Liburan berlalu begitu saja seperti butiran pasir yang jatuh dari sela jemari, terasa singkat namun penuh makna. Aku, Reina, Ainun, dan Bintang akhirnya kembali ke Akademi Burlian di hari terakhir libur semester ganjil. Langit di atas akademi berwarna oranye keemasan ketika Solaris Express kami berhenti di stasiun utama kampus. Kereta itu meluncur dengan mulus di atas rel magnetisnya, berkilauan di bawah sinar matahari sore. Suara pengumuman otomatis menggema di seluruh stasiun, menyambut kedatangan kami dan para mahasiswa lainnya.
Keramaian langsung menyergap begitu kami turun dari kereta. Rombongan mahasiswa dari Esperheim juga tampaknya baru saja kembali dari ekspedisi mereka. Mereka ke akademi dengan kereta yang berbeda dari kami. Wajah-wajah kelelahan terlihat di antara kerumunan. Beberapa dari mereka membawa peti logam besar dengan segel resmi dari Dewan Persatuan Esperheim, sementara yang lain saling berkerumun, menceritakan pengalaman berharga mereka di lapangan. Wajah mereka yang letih, tetapi bersinar karena kebanggaan, tampak jelas di bawah cahaya redup senja. Di antara suara langkah kaki yang berlalu-lalang, sesekali terdengar tawa kecil dan gumaman kagum ketika mereka berbagi cerita.
"Ayo, kita temui mereka," ajak Reina tiba-tiba, berdiri di sampingku dengan tatapan penuh harap.
Aku memalingkan wajah dari kerumunan dan menatap Reina dengan datar. "Untuk apa? Aku tidak punya urusan dengan mereka."
Reina menghela napas pendek, seakan sudah menduga jawabanku. "Mereka baru saja melalui ekspedisi yang berbahaya. Beberapa di antara mereka adalah teman dan saudara kita."
"Saudaramu, mungkin," potongku cepat. "Aku tidak punya alasan untuk berdiri di sana dan berpura-pura peduli."
Tatapan Reina mengeras, tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Aku tahu ia ingin membalas, tetapi mungkin ia sadar bahwa argumen apa pun tidak akan mengubah pendirianku.
"Kau selalu begini, Savil," katanya akhirnya, nada suaranya dingin. "Selalu memisahkan diri, seakan kau bukan bagian dari kami."
Aku mendengus pelan. "Karena aku memang bukan bagian dari esper lagi, Reina. Mereka memandangku seperti aib, dan kau tahu itu. Kau pun ... mungkin akan mengalaminya juga kelak."
"Kau salah." Reina menatapku tajam. "Tidak semua orang berpikiran seperti itu. Tapi jika kau terus bersikap seperti ini, kau akan selamanya terjebak dalam tembok yang kau bangun sendiri."
Aku terdiam sejenak, memandang Reina yang kini tampak lebih tegas dari biasanya. Tetapi alih-alih menjawab, aku hanya memutar tubuh dan berjalan menjauh.
"Sebenarnya, apa yang membuatmu secinta itu dengan Esperheim?" tanyaku sebelum benar-benar pergi. Aku tidak menunggu jawaban darinya, berpaling dan langsung meninggalkannya begitu saja.
Begitu sampai di kamar bersama yang kutempati bersama Bintang, Hao, dan Satria, suasana terasa sunyi. Kamar itu luas, dengan empat meja belajar berjajar di satu sisi dan dua tempat tidur tingkat yang terpisah oleh partisi kecil. Tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka. Bintang sedang makan malam, Hao masih dalam perjalanan, dan Satria kemungkinan besar masih sibuk di laboratorium pribadinya.
Aku langsung beres-beres, menata barang-barangku di lemari sebelum akhirnya duduk di meja belajarku. Jendela di sebelahku terbuka, membiarkan angin sore yang sejuk masuk ke dalam ruangan. Cahaya keemasan memantul di dinding putih kamar, menciptakan suasana yang tenang tetapi penuh kekosongan.
Suara notifikasi mendadak memecah lamunanku. Sebuah panggilan masuk muncul di layar. Pengirimnya: Asosiasi Kesatrian.
Alisku berkerut. Ini pertama kalinya aku mendapatkan panggilan langsung dari mereka sejak masuk ke dalam asosiasi.
Dengan hati-hati, aku menekan tombol penerimaan panggilan. Layar segera menampilkan simbol Asosiasi Kesatrian yang berwarna emas di atas latar hitam pekat. Suara mekanis otomatis terdengar:
"Savil Ghenius, anggota aktif Asosiasi Kesatrian. Anda diminta untuk hadir di Ruang Pertemuan Utama besok pagi pukul 08.00. Kehadiran Anda bersifat wajib dan tidak dapat diwakilkan."
Sambungan langsung terputus setelah pesan itu selesai. Aku menatap layar yang kini kembali gelap dengan perasaan campur aduk.
Pertemuan ini jelas bukan hal biasa. Panggilan dari Asosiasi Kesatrian jarang bersifat wajib kecuali untuk sesuatu yang benar-benar penting. Pikiran tentang berbagai kemungkinan berputar di kepalaku.
Apa ini tentang proyekku bersama Ainun dan Reina selama liburan? Ataukah ada sesuatu yang lain dari itu?
Aku memejamkan mata dan bersandar di kursi, mencoba menenangkan pikiranku yang terus berputar. Di luar sana, langit mulai gelap, lampu-lampu akademi perlahan menyala, dan suara aktivitas mahasiswa di sekitar kampus mulai mereda. Aku pun hanya bisa menarik napas panjang dan menatap langit malam yang perlahan menutupi dunia di luar jendela kamarku. Besok pagi, aku harus siap menghadapi apa pun yang menanti di balik pintu Ruang Pertemuan Utama Asosiasi Kesatrian.
Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.
Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.
Makasih udah mampir😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Perang Sang Esper yang Jatuh
Science FictionSavil Ghenius lahir dari keluarga elementalis ternama-Keluarga Toya dan Keluarga Ghenius. Namun, sejak kecil, Savil tahu dia berbeda. Rambut hitam legamnya bukan hanya tanda unik, tapi juga simbol kutukan. Kutukan bahwa dia adalah seorang esper yang...