036: Unit Tempur Kolosal

3 1 0
                                    

"Apa itu?" gumamku gelisah. Tanda merah yang besar itu tidak biasa. Artileri berat atau bahkan pesawat induk musuh pun tidak akan menghasilkan sinyal sebesar itu. Keringat dingin mulai kembali membasahi telapak tanganku.

"Elang-5, Elang-3, berhati-hatilah dengan sisi barat daya," kataku, suaraku menegang. "Ada sinyal tidak wajar dari sana. Pantau terus radar kalian."

"Dimengerti!" Elang-5 menjawab, kali ini tak ada lagi nada santai dalam suaranya. Aku tahu mereka juga bisa merasakan bahaya yang sama.

Dalam sekejap, kedua pesawat melakukan manuver tajam. Elang-5 dan Elang-3 terbang dalam pola 360 derajat, sensor mereka bekerja keras memindai segala arah. Di monitor, sinyal aneh itu semakin membesar, bergerak lebih cepat dari yang kukira. Pupil mataku membesar.

Apa ini?! Hatiku mencelos melihat bagaimana bentuk ancaman itu mulai muncul di layar. Apa yang muncul di sana, jauh lebih menakutkan daripada yang kubayangkan.

"Unit Tempur Kolosal," desis Elang-3, nadanya bergetar. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar berat, seolah menyiratkan kesadaran akan bahaya besar yang kini berdiri di hadapan kami. "Kita dalam masalah besar."

Aku menatap layar monitor, terpaku oleh apa yang kulihat. Di sana, sebuah mecha raksasa melayang di udara dengan elegan, tapi mematikan. Bentuknya seperti gabungan dari logam hitam legam dan pelindung berlapis-lapis, memancarkan aura ancaman yang tidak bisa diabaikan. Setiap pergerakannya begitu presisi, meski tubuhnya besar, mecha itu melayang di udara dengan keanggunan yang tidak wajar untuk ukurannya.

Turbin raksasa di sayap dan kakinya memancarkan cahaya biru menyala, menggetarkan udara di sekitarnya. Desingan suara mesin-mesin plasma terdengar nyaris seperti raungan predator yang siap memangsa. Di tubuhnya, terpasang deretan senjata berat—meriam laser, rudal hipersonik, dan senapan plasma raksasa—semua diarahkan ke markas Area-X. Sinar merah dari sensor di kepala mecha itu berputar, mencari-cari target, seolah-olah menilai apa yang akan menjadi korban berikutnya.

Aku ingat jelas dalam catatan sejarah dunia Esperheim yang pernah kubaca dulu. Unit Tempur Kolosal semacam itu adalah bencana berjalan yang paling ditakuti oleh para esper kala itu. Mereka meluluhlantakkan kota-kota dan membantai pasukan esper tanpa ampun. Hampir saja Esperheim hancur karena perbuatan mereka.

"Komandan, amunisi kami telah habis!" suara Elang-5 tiba-tiba memecah pikiranku, suaranya penuh tekanan. "Izin melakukan pendaratan. Jika kami tetap di udara, kami hanya akan menjadi mangsa mecha itu."

Aku menarik napas dalam, mencoba meredam gemuruh dalam dadaku. Ini buruk. Tapi aku harus tetap tenang.

"Diizinkan!" jawabku dengan tegas, meski dalam hati, aku tahu situasi kami semakin kritis. Sekarang, kami tidak hanya harus melawan musuh infanteri dan drone, tapi juga menghadapi ancaman kolosal yang siap menghancurkan segalanya.

Dari layar, aku bisa melihat Elang-5 dan Elang-3 menukik tajam menuju hanggar, melakukan pendaratan darurat dengan cepat. Tak ada waktu untuk berpikir, Reina sudah sibuk mempersiapkan UE-1 dan Beta-1 untuk kembali ke garis depan, memanfaatkan waktu yang kami miliki sebaik mungkin sebelum unit kolosal itu mencapai kami.

"Elang-7, laporkan statusmu!" panggilku, kali ini suaraku terasa lebih mendesak. Keringat dingin membasahi tengkukku. Aku tidak bisa membiarkan pilot itu jatuh di tangan musuh, tidak saat ini.

Ada jeda, detik-detik panjang yang membuat napasku terhenti. Lalu suara Elang-7 terdengar, lemah dan terengah-engah.

"Aku berhasil sembunyi di gedung terdekat yang sudah runtuh," katanya, nadanya penuh kepayahan. "Musuh masih mengejar... energiku juga sudah hampir habis."

Hatiku berdegup keras. Aku tahu pilot itu sedang berada di ambang batas.

"Tetaplah sembunyi sampai UE-1 dan Beta-1 tiba," kataku cepat, nyaris tanpa berpikir. "Isi ulang energimu, kumpulkan tenagamu. Jangan menampakkan diri sampai saat yang tepat."

"Dimengerti, Komandan," suaranya terdengar samar, tapi ada keinginan bertahan yang kuat di balik kelelahan itu. "Lagipula, aku belum mau mati..."

Tiba-tiba, suaranya terputus oleh pekikan mendadak.

"Agh...! Sial! Mereka menemukanku!"

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang