065: Stasiun yang Terbengkalai

9 1 1
                                    

"Apa kita akan baik-baik saja?" tanya Yuni yang duduk di samping Ainun, suaranya bergetar sedikit. "Kita tidak akan terjatuh kan?"

"Tenang saja. Kereta ini punya kemampuan pendaratan mutakhir," jawab Bintang tanpa terlihat khawatir. "Kalaupun mesin utamanya rusak, kita tetap bisa mendarat dengan aman di tanah datar. Ada mesin lain yang dirancang khusus untuk itu."

Mungkin hanya Bintang yang bisa sesantai itu, sementara penumpang lainnya tampak cemas.

Kulihat Ainun mengerutkan kening. Ekspresinya tak kalah gelisah dengan penumpang yang lain. "Jarang sekali kereta mengalami pendaratan darurat. Bagaimana bisa pihak stasiun lalai akan hal ini?"

"Setiap kereta harusnya sudah mendapatkan pemeriksaan teratur sebelum operasional," balas Bintang, masih dengan sikap santainya, "Error semacam ini bisa terjadi kapan saja meskipun kereta lolos pada pemeriksaan. Tapi tetap saja, pihak stasiun tidak akan lolos dari teguran karena kasus ini."

Sebuah suara dengungan panjang tiba-tiba terdengar, diikuti tarikan gravitasi yang berubah drastis. Tubuh kami sedikit terdorong ke depan saat kereta mulai melambat dengan cepat, membuat jantungku berdegup lebih kencang. Pemandangan di luar jendela berangsur berubah—langit jingga senja digantikan dengan bayangan gelap bangunan tua, terjalin oleh rel-rel berkarat yang tersebar tak teratur di sekitarnya.

Gerbong-gerbong tua yang sudah penuh karat terparkir dekat sebuah bangunan luas yang terlihat tak terawat. Tanaman liar menjalar di sepanjang dindingnya, seolah menelan bangunan itu dengan perlahan. Suara-suara aneh berderak di kejauhan, angin menderu-deru di celah-celah tembok usang, seakan menyembunyikan rahasia lama yang tak ingin terungkap.

"Wow, aku tidak tahu ada tempat seperti ini di Burlian." Bintang memecah kesunyian begitu kereta kami mendarat di lapangan tanah berdebu yang dekat dengan stasiun terbengkalai itu. "Ada di mana kita sekarang?"

Ainun mengalihkan pandangan dari gawainya, wajahnya terlihat semakin waspada.

"Stasiun Penyambung," jawabnya dengan nada tenang, tapi terdengar was-was. "Ini stasiun tua yang sudah ditinggalkan sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum manusia mulai merambah eksplorasi luar angkasa."

"Tempat ini mengerikan..." gumam Yuni, tatapan matanya terpaku pada bangunan kusam itu. Ekspresi wajahnya campuran antara rasa takut dan rasa ingin tahu. "Di sini... tidak ada hantu, kan?"

"Kamu seorang Penenun," balasku menanggapi kepengecutannya. "Kenapa kamu takut hantu?"

"Memangnya aku tidak boleh takut hantu?" protes Yuni, matanya memelototiku dengan sorot kesal yang jelas.

"Seorang Penenun itu harus punya mental yang kuat," jawabku, tak peduli dengan protesannya. "Bagaimana kamu bisa punya mental yang kuat kalau takut dengan hantu?"

Yuni terdiam, mengakui kebenaran kata-kataku dengan gerutu pelan. Wajahnya sedikit berubah, dan ia menoleh padaku, kali ini dengan tatapan lebih dalam, seperti ada harapan yang menggantung di matanya. "Savil, ini menakutkan. Kamu akan melindungiku, kan, kalau muncul hantu?"

"Tidak," jawabku datar, langsung mengalihkan pandangan darinya, berusaha tak terpancing. "Kamu sudah pakai perisai mentalmu, kan? Jangan pura-pura takut."

"Cih!" Yuni mendengus, mengalihkan wajahnya sambil menggerutu, "Dasar tidak peka!"

Saat itu, suara pengeras suara bergema. Masinis mengumumkan permintaan maaf, menjelaskan bahwa kami harus berhenti sejenak hingga masalah teknis selesai diperbaiki. Udara dalam kabin semakin terasa pengap. Tak butuh waktu lama hingga para penumpang, termasuk kami, mulai keluar dari kereta untuk menghirup udara segar.

Kami melangkah keluar, disambut oleh pemandangan bangunan-bangunan tua yang sebagian runtuh, dinding-dindingnya dipenuhi coretan dan tumbuhan liar yang merambat tak terkendali. Di kejauhan, gerbong-gerbong berkarat terparkir, seperti saksi-saksi bisu yang lama ditinggalkan oleh waktu. Angin sore berhembus, membawa aroma tanah basah yang dingin dan sedikit berbau besi.

"Sepertinya kita mendarat di tempat yang tidak seharusnya," gumamku sambil menatap sekeliling, mencoba memahami di mana sebenarnya kami berada.

Bintang menatap gedung-gedung sekeliling dengan tatapan menyipit, juga berusaha memahami tempat asing ini.

"Mungkin pusat transit ini ditinggalkan saat jalur antar-kota diperbaharui bertahun-tahun lalu," ucapnya, menyentuh salah satu dinding yang penuh lumut.

Kami melangkah perlahan di atas peron yang dipenuhi sisa-sisa kehidupan lama—sisa bangunan yang retak, lantai yang dipecah akar-akar tumbuhan, serta bunyi angin yang menggema di antara ruang kosong. Suasana mencekam perlahan merayap masuk, membungkus kami dalam kehampaan yang nyaris bisu. Meskipun aku mencoba mengabaikan sensasi itu, tetap saja keheningan ini terasa berbeda—ada sesuatu yang seolah memperhatikan kami, tak terlihat, tapi nyata.

Tiba-tiba, langkah Ainun berhenti di ujung peron, matanya terpaku pada lorong gelap di depannya. Wajahnya menunjukkan ekspresi bingung, dan, entah kenapa, ekspresi itu perlahan berubah menjadi waspada.

"Ada sesuatu di sana..." bisiknya nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas bagi kami untuk mendengarnya.

Aku dan Bintang saling berpandangan. Tanpa sadar, kami ikut menoleh ke arah yang ditatap Ainun. Lorong itu tampak gelap dan kosong, tapi aura yang menyelimutinya... terasa aneh. Seakan ada sesuatu yang menunggu di dalam kegelapan.

Yuni tiba-tiba melangkah maju. Aku bisa melihat gerakan tubuhnya kaku, seolah ada kekuatan yang tak terlihat menariknya. Tangannya sedikit bergetar saat mendekati lorong itu, dan aku nyaris bisa merasakan hawa dingin yang datang dari sana.

"Yuni, tunggu..." panggilku pelan, mencoba membuatnya berhenti, "Hai, jangan bilang kamu dirasuki hantu!"

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang