Bab 90: Bio Dome

8 1 0
                                    

Aku mengalihkan pandangan dari layar data holografis di perpustakaan, mencoba meyakinkan diri sendiri. Tidak ada gunanya terpaku pada masa lalu yang samar, apalagi membiarkan resonansi itu mengalihkan fokusku. Ujian praktik terakhir lebih penting, terutama karena ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kemampuan kami dalam merancang sesuatu yang lebih dari sekadar konsep.

Aku pamit pada Ainun untuk pergi lebih dulu. Tanpa kami sadari, hari sudah sangat petang, tapi Ainun masih bersikeras untuk melanjutkan studi literaturnya sendirian. Aku melangkah ke asrama, tapi tidak ke kamar. Ada tempat lain yang harus kukunjungi, itu adalah ruang penelitian asrama yang disiapkan khusus untuk mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Antariksa.

Di dalam, teman-teman sekamarku sudah sibuk dengan perannya masing-masing. Cahaya biru dari layar holografis besar memantul di wajah Bintang yang serius—pemandangan yang jarang kulihat darinya. Ia tengah menatap grafik fluktuasi oksigen di biosfer yang kami desain. Di meja kerja, Hao tampak tenggelam dengan miniatur dome yang ia rakit dengan presisi. Di sudut ruangan, Satria sedang memprogram simulasi pertumbuhan vertikal sambil memeriksa data.

"Jika oksigen dari tumbuhan tidak cukup untuk menopang biosfer, apa yang akan kita lakukan?" Bintang memecah keheningan, suaranya seperti dentuman kecil di tengah konsentrasi semua orang.

"Kita tambahkan generator oksigen," jawab Hao tanpa mengalihkan pandangannya dari miniatur. Tangannya memasang komponen kecil, memastikan setiap bagian pas pada tempatnya. "Tapi itu akan meningkatkan kebutuhan energi. Generator itu menghabiskan daya yang besar."

"Kita sudah setuju bahwa sistem ini harus mandiri," Satria menyela, mengangkat kepalanya dari layar. "Mengandalkan teknologi tambahan hanya mengulangi kesalahan proyek bio dome sebelumnya."

Aku melangkah ke meja, memindai data di layar holografis yang menampilkan grafik siklus karbon dan oksigen. Garis-garisnya terlihat tidak stabil, naik turun dengan pola yang sulit diatur.

"Pertanian vertikal," usulku sambil menunjuk bagian grafik yang menunjukkan kebutuhan oksigen. "Dengan menambah lapisan tumbuhan ke atas, bukan hanya secara horizontal, kita bisa memanfaatkan ruang lebih efisien. Selain itu, mikroba tanah bisa membantu mempercepat siklus nutrisi."

Hao menatapku, mengangkat alis. "Mikroba tanah? Kau ingin memodifikasi tanah di biosfer?"

Aku mengangguk. "Tepat. Mikroba yang bisa memecah senyawa kompleks menjadi nutrisi sederhana akan mempercepat siklus tumbuhan. Kita juga bisa mengatur laju fotosintesis dengan pencahayaan buatan."

"Aku suka idenya," kata Bintang sambil menyeringai. "Tapi ini ambisius. Yakin bisa menyelesaikannya dalam waktu singkat?"

"Tidak ada pilihan lain," jawabku tegas. "Jika kita berhasil, ini akan menjadi revolusi dalam desain bio dome. Generasi sebelumnya gagal karena terlalu bergantung pada suplai eksternal. Kita bisa mengatasi itu."

Satria mengetik cepat di konsolnya. "Aku akan menyusun simulasi baru berdasarkan pertumbuhan vertikal. Kita juga perlu menghitung kebutuhan cahaya dan air. Jangan sampai kita menciptakan sistem yang justru boros sumber daya."

Hao mengangguk. "Aku fokus pada sistem peternakan. Hewan kecil seperti ayam atau kelinci bisa menghasilkan protein untuk penghuni biosfer, sekaligus karbon dioksida untuk siklus tumbuhan."

"Bagus." Bintang menepuk meja, mengembalikan semangat di ruangan itu. "Ini tim terbaik. Kalau kita tidak bisa membuat para penguji terkesan, aku tidak tahu siapa yang bisa."

Aku menatap miniatur dome di tengah meja. Prototipe itu seperti gabungan dari ide-ide terbaik kami, campuran sempurna antara teknologi mutakhir dan siklus biologi alami. Namun, di dalam hatiku, ada sesuatu yang terasa kosong. Seolah aku hanya berperan sebagai pengamat, bukan bagian penuh dari proses ini.

"Bagaimana dengan ventilasi?" tanyaku, mencoba menyibukkan pikiran dengan detail teknis. "Jika biosfer ini benar-benar mandiri, sistem ventilasi perlu mampu menyesuaikan tekanan atmosfer secara otomatis."

"Sudah kuprogram," jawab Satria. "Tekanan akan disesuaikan dengan jumlah karbon dioksida dan oksigen di dalamnya. Sistem ini bisa mendeteksi jika ada kebocoran dan menyesuaikan dengan cepat."

Aku mengangguk, meskipun pikiranku masih berkeliaran. Detik-detik kepergian ras Farsisian masih menghantuiku, tapi aku tidak bisa membiarkannya menguasai pikiranku sekarang. Ada ujian yang harus kuhadapi, dan aku tidak akan mengecewakan diriku sendiri.

Ketika kami menyelesaikan diskusi, aku mendapati diriku melangkah ke perpustakaan lagi, berusaha memvalidasi hipotesisku. Aku membaca jurnal-jurnal daring tentang ekosistem buatan, energi terbarukan, dan teknologi bio dome. Dalam sebuah artikel, aku menemukan kalimat yang menggugah: "Setiap inovasi dimulai dari pertanyaan yang belum terjawab."

Pertanyaan itu, kurasa, bukan hanya tentang proyek ini. Tapi tentang siapa aku sebenarnya.

✨️✨️✨️

Jangan cuman jadi silence readers aja. Kasih vote, komentar, dan follow.

Aku bakal seneng banget kalau kalian bantu koreksi semisal nemuin plot hole di novel ini.

Makasih udah mampir😉

Kronik Perang Sang Esper yang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang