Ledakan kecil menggema di kejauhan, memantulkan cahaya oranye yang membias pada permukaan bangunan logam di sekeliling kami. Angin malam berhembus kencang, membawa debu dan serpihan logam yang membuat pandangan sedikit kabur. Suara dengung drone kembali terdengar, mendekat dengan cepat.
"Cepat! Ke sini!" seruku sambil menarik tangan Reina dan berlari menuju tikungan sempit di antara dua gedung tua yang mulai berkarat.
Kami berhenti di balik tumpukan peti logam besar. Nafas kami memburu, dada naik turun dengan cepat. Reina menyandarkan punggungnya ke dinding, wajahnya masih memerah setelah berlari sejauh itu.
Aku merogoh saku jaketku dan mengeluarkan pistol plasma kecil berwarna hitam perak. Senjata ini adalah salah satu dari banyak gawai yang pernah kubuat saat masih di Akademi Elementalis, namun pistol plasma ini adalah senjata pertahanan diri yang paling simpel dan praktis untuk kubawa ke mana-mana. Gawai lainnya kusimpan dengan aman di asrama Akademi Burlian, menunggu saat yang tepat untuk digunakan.
Aku mengecek ulang energi magazine-nya—ada 15 tembakan yang bisa kugunakan. Sejak tragedi serangan Alfons si Gila pada perjalanan pulangku dari Kota Dirgantara ke Akademi Burlian dulu, pistol ini selalu kubawa ke mana pun aku pergi. Ini bukan hanya senjata, tapi juga pengingat bahwa dunia tidak pernah benar-benar aman.
"Dengar, kita harus menemukan jalan keluar dari sini," bisikku sambil melirik Reina yang masih mencoba mengatur napas. "Aku punya ide. Kau bisa memanjat ke lantai atas gedung ini, kan? Gunakan angin untuk mendorong tubuhmu ke atas."
Reina menatapku dengan alis berkerut. "Apa maksudmu?"
Aku menatap matanya, mencoba menemukan kepercayaan di sana. "Elementalis angin biasanya punya mobilitas yang hebat, kan? Harusnya Keluarga Bajra sudah mengajarimu satu atau dua teknik. Atau ... jika kau adalah Elementalis air, kau bisa menembak drone itu dengan semburan air bertekanan tinggi. Itu akan cukup untuk menjatuhkan beberapa di antaranya."
Wajah Reina berubah seketika. Matanya melebar, bibirnya sedikit bergetar sebelum akhirnya tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
"Apa kau mengejekku sekarang?" suaranya pecah dengan kemarahan yang tertahan.
"Apa? Tidak! Aku hanya ..." Aku berhenti, menyadari apa yang baru saja kukatakan. Melihat reaksinya, tampaknya ucapan orang-orang bertopeng itu benar. Reina juga seorang esper yang jatuh sama sepertiku. Ucapanku tadi tidak hanya salah, tapi juga kasar. Bahkan dalam yang menekan seperti ini, aku seharusnya lebih peka.
Reina melangkah maju, matanya berkilat penuh amarah lebih dari sebelumnya. "Kau tahu betul apa yang mereka katakan tadi. Dan sekarang kau justru mengungkit hal itu? Aku tidak punya kekuatan seperti yang kau pikirkan!"
Aku membuka mulut, ingin meminta maaf, tetapi suara dengungan drone kembali memotong percakapan kami. Cahaya merah dari sensor drone memantul di dinding, semakin dekat dan terang.
"Reina, maaf—"
"Sudahlah!" potong Reina tajam, suaranya bergetar. "Kita harus bergerak sekarang sebelum mereka menemukan kita!"
Aku menggenggam pistol plasma dengan erat, tubuhku berjongkok sedikit untuk mempersiapkan langkah selanjutnya. Reina berbalik, matanya menatap ke arah lorong gelap di depan kami.
Suara dengungan semakin keras.
Salah satu drone muncul di ujung lorong, sensor merahnya berputar cepat seperti mata pemangsa yang menemukan mangsanya.
"Lari!" teriakku.
Kami berdua berlari lagi, napas kami berpacu dengan suara mesin yang berderu di belakang. Di atas kami, lampu merah dari drone bergerak seperti kilatan kilat di langit malam.
Aku menoleh ke belakang dan melihat drone itu menurunkan laras kecil dari bagian bawah tubuhnya.
Proyektor laser hijau menyala.
Aku mendorong Reina ke samping, tubuhku ikut meluncur ke tanah tepat ketika sinar laser melesat di antara kami dan membakar dinding logam di belakang.
"Ke kiri!" seruku, melompat ke balik tumpukan logam di sisi kiri lorong.
Reina mengikutiku dengan cepat, tetapi wajahnya masih diliputi kemarahan dan frustrasi.
Drone itu berhenti sejenak di udara, sensor merahnya bergerak-gerak, mencari keberadaan kami.
Aku menekan tubuhku serendah mungkin ke tanah, pistol plasma di genggaman siap untuk menembak.
"Reina," bisikku pelan. "Dengar, aku sungguh minta maaf. Tapi sekarang kita harus fokus. Kita harus keluar dari sini."
Reina menatapku sekilas, ekspresi wajahnya melembut meski masih tersisa sisa amarah.
Sebuah suara klik terdengar dari drone di udara.
Mataku membelalak.
"Merunduk!"
Sebuah ledakan kecil terjadi tepat di atas kepala kami, serpihan logam beterbangan ke segala arah.
Dalam kekacauan itu, suara langkah kaki mendekat dengan cepat.
Seseorang berjalan di ujung lorong, siluet tubuhnya terlihat jelas di balik cahaya merah drone yang masih berputar.
Suara berat bergema dari balik topeng logam yang memantulkan cahaya.
"Lihat siapa yang kita temukan di sini ... apa kalian puas dengan permainannya?"
Aku dan Reina membeku di tempat.
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...