarannya seru," kata Yuni lagi, seolah tak menyerah pada sikap dinginku. "Menurutmu, apakah aku juga bisa bergabung ke sana?"
Aku menoleh sedikit, meski masih berusaha menjaga jarak.
"Bukannya kamu mau masuk Fakultas Kedokteran?" tanyaku, mengingat data yang sempat kulihat dari Instruktur Iyva di SIV. "Dua fakultas itu cukup berbeda. Saranku, kamu tetap ambil Fakultas Kedokteran, seperti rencanamu."
"Heh~" Yuni menatapku selidik tiba-tiba, matanya menyipit penuh rasa penasaran. "Bagaimana kau bisa tahu kalau aku mau mengambil Fakultas Kedokteran? Jangan-jangan... sebenarnya kau sebegitu tertariknya padaku, ya?"
Aku langsung menegakkan tubuhku, merasa pertahananku mulai terancam.
"Bukan," jawabku cepat, suaraku lebih tegas dari yang kuharapkan. "Aku sempat lihat sewaktu di SIV. Jangan salah sangka. Aku melihat profilmu saat memeriksa profil teman-teman yang ikut bertempur."
Aku berharap penjelasan singkat itu cukup, tapi entah kenapa, tatapan Yuni malah semakin menyelidik.
"Oh... benarkah begitu?" suaranya mendadak berubah lebih lembut, seperti sedang menelusuri setiap kata yang kukatakan. Senyumnya semakin lebar, seolah dia baru saja menemukan sesuatu yang sangat diinginkannya. Pandangannya kini terasa seperti radar, terus mencari celah dalam jawabanku. Aku bisa merasakan ada sesuatu di balik senyumnya—sesuatu yang membuatku semakin tidak nyaman.
Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa lagi, suara Lily yang tegas tiba-tiba memotong percakapan.
"Hai! Jangan terus-terusan menggoda Savil," seru gadis itu, matanya tajam memandang Yuni. "Apa kamu tidak lihat kalau dia merasa tak nyaman?"
"Ayolah, Lily," balas Yuni dengan nada manja. "Sebentar saja."
"Cukup!" ucap Lily dengan tegas, menyeret Yuni menjauh dariku. "Jangan ganggu anak ansos itu lagi."
Aku menggumam pelan, hampir tak terdengar, "Aku bukan ansos. Cuman... introver."
Kudengar Yuni terkekeh pelan sambil membiarkan Lily menariknya menjauh, tapi sebelum benar-benar pergi, dia menoleh padaku sekali lagi.
"Kalau begitu, Savil... satu hal lagi," katanya, suaranya lebih rendah, seolah-olah ia hendak membisikkan rahasia. "Sebenarnya, kenapa kamu memilih fakultas itu? Bukannya kebanyakan cowok esper memilih Fakultas Penerbangan dan Penjelajahan Antariksa?"
Pertanyaannya menggantung di udara, seperti angin yang berhenti tiba-tiba. Aku terdiam, tidak siap menjawab. Pertanyaan itu menusuk lebih dalam daripada yang kusangka. Yuni tetap menatapku, menunggu jawabanku dengan tatapan yang tidak lagi main-main. Lily berhenti menyeret Yuni, seolah ikut penasaran dengan jawabanku. Keheningan di antara kami semakin tebal, membuat jantungku berdetak lebih cepat.
Sebelum aku sempat membuka mulut, Yuni tersenyum lagi—senyum yang kali ini terasa lebih tajam.
"Aku akan tahu jawabannya, cepat atau lambat," katanya pelan sebelum berbalik dan pergi bersama Lily.
Aku berdiri di sana, membiarkan kata-katanya berputar di dalam kepalaku.
✨️✨️✨️
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Ciencia FicciónSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...